"Kekebalan atau imunitas terhadap perubahan itu hanya istilah, intinya perubahan di sekililing kita terus terjadi, dan kita tentu tidak kebal, kita harus selalu dapat menyelaraskan diri terhadap perubahan itu agar tetap eksis .. " by Ben B. Nur
Entah kapan munculnya, saya punya benjolan kecil di bahu sebelah kiri. Benjolan itu konon bekas suntikan, atau mungkin cacahan jarum suntik yang ketika beranjak dewasa, saya akhirnya paham kalau itu namanya imunisasi BCG, singkatan dari Bacille Calmette-Guérin.
Karena adanya tanda imunisasi itu, saya boleh berharap kebal terhadap kemungkinan terserang penyakit tuberkulosis yang dibawa oleh Mycrobacterium bovis, yang secara alami sebenarnya berkembang biak dalam tubuh sapi. Jadi vaksin yang disuntikkan ke tubuh saya menjadi antobodi sebenarnya mikro-bakteri yang sejatinya adalah sumber penyakit, tetapi berfungsi sebaliknya karena telah dijinakkan.
Lama saya tidak bersinggungan dengan wacana imunisasi, selain karena memang saya tidak berkecimpung di dunia medis, juga karena saya menganggap pemahaman saya sudah selesai, bahwa itu berhubungan dengan kekebalan tubuh.
Sampai suatu hari sekitar dua bulan lalu saya berkesempatan menghadiri sebuah seminar di Jakarta yang dipandu oleh Profesor Robert Kegan dari Harvard University. Seminar itu diprakarsai oleh Principia Learning Lab, maaf, ini bukan bukan seminar untuk promosi obat-obatan atau peralatan medis. Untuk diketahui, Principia Learning Lab bukan laboratorium klinis, melainkan lembaga yang mengkhususkan diri dalam pengembangan Knowledge Management, Change Management dan Leadership di Indonesia.
Saya bisa menjelaskan itu karena saya kenal dengan Henk T. Sengkey, pendiri sekaligus nakhoda dari Principia Learning Lab. Dia bukan kalangan medis melainkan salah seorang tokoh yang tidak bisa dilupakan bila kita membicarakan pengembangan wacana knowledge management, change management dan Leadership di Indonesia.
Ternyata, ini inti ceritanya, seminar itu memberikan inspirasi yang luar biasa dalam hal change management atau pengelolaan perubahan. Bahwa ternyata banyak individu, tim, organisasi bahkan negara gagal mengelola perubahan ke arah yang lebih baik bukan karena tidak mampu, melainkan karena sudah kadung kebal alias memiliki imunitas yang tinggi terhadap perubahan.
Dan seperti vaksin BCG yang saya ceritakan di awal tulisan ini, mikro-bakteri pembawa kekebalan itu boleh jadi sengaja ditanamkan dan dipelihara. Kalau vaksin BCG memang telah diteliti membawa manfaat mencegah tubuh terserang penyakit tuberkulosis, virus anti perubahan ini boleh jadi membawa dampak sebaliknya. Alih-alih bermanfaat, seorang individu, tim, organisasi atau negara yang kebal terhadap perubahan bisa mengalami kemandekan, kemunduran bahkan kepunahan.
Mari kita ambil contoh misalnya perilaku koruptif, baik pada konteks individu maupun tataran organisasi. Mengapa orang atau organisasi sulit berubah ke arah perilaku yang lebih bersih padahal baik agama hukum dan nilai moral masyarakat jelas-jelas menilai itu perbuatan yang salah? Itulah salah satu substansi riset yang dilakukan Robert Kegan dan Lisa Laskow yang dituangkan dalam buku setebal 340 halaman berjudul “Immunity to Change”.
Bahwa kesulitan menghentikan perilaku koruptif itu dikarenakan, boleh jadi, kita hanya sibuk menyerang perilakunya saja, baik melalui kampanye pencegahan, hujatan, penghukuman dan sebagainya. Pada kadar tertentu memang hal itu diperlukan, tetapi Kegan menyarankan kita perlu mempelajari dan menelaah sistem imunitas atau kekebalan yang mendorong perilaku itu terus berulang alias tak kunjung berubah ke arah yang lebih bersih.
Ada sebuah komitmen nasional yang penting dan sangat membanggakan, yakni mewujudkan aparat yang bersih dan berwibawa! Ini sebuah komitmen yang luar biasa. Tentu saja urusannya tidak sebatas komitmen. Selain tentunya berbagai upaya yang telah ditempuh selama ini, Robert Kegan menyarankan agar dilakukan pencermatan terhadap tiga hal penting yang boleh jadi membentuk sistem kekebalan perilaku koruptif yang secara konsisten dan terstruktur menyebabkan komitmen nasional tersebut tidak bisa terwujud.
Pertama, ada tidaknya prasyarat yang seharusnya dilakukan tetapi tidak dilakukan secara sungguh-sungguh. Misalnya, definisi yang lugas mengenai korupsi, pembenahan sistem pengupahan (remunerasi), Penerapan sanksi yang berkeadilan, tindakan keteladanan oleh semua pihak yang berada pada posisi sebagai figur publik terutama di pemerintahan, dan prasyarat lainnya yang diperlukan. Semua tindakan yang dilakukan harus dicermati apakah selaras atau tidak dengan komitmen utama.
Kedua, ada tidaknya sejumlah komitmen terselubung yang menggerogoti (collective hidden competing committments). Misalnya komitmen untuk menjaga nama baik korps, partai atau citra yang membuat komitmen utama dilemahkan secara sistematis dan terselubung. Termasuk tindakan penyelamatan bagi oknum yang bermasalah melalui sistem pergeseran posisi (tour of duty) yang dikesankan sebagai hal yang waja
Ketiga, ada tidaknya asumsi-asumsi yang diam-diam diyakini kebenarannya secara kolektif. Misalnya, asumsi bahwa kalau jumlahnya kecil-kecilan saja dan tidak terpapar di media bukanlah tergolong korupsi. Bahwa kalaupun mendapatkan pendapatan tidak legal asal rajin menyumbang kegiatan sosial bisa dimaafkan. Bahwa sejauh tidak memaksa alias diberikan secara sukarela masih bisa ditolerir. Bahwa negara adalah milik bersama, jadi tidak ada istilah merugikan negara kecuali tertangkap tangan.
Sekelumit contoh dari tiga faktor yang dapat mengentalkan kekebalan perilaku korupsi yang saya uraikan di atas sebatas yang biasa terpapar di media atau di berbagai forum diskusi publik. Itu juga bukan contoh dari buku Robert Kegan, hanya menggunakan kerangka dasarnya sebagai alat (tool) untuk menggambarkan bahwa aplikasi hasil kajian Kegan sangat luas dan universal.
Bagaimana kita menilai tentang seberapa kebal perilaku korupsi di negeri ini, kita bisa gunakan kerangka tersebut di atas. Kalau kita menilai bahwa semua prasyarat untuk terwujudnya aparat yang bersih sedang dijalankan dengan sungguh-sungguh, tidak ada komitmen kolektif yang bertentangan dengan komitmen utama dan tidak ada asumsi yang salah yang diyakini secara kolektif, maka kita boleh berlega hati, berarti tinggal soal waktu perilaku koruptif akan secara perlahan namun pasti berubah menjadi perilaku yang bersih dan layak dibanggakan.
Sebaliknya kalau sepanjang pencermatan kita justru sebaliknya, maka boleh jadi sedang terjadi proses imunisasi atau pengebalan dari perilaku koruptif itu. Artinya perilaku koruptif masih akan terus menggerogoti harga diri bangsa ini, melemahkan rasa percaya diri, menguras perhatian dan tenaga dalam waktu yang lama, dan tidak ada kepastian kapan akan berubah ke arah yang lebih baik.
Akhirnya terpulang kepada diri kita masing-masing atau secara kolektif untuk mau atau tidak mendalami kajian yang berharga itu sebagai alat bantu. Bahwa Tuhan Yang Maha Bijaksana telah memberi ruang pilihan kepada manusia dalam firman-Nya: “bahwa tidak akan berubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri mau merubahnya”.
Kekebalan atau imunitas terhadap perubahan itu hanya istilah, intinya perubahan di sekililing kita terus terjadi, dan kita tentu tidak kebal, kita harus selalu dapat menyelaraskan diri terhadap perubahan itu agar tetap eksis, artinya perubahan ke arah yang lebih baik adalah kebutuhan dari setiap individu, organisasi bahkan negara, kapanpun dan dimanapun, dan konsekuensi setiap pilihan tak dapat kita pilih.
[Source : Gudang Materi]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA