Share Info

31 March 2011

Kepasrahan yang Mencerdaskan Jiwa

Kepasrahan yang Mencerdaskan JiwaSyekh Ibn Athaillah mengajak pembaca untuk
menghayati posisi kita selaku hamba Allah. Kita ini hamba. Dan Allahlah Sang
Majikan. Sebagai hamba-Nya, kita tertuntut untuk memusatkan perhatian pada
upaya mengabdi kepada-Nya. Amatlah tidak sopan bila kita justru mengerahkan
segenap daya untuk me¬merhatikan dan memuaskan kepentingan diri sendiri. Karena
inilah Ibn Athaillah mengingatkan kita akan betapa pentingnya isqdth
al-tadbir—tema utama buku ini—yakni mengistirahatkan diri dari turut mengatur
dan menginginkan sesuatu untuk keperluan hidup yang kita lakoni.

Buku ini—isqdth al-tadbir—menawarkan cara tepat untuk memandang hidup.
Karenanya, buku ini bak kacamata, yang dengannya matahati kita yang rabun bisa
melihat lebih sempurna. Dengan penglihatan yang sempurna, tentulah hidup ini
menjadi semakin jelas. Dan dengan jelasnya hidup, tentunya perjalanan kita
menempuhnya men¬jadi lebih lurus dan lancar—tidak nabrak-nabrak dan tidak
nyasar-nyasar.

Dalam pandangan Ibn Athaillah, pengabdian kita kepada Allah seharusnya tidak
hanya ditunaikan dengan menjalankan kewajiban, yakni segala yang diperintahkan
Allah, namun pula dengan menjalani ketetapan, yakni segala yang ditentukan
Allah. Kematangan iman hanya bisa dirasakan bila kedua hal ini secara sem¬purna
dilaksanakan. Dengan demikian, sebenarnya ada dua hukum yang patut dipatuhi
oleh orang beriman, yaitu hukum taklif yang sudah lazim kita kenal se¬bagai
berbagai perintah dan larangan Allah yang mesti dijalankan selama hidup, dan
hukum takdir yang mencakup ketentuan dan keputusan Allah yang mesti dijalani
dalam hidup.

Keperluan atau kebutuhan hidup makhluk sebetulnya adalah sesuatu yang sudah dan
terus dijamin oleh Allah. Dengan ilmu-Nya, Allah sudah mengatur diri kita
bahkan sebelum kita ada. Setelah kita terlahir di dunia, Allah pun terus
mengatur urusan kita. Akan tetapi, setelah berakal, kebanyakan manusia seolah
lupa bahwa selama ini urusan hidupnya ada dalam pengaturan Allah. Setelah
berakal, mereka seakan ingin mengambil alih 'hak pengaturan' itu; mereka ingin
mereka sendiri yang mengatur segenap urusan hidup mereka. Dalam pikiran Ibn
Athaillah, ini hal yang tidak betul; ini justru sebentuk ketidak bersyukuran
atas nikmat akal.

Allah tidak berhenti mengurus kita sekalipun kita sudah berakal. Ketentuan-Nya
terus berlaku. Akal kita semestinya kita gunakan untuk memahami dan
melaksanakan secara baik perintah Allah, dan bukan untuk melanggarnya; untuk
memahami dan melakoni secara baik ketentuan Allah, dan bukan untuk menolaknya.

Yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah apa yang dituntut dari kita,
bukan yang dijamin untuk kita. Dalam Al-Hikam, Syekh Ibn Athaillah bertutur,
"Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu
melaksanakan apa yang dituntut darimu, adalah bukti dari rabunnya mata
batinmu." Karena itu, "Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu, karena
segala yang telah diurus oleh 'Selainmu' (yakni Allah), tak perlu engkau turut
mengurusnya."

Lagi pula, "Menggebunya semangat tak akan mampu menerobos benteng takdir."
Maksudnya, seberapa banyak pun energi yang kita curahkan untuk memenuhi suatu
keinginan, tetap saja itu tak akan tergapai jika tak sesuai dengan keputusan
Tuhan. Kita tak dapat memenangkan kehendak kita di atas kehendak-Nya. Kita
bahkan kerap menemukan bahwa takdir dan ketentuan yang berlaku pada diri
manusia bukanlah yang sesuai dengan pengaturan olehnya. Peng¬aturan manusia
ibarat rumah pasir di tepi laut, yang bisa demikian mudah runtuh tatkala ombak
takdir Tuhan berlabuh.

Dalam hidup, kita juga acap menemukan bahwa apa yang menurut kita baik ternyata
bisa membawa keburukan, dan sebaliknya, apa yang kita sangka buruk ternyata
malah mendatangkan kebaikan. Boleh jadi ada keuntungan di balik kesulitan, dan
ada kesulitan di balik keuntungan. Boleh jadi pula kerugian muncul dari
kemudahan, dan kemudahan muncul dari kerugian. Mana yang berguna dan mana yang
berbahaya pada akhirnya adalah sesuatu di luar pengetahuan kita.

Oleh sebab itu, dalam pandangan Ibn Athaillah, 'sibuk mengatur nasib sendiri'
sejatinya adalah tindakan yang kurang lebih sia-sia, apalagi bila kesibukan ini
melalaikan kita dari tugas-tugas sebagai hamba. Lucu sekali bila manusia tetap
berhasrat akan pengaturan diri. Pertama, karena ia pada dasarnya tak mengetahui
apa yang terbaik bagi dirinya. Dan kedua, karena Allah Yang Maha Mengetahui apa
yang terbaik buat para makhluk-Nya senantiasa dekat dan meng¬atur secara baik.
Allah itu dekat dan karenanya senan¬tiasa memberi perhatian kepada kita
sekalipun tanpa sepengetahuan kita. Tidak percaya kalau Dia tak akan
mengabaikan kita adalah bukti lemahnya iman kita. Allah juga sayang dan
karenanya selalu mengatur urusan kita secara baik. Pengaturan kita terhadap
diri kita sebenarnya adalah bukti ketidaktahuan kita akan pengaturan Allah yang
baik terhadap diri kita—dan karenanya adalah juga bukti minimnya cahaya
makrifat di hati kita.

Lebih dari sekadar ironi dan kesia-siaan, Ibn Athaillah juga mengategorikan
sikap sibuk mengatur urusan diri sebagai sebentuk syirik rububiah. Bila syirik
uluhiah berarti meyakini ada tuhan lain yang patut disembah selain Allah, atau
menentang ketuhanan Allah; syirik rububiah berarti meyakini ada pengatur lain
yang turut mengurus kehidupan selain Allah—dalam hal ini kita 'meyakini' bahwa
kita bisa menjadi pengatur selain-Nya—atau menentang pengaturan Allah. Bila
demikian, sesungguhnya Ibn Athaillah bermaksud menyadarkan kita akan sesuatu
yang sangat berbahaya dalam konteks penghambaan kita kepada Allah. Dan
rasa-rasanya buku ini menjadi wajib dibaca oleh mereka yang berislam, yang
menyatakan keberserahan diri mereka kepada Allah.

Mereka yang memelihara kesopanan kepada Allah dan tidak ingin jauh dari-Nya,
tentu akan mencoba menggugurkan tadbir dan iradah mereka yang membuat mereka
terhijab (tertabiri) dari Allah. Mereka akan keluar dari gelapnya tadbir (sikap
mengatur diri) menuju terangnya tafwidh, yakni penyerahan urusan atau pilihan
hidup kepada Allah, hingga mereka menyaksikan bahwa diri ini diatur dan tidak
turut meng¬atur, ditentukan dan tidak ikut menentukan, serta digerakkan dan
tidak bergerak sendiri. Untuk ini diperlukan sikap rida dengan pengaturan
Allah. Rasa berat hati hanya akan membuat hati tetap terhijab dari cahaya
Allah. Selain itu diperlukan pula sikap selalu berbaik sangka kepada Allah.
Allah lebih tahu mengenai apa yang terbaik buat hamba-Nya. Dia pun sudah
berjanji bahwa siapa bertawakal kepada-Nya, Dia akan mencukupinya. Lebih dari
rida dan berbaik sangka, mereka juga akan senang dan mencintai segala kehendak
dan keputusan Allah Sang Pemilik anugerah.

Pembaca budiman, model kepasrahan ala tasawuf Ibn Athaillah seperti ini
tidaklah perlu dicap sebagai semacam kepasifan dalam hidup. Kepasrahan atau
ke¬berserahan diri kepada pengaturan dan kehendak Allah tidaklah sama dengan
berhenti bekerja, berhenti mengais rezeki, ataupun berhenti berdoa lantaran
menyerahkan semuanya kepada Allah. Bahkan, pembaca akan mendapatkan bahwa adab
berharta, mencari rezeki, berusaha, dan berdoa adalah tema penting dalam buku
ini, yang dengannya Ibn Athaillah bermaksud menepis pandangan yang mengesankan
kepasrahan sebagai kemalasan.

Dari segi "cara hidup", baik orang yang berserah ataupun orang yang tidak
berserah nyaris tiada beda-nya. Yang membedakan mereka adalah cara mereka
memandang, merasa, dan menyikapi hidup. Dalam hal ini, ajaran isqath al-tadbir
sebetulnya adalah juga ajaran mengenai kecerdasan emosional-spiritual. Sebab,
pada praktiknya, isqath al-tadbir akan setidaknya membuahkan beberapa sikap
hati berikut ini:

Pertama, ketidakrisauan akan sarana-sarana penghidupan. Sikap ini penting agar
hidup tidak dipenuhi perasaan cemas, khawatir, gundah, dan gelisah yang
menempatkan hidup kita selalu dalam tekanan. Tak hanya itu, ketenangan itu
sendiri juga penting demi kesuksesan kita meraih sarana-sarana penghidupan.

Kedua, ketidakbergantungan pada amal atau usaha. Kebergantungan pada perbuatan
atau daya upaya acap kali berbuntut keputusasaan dan frustrasi pada saat
kendala dan kegagalan ditemui. Dengan bergantung kepada Allah, kita bisa
terhindar dari keputusasaan yang mencelakakan. Bersandar kepada-Nya membuat
kita selalu bangkit dan selamat dari perasaan terpuruk.

Ketiga, keridaan pada kenyataan. Kekecewaan, kekesalan, dan ketidakpuasan pada
kejadian-kejadian yang menimpa hanya akan menguras energi kita yang sebetulnya
bisa kita gunakan untuk sesuatu yang positif. Dengan rida pada kenyataan,
segetir apa pun itu, kita akan selalu siap menghadapinya dan meresponsnya
secara wajar dan berguna.

Keempat, keberharapan atau optimisme hidup. Dengan bersandar kepada Allah, dan
percaya bahwa Dia selalu memberikan yang terbaik, kita melipat gandakan rasa
optimis kita—terlepas dari betapa buruk hal-hal yang menimpa kita di mata
orang. Dengan tak pernah lalai bahwa Allah Maha Menolong dan Mahakuasa, dengan
tak pernah kehilangan rasa butuh kepada-Nya, kita menjadi terbebas dari penjara
keterbatasan, dan merasa lapang sekalipun dikepung oleh berbagai
ketidakmungkinan—serasa menjadi pemenang dalam hidup selamanya. Selamat mencoba!

[Source : mail-archive]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month