Mengapa bangsa ini sulit sekali menjadi akil-balig? Belajar untuk bertanggung jawab layaknya orang dewasa. Para elite politik terus memperagakan perilaku kekanak-kanakan.
Gemar meminta banyak hal kepada negara sembari kerja malas-malasan. Petinggi negara masih juga tampak rileks, bahkan para koruptor pun dapat hadiah grasi. Segala hal di negeri ini seolah berjalan normal.
Kalau anak balita wajar bersikap kekanak-kanakan karena mereka memang homo ludens, makhluk bermain. Tapi, manakala para petinggi nasional masih bermain-main dengan urusan negara dan bangsa, lantas di mana pertanggung-jawabannya? Padahal saat ini hidup rakyat kian susah, perahu bangsa dalam pertaruhan, dan negeri ini tengah dilecehkan tetangga.
Sungguh, betapa sulit memahami nalar kekanak-kanakan elite politik yang menuntut adanya rumah aspirasi dengan anggaran keuangan negara. Kalau pakai anggaran sendiri tentu elegan. Bukankah selama ini mereka dibayar negara, yang salah satu kewajibannya ialah menyerap aspirasi rakyat.
Padahal mayoritas rakyat yang diwakili justru tengah berjuang mempertaruhkan hidup yang semakin berat dan dililit banyak kesulitan. Gagal dengan mainan rumah aspirasi, muncul gagasan dana daerah pemilihan. Apalagi yang masih kurang untuk dikuras habis dari perut negeri yang kian compang-camping ini?
Panorama paradoks lain juga terjadi. Di laut bangsa ini dilecehkan bangsa tetangga, tanpa rasa terhina. Padahal inilah negeri maritim dan kepulauan terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan sejarah masa lampau yang gagah perkasa.
Sedangkan di daratan ribuan anak bangsa terus mengadu nasib di negeri serumpun sambil terus dilecehkan, diindonkan, disiksa, dan sebagian tengah menunggu nasib untuk dihukum mati. Di tengah derita anak bangsa yang serba pilu seperti itu, para pemimpin bangsa masih juga tebal muka dan saling menyalahkan.
Apa yang hilang di negeri ini? Soal sensitivitas? Hidup saling peduli dan berbagi? Visi kebangsaan? Sikap tegas? Tanggungjawab? Moral kenegarawanan? Jangan-jangan kehilangan semuanya. Segalanya menyatu menjadi penyakit batin dan mental yang kronis.
Padahal masalah bangsa kian berat dan krusial. Masa depan penuh pertaruhan. Tantangan dari luar tak kalah ganasnya. Bencana demi bencana terus menimpa seolah tak kenal henti. Ada apa dengan perangai para elite bangsa di negeri ini?
Teladan Al-Faruq
Dalam memimpin negara, belajarlah kepada Ummar Ibn Khattab. Sosok khalifah ternama yang gagah, pemberani, negarawan, sekaligus sangat cinta rakyat. Dia bahkan tidak mau disebut khalifah, lebih senang dipanggil Amir al-Mukminun, yakni orang yang diberi amanat untuk menunaikan urusan rakyat, bukan menjadi penguasa.
Kepemimpinannya dikenal adil dan tegas, bahkan untuk sanak keluarganya sendiri. Karena itu, Umar dijuluki al-Faruq, sosok pemimpin yang adil, sekaligus menjadi figur pembeda. Jika dirinya bersalah, tak segan meminta maaf dan dihakimi pengadilan, tak mau ada perlakuan istimewa. Negara tidak pernah jadi urusan anak-bini.
Bagaimana Umar al-Faruq mencintai dan membela rakyatnya? Bukan berbasa-basi, beretorika, dan sekadar berteori. Setiap hari bahkan malam Umar turun langsung ke rakyat bawah. Dia temukan keluarga yang kelaparan, kemudian dia ambilkan gandum untuk diberikan.
Dia ajak istri tercintanya, Ummu Kalsum, untuk berpahala membantu ibu yang sedang melahirkan. Dia jumpai ibu yang tak menyusui bayinya yang tengah menangis, lalu dianjurkannya untuk menyusuinya bahkan dibuatkannya edaran ke seluruh pelosok negeri agar ibu-ibu menyusui bayinya hingga usia dua tahun.
Umar begitu kasih sayang, empati, peduli, dan membela rakyat kecil dengan tangannya sendiri. Karena itu, selain sosok Al-Faruq, Umar dikenai pula sebagai “ayah kaum dhuafa”, karena demikian cintanya terhadap rakyat yang lemah. Sekaligus tegas kepada siapa pun yang melanggar aturan dan tanpa pandang bulu.
Dalam pidatonya ketika diangkat khalifah, Umar sebagaimana ditulis Heikal (2001: 656) berujar lantang: “Di mata saya, tidak ada orang yang lebih kuat daripada orang yang lemah di antara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tak ada yang lebih lemah daripada orang yang kuat sebelum saya cabut haknya“.
Jika para elite dan pemimpin negeri belajar pada Umar Al-Faruq, lebih-lebih kepada uswah hasanah Nabi Muhammad, tidak akan ada yang mengabaikan amanat dan menelantarkan rakyat.
Apalagi aji mumpung dan haus kuasa, karena kekuasaan dan mandat itu bukan hanya urusannya dengan rakyat, melainkan juga menyangkut urusan pertanggung-jawaban dengan Tuhan. Karena itu, tidak akan berani bermain-main dengan kekuasaan yang ada di tangannya, sekecil apa pun kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang besar.
Soal karakter
Bagaimana dengan para elite dan petinggi negeri ini? Kecukupan lahir dan reputasi diri sungguh luar biasa. Fasilitas negara pun tak kurang, bahkan cukup berlebihan. Mungkin yang kurang ialah soal karakter kepemimpinan. Masalah mental dan martabat diri.
Muaranya ialah kemiskinan rohani. Rohani yang menggelorakan jiwa amanah, tanggung jawab, kerja keras, komitmen, dan pengkhidmatan total untuk bangsa dan negara melampaui hak-hak yang diperolehnya.
Mentalitas elite negeri seolah menjadi pemulung berdasi. Kerja tanpa risiko sambil mengais-ngais barang rongsokan. Gaji, fasilitas, dan hak-hak istimewa tidak pernah dirasakan cukup karena yang dikejar adalah keberlebihan.
Sebesar apa pun hak-hak yang diberikan negara tidak akan pernah merasa cukup karena yang diinginkan ialah ketidak-terbatasan. Hidupnya merasa kurang dan kurang terus di tengah keberlebihan yang tak dimiliki rakyat banyak.
Mental pemulung berdasi berkaitan dengan kualitas martabat diri. Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam salah satu hadisnya, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Nabi dan para sahabat yang dijamin Allah masuk surga, bahkan bermujahadah untuk mempraktikkan cara hidup yang bermartabat utama itu. Bukan sekadar bicara.
Seluruh hidupnya diabdikan untuk mengemban risalah dan memuliakan umat manusia. Muhammad adalah nabi kaum mustadh’afin. Keperkasaannya mengguncang takhta Kisra, tetapi hidupnya bersahaja dan pembela kaum jelata. Para khalifah penerusnya pun mengikuti jejaknya. Banyak memberi, tidak pernah meminta. Apalagi meminta kepada negara ketika rakyat hidup miskin, susah, dan diimpit derita.
by : Haedar Nashir
[Source : Kolom Republika]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA