Share Info

29 December 2010

Hari Ketika Setiap Jiwa Dibangkitkan Kembali

Tidak semua negara didunia memiliki momentum yang disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional alias Harkitnas. Bangsa Indonesia memiliki dan merayakannya setiap tanggal 20 Mei. Sayangnya, kita sering terlampau jauh memaknai kebangkitan sebagai agenda sebuah bangsa. Padahal, kebangkitan yang paling hakiki bermula dari proses bangkitnya nilai-nilai positif sebuah pribadi. Sebuah bangsa bisa bangkit, hanya jika sebagai individu kita mampu bangkit. Jika dihadapkan kepada kesulitan hidup, kita bangkit untuk mencari solusi yang konstruktif. Kalau mengalami kegagalan, kita bangkit untuk terus mengerahkan segenap kemampuan. Saat patah hati, kita bangkit dari kesedihan lalu meneruskan perjuangan. Jika dihadapkan kepada persaingan bisnis yang semakin keras, kita bangkit untuk terus gigih. Kita juga perlu bangkit dengan cara mengurangi perilaku buruk untuk kemudian memperbanyak tindakan-tindakan yang lebih bermartabat. Sebagai individu, bukankah makna bangkit yang seperti itu jauh lebih konkrit?

Jika setiap individu berhasil bangkit, secara otomatis bangsa ini juga akan bangkit. Sedangkan kebangkitan individu itu adalah urusan pribadi. Tidak ada kaitannya dengan demo dan parade di jalan-jalan ibu kota. Juga tidak ada hubungannya dengan tanggal atau peringatan hari-hari tertentu dalam catatan sejarah. Kebangkitan pribadi terjadi setiap hari. Sebab, tidak ada artinya kita bangkit kemarin jika hari ini terpuruk lagi. Jika hari ini kita memiliki perilaku positif, maka besok kita harus menjaga perilaku positif itu agar tetap menjadi penghias perangai kita. Jika kita gagal menjaga momentum itu untuk menjadi karakter kepribadian dan identitas diri kita, maka boleh jadi kita hanya bisa bangkit sehari. Sedangkan sisa-sisa hari dalam hidup kita diisi dengan keterpurukan. Dari sudut pandang religi hal semacam itu disebut su’ul khatimah. Artinya, akhir yang buruk.

Kalau kita baik kemarin tapi sekarang dan besok buruk, maka kita termasuk menderita su’ul khatimah. Kondisi seperti itu sangat membahayakan. Sebab dalam keadaan seperti itu, sangat sulit bagi kita untuk menutup hidup dalam keadaan ’sedang baik’. Makanya, kebangkitan itu mesti terjadi terus menerus. Jika kita jatuh, bangkit lagi. Jatuh lagi, ya bangkit lagi. Jatuh lagi, ya bangkit saja lagi. Itulah yang sering kita sebut sebagai persistensi. Yaitu sikap pantang menyerah untuk melakukan sesuatu yang positif dan konstruktif. Sikap seperti itu disebut istiqamah. Seorang pribadi yang istiqamah tidak berarti selalu benar, tapi segera menyadari kesalahannya lalu kembali ke jalur yang benar. Mereka yang istiqamah juga bukanlah orang-orang yang selalu berhasil, karena tidak ada bentuk kehidupan yang hanya terdiri dari keberhasilan saja. Mereka yang istiqamah itu adalah orang-orang yang gigih untuk terus berjuang sampai bisa mewujudkan keberhasilan.

Oleh karena itu, orang-orang yang terjebak kisah nostalgis dimasa lalu tidak termasuk bangkit. Apalagi mereka yang menyalahkan keadaan. Atau menimpakan penyebab segala kesialan kepada orang lain. Mereka yang gemar melakukan kecurangan juga bukan pribadi yang terbangkitkan. Ciri bangkitnya seorang pribadi adalah mampu mendayagunakan modal yang telah Tuhan berikan dalam proses penciptaan dirinya. Apa sajakah modal itu? Pertama, Tuhan telah meniupkan ruh yang condong kepada kebaikan. Jadi, ciri pribadi yang bangkit pastilah cenderung kepada kebaikan dan selalu berusaha menghindari perilaku buruk. Mengapa? Karena perilaku buruk itu karakter syetan. Bukan piranti lunak manusia.

Kedua, Tuhan telah menciptakan kita dengan keunikan masing-masing. Jadi, pribadi yang terbangkitkan juga dicirikan oleh keberaniannya untuk mengeksplorasi potensi dirinya. Kita tahu bahwa sesuatu yang unik itu bernilai tinggi. Makanya toko-toko yang menjual pernak pernik unik selalu diserbu oleh konsumen. Penyedia jasa yang memiliki keunikan layanan selalu dicintai pelanggan. Anehnya, kita sering ragu jika keunikan diri yang kita miliki ini akan laku di pasaran. Kita takut menampilkan keunikan yang kita miliki dalam menjalani aktivitas keseharian. Sebagai gantinya, kita lebih suka meniru-niru perilaku orang lain. Kita mengira dengan meniru orang lain bisa berhasil seperti mereka.

Ada yang harus ditiru, memang. Dalam NLP itu disebut modeling. Premisnya, jika kita bisa meniru plek ketiplek orang lain, maka kita bisa meraih pencapaian yang mereka dapatkan. Ini hanya benar jika menyangkut metode atau cara kerja. Misalnya, jika kita ingin berhasil meraih pencapaian seperti si A, maka cara berbicara, cara berpikir, cara bekerja, cara berpakaian dan semua cara kita mesti sama dengan si A. Mirroring, jika Anda lebih suka menyebutnya demikian. Dalam konteks pencapaian material, kita bisa melakukan modeling atau miroring seperti itu. Namun dalam tatanan kejiwaan, kita tidak bisa begitu saja menerapkannya. Why? Because. You. Are. Simply. Unique. Memangnya Anda bersedia untuk hanya menjadi ’cangkang’ saja. Wujud badaninya adalah Anda, namun ’dalemannya’ adalah orang lain. Tentu saja tidak. Lagipula, siapa sih yang betah berlama-lama menggunakan karakter pribadi orang lain dengan menanggalkan karakter dirinya sendiri? No. You are you. Not somebody else.

Tidak perlu takut gagal jika Anda bersedia menerima keunikan pribadi Anda sendiri. Sebab, yang paling penting adalah bagaimana kita mengelola keunikan itu untuk menjadi sebuah nilai berharga bagi diri sendiri maupun orang lain. Meniru orang lain juga tidak akan menjamin keberhasilan, jika kita gagal memberi makna atas apa yang kita tiru itu. Bisakah kita menjadi pribadi yang bernilai tinggi? Begitulah tantangannya. Jika kita bisa, maka dengan sendirinya keberhasilan akan menjadi milik kita. Tanpa harus meniru orang lain. Begitu lho, ciri pribadi yang terbangkitkan itu.

Tunggu dulu. Fakta menunjukkan bahwa dengan meniru orang lain kita berhasil. Padahal, waktu kita berjuang dengan keunikan yang kita miliki malah gagal. Selain dari sudut pandang materialisme seperti sudah kita bahas diatas, hal itu juga benar dari sudut pandang sosial. Sudah menjadi kodrat manusia untuk menyukai kemiripan. Makanya, kita lebih suka berkumpul dengan orang-orang yang memiliki gagasan yang sama, kesukaan yang sama, minat yang sama, dan hal-hal yang sama lainnya. Benar, kita memiliki banyak kesamaan dengan orang lain. Namun kesamaan yang ada pada kita, sama sekali tidak membatalkan keunikan yang masing-masing miliki. Jika segala sesuatu yang kita miliki ini benar-benar sama 100% dengan orang lain, bagaimana kita menjalani hidup? Tidak mungkin kita memiliki pacar yang berbeda. Mustahil kita mempunyai tempat tinggal yang berbeda. Justru karena adanya perbedaan itulah maka kita bisa berdamai dengan pihak lain.

Kesamaan aspek sosial ini juga bisa dibangun dan direkayasa. Artinya, kita menyesuaikan diri agar bisa lebih diterima oleh orang lain, atau komunitas tertentu. Secara umum kita menyebutnya ’keluar dari comfort zone’. Sedangkan dalam terminologi disiplin ilmu Social Style Personality, hal semacam itu disebut Versatility. Apapun landasan ilmu yang Anda gunakan, keluar dari comfort zone itu sifatnya situasional, kondisional, dan temporer. Bukan sesuatu yang permanen. Sesuatu ’didalam diri’ selalu memanggil kita untuk ’kembali’. Sang pemanggil itu tiada lain selain ’kepribadian’ kita. Kemampuan untuk keluar dari comfort zone merupakan salah satu fondasi penting, namun tidak berdiri sendiri dan bukan satu-satunya. Hal ini diperkuat oleh fakta lain yang tidak terbantahkan, yaitu; tidak ada seorang manusia pun yang bisa hidup dengan kepribadian orang lain.

Mengapa bisa begitu? Karena dalam setiap pribadi, Tuhan telah memberikan keunikannya masing-masing. Mengapa Tuhan memberi kita keunikan? Boleh jadi karena Tuhan ingin hidup kita memiliki daya saing. Bukankah tidak ada daya saing tanpa keunikan? Oleh karenanya, janganlah sekali-kali menyalahkan Tuhan jika kita selalu kalah dalam persaingan. Tanyakanlah kepada diri sendiri, apakah saya sudah menggunakan keunikan yang Tuhan anugerahkan ini untuk meningkatkan nilai jual dan keunggulan pribadi kita? Jika kita sudah menjadi pribadi yang unggul, mana mungkin kita tersisihkan begitu saja?

Jadi, jelas sekali kalau Tuhan memberi keunikan itu untuk membantu setiap insan akan mampu mengangkat martabat dirinya sendiri. Lebih dari itu, desain keberhasilan yang Tuhan rancang tidak dalam konteks persaingan. Melainkan saling melengkapi. Bayangkan, jika setiap orang mampu menjadikan keunikan pribadinya masing-masing untuk kehidupan. Maka setiap orang bisa berkontribusi kepada orang lain tanpa harus menihilkan kontribusi pihak lain. Mana ada persaingan jika demikian? Yang ada hanyalah harmoni. Karena melalui keunikan yang masing-masing miliki, kita bisa saling melengkapi. Bukankah seperti itu konteks kebangkitan yang lebih konstruktif?

Supaya bisa menata makna kebangkitan hakiki itu, kita perlu bercermin kepada nasihat Rasulullah SAW tentang esensi kebangkitan setiap insan. Beliau menasihatkan agar kita selalu mengingat suatu hari, ketika semua manusia dibangkitkan. Yaitu, hari ketika anak-anak yang kita banggakan dan harta yang kita kumpulkan tidak lagi berguna. Ketika jabatan dan kehormatan tidak lagi memiliki arti. Hari dimana kita akan dimintai pertanggungjawaban secara pribadi. Pada hari kebangkitan itu, setiap perbuatan kita selama hidup akan dievaluasi. Untuk menentukan tempat yang akan kita tinggali. Dalam kehidupan yang abadi.

by : Dadang Kadarusman

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month