Share Info

18 March 2011

Keadilan Hati menurut HAMKA

Bulan depan, 101 tahun lalu, persisnya tanggal 17, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal dengan singkatannya Hamka, dilahirkan di Pariaman, Sumatra Barat. Rumahnya tempat ia dilahirkan, kini dijadikan museum yang merekam jejaknya, yang rasanya sulit ditandingi siapa pun. Hamka pada saat yang sama adalah sastrawan, wartawan, ulama, aktivis organisasi, bahkan politisi.

Sejauh mana Hamka sebagai orang besar - pribadi dan karya-karyanya? Pendapat tentu macam-macam. Lumrah, bukan?

Hamka sendiri suatu kali menyata-kan, “Saya akui bahwa saya memang populer, terkenal dan termasyhur di mana mana…. Sebab saya sejak masih muda sudah jadi pengarang, mubalig dan guru. Di hari tua berpidato di TVRI dan RRI. Tetapi kepopuleran bukanlah menunjuk-kan saya yang lebih patut.” la lalu mengu-tip sepenggal syair Jurji Zaidan, penyair Arab: “Tidaklah semua yang populer itu orang besar, dan tidaklah semua yang besar itu populer.”

Tapi ia pasti akan dikenang karena romannya yang bisa mengoyak-ngoyak kalbu pembacanya, seakan Hamka itu Sigmund Freud dalam bidang… cinta. Roman-roman itu juga harus dibaca pengamat sosial dan sejarawan, karena ia menggambarkan dengan kaya pertautan agama dan adat dalam konteks tertentu.

Saya senang membacanya, terutama untuk memperoleh rasa bahasa Melayu seperti yang disajikan dalam salah satu karya terbaiknya. Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, roman tentang cinta terlarang adat (dan kelas sosial), begini Hamka menuliskan surat Zainuddin kepada kekasihnya Hayati: “Lebih seratus kali namamu kusebut dalam sehari. Kadang-kadang namamu terpanggil dalam nyanyianku, kadang-kadang dalam ratapku. Kicutpintu dito-lak angin, terasa langkah kau yang ter-dengar.”

Masya Allah!

Namun, di luar sastra, Hamka juga contoh penting yang mengajarkan kita bagaimana berpikir dan bersikap merdeka. Inilah yang membuat majalahnya, Panji Masyarakat, pernah dibredel Bung Karno karena menerbitkan esai Bung Hatta, Demokrasi Kita, yang mengecam Demokrasi Terpimpin. Tanpa sikap itu, katanya, kaum intelektual hanya akan “melacurkan diri, mengkhianati ilmu pengetahuan….”

Belakangan, karena nasihatnya seba­gai Ketua Umum MUI untuk mengha-ramkan perayaan Natal bersama tidak diindahkan pemerintah, ia mengundur-kan diri dari organisasi yang didirikannya itu. Saya tidak setuju dengan isi nasihat­nya, tapi saya akan sebisa mungkin mengikuti sikap yang diambilnya akibat penolakan itu.

Yang menarik, ketegasan Hamka itu tidak mengubah posturnya sebagai ula­ma yang santun, dengan suara dan isi ceramah yang menyejukkan hati - cocok sekali dengan sebutan “Buya” di depan namanya. Untuk ini, saya hanya bisa iri mendengar kisah almarhum Nurcholish Madjid tentang ceramah-ceramah itu. Sekalipun keduanya berbeda pikiran dalam beberapa hal penting, saya kira Nurcholish belajar banyak dari Hamka untuk “santun dan menyejukkan” itu. Maklum saja, di masa mudanya, ia ham-pir merupakan “penduduk tetap” Masjid Agung Al-Azhar, yang dibangun dan dikelola Hamka.

Toh sikap moderat yang tegas itu bisa juga saya rasakan dari Tasawuf Modern. Di situlah ia, misalnya, menjunjung tinggi asketisme, seraya menolak sikap melarikan diri dari dunia. la juga men-dukung isi pembaharuan “Kaum Muda” di Minangkabau, sambil mengecam cara-cara mereka yang kadang berlebih-an dan main hajar!

Dengan latar belakang itu, saya ter-heran-heran membaca cerita tentang Hamka yang suatu hari, di Pakistan, merasa senang karena ia bisa meng-hangatkan diri dengan membakar buku-buku Ahmadiyah Qadiani yang di-hadiahkan kepadanya hari itu. Apalagi, katanya, kayu perapian di kamar hotel-nya sudah habis. Saya kira bukan tanpa maksud jika H. Achmad Syathari, yang menuturkan kisah di atas, memberi judul tulisannya “Hamka Manusia Biasa.”

Karena mengagumi Hamka, saya bersyukur juga bahwa hal itu dilakukan-nya tidak di depan publik, yang akan menjadikannya isu lain. Tapi saya tetap merasakannya sebagai sesuatu yang berlebihan - enggak Hamka banget!

Hidup Hamka juga khazanah kaya tentang etika bermusuhan. Membaca

bagaimana ia memperlakukan tokoh-tokoh yang pernah bersikap zalim kepa­danya, saya jijik menyaksikan ulah sejumlah pemimpin kita dalam mem­perlakukan bekas lawan politik mereka.

Kita harus belajar dari bagaimana Hamka memperlakukan Bung Karno, yang pernah memenjarakannya untuk tuduhan palsu, dan yang pernah marah besar kepadanya karena ia tidak meres-tui kehendak si Bung Besar untuk kawin lagi. Seperti dikisahkan H.M. Rusydi Hamka, anaknya, Hamka menangis ke­tika mendengar Bung Karno sakit dan dalam kondisi kritis. Dan ketika ia wafat, Hamka berdiri di barisan paling depan, memimpin salat jenazahnya!

Cerita Rusydi lainnya, dengan nafas sama, terkait dengan Pramoedya Anan-ta Toer, sastrawan terkenal yang ketika memimpin Lembaga Kebudayaan Rak-yat (LEKRA), di awal 1960-an, amat me-musuhi Hamka. Suatu hari anak Pramoedya, bersama pacarnya, datang

menemui Hamka. Setelah menanyakan kabar bapaknya, sambil memuji karya-karyanya, Hamka menanyakan maksud anak itu. Rupanya ia minta tolong Hamka untuk mengislamkan pacarnya itu, yang Kristen, dan menikahkan mere­ka. Hamka lalu mengajarkan dasar-dasar Islam kepada si laki-laki, kemudi-an menikahkan mereka.

Sesudah peristiwa itu, Rusydi berta-nya, ‘Ayah lupa siapa Pramoedya?”

“Tidak,” tegas Hamka. “Betapa pun ia membenci kita, kita tak berhak menghu-kumnya. Allah-lah Yang Mahaadil. Dan ia pun telah menjalani hukuman dari penguasa negara kita ini.”

Akhirnya, saya kira para penulis juga harus iri pada produktivitas Hamka. Sebegitu sibuknya, tak kurang dari 115 judul buku ditulisnya.

Hamka patut diberi kredit tambahan karena ia menyelesaikan magnum opus-nya, Tafsir al-Azhar, 30 juz, ketika ia di-penjara Soekarno, tiga tahun kurang se-dikit. Kata Taufik Abdullah, ia berhasil “mengubah musibah menjadi berkah.”

Selain kelengkapannya, karya itu juga patut ditiru karena Hamka, seraya menyampaikan hal serius, terus menya-dari perlunya menjalin komunikasi dengan pembacanya. la melakukannya antara lain dengan mengajak mereka mendialogkan apa saja, dengan bahasa yang mudah dicerna.

Salah satu contohnya saya temukan ketika ia membahas poligami. Sesudah mengulas ayat-ayat yang terkait dengan tema itu, ia menyisipkan nasihat guru-nya kepadanya, ketika ia masih muda:

“Cukuplah istrimu satu saja, wahai Abdul Malik! Aku telah beristri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi. Resiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorangdari kami bertiga mening-galdunia. Anakku dengan mereka ber-dua banyak. Aku siang-malam menderi-ta bathin, karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati.”

Saya merasakan sastra Melayu di situ. Kata-katanya terdengar enak ketika dibaca keras-keras. Kalimat-kalimatnya langsung, mudah dimengerti. la mende-sak pembacanya untuk tidak bisa lain kecuali merenungkan kata-katanya.

Entah bagaimana kami bisa men-contohmu, Buya. Tapi, atas semuanya, syukran katsir!

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month