Share Info

1 February 2011

Evasi dan Etika Komunikasi

Perang mulut antaranggota panitia khusus (pansus) Bank Century, Ruhut Sitompul dan Gayus Lumbuun, menjadi sebuah drama parlementer sarkastis terawal di tahun 2010. Arus komunikasi yang berlangsung dalam hitungan menit dengan eskalasi emosi jiwa dan kata pun menjadi tontonan jutaan pemirsa televisi di seantero nusantara. Elemen komunikasi, baik verbal mau pun nonverbal ditampilkan secara dramatik vulgar dan sempurna tanpa mengindahkan ruang, waktu, etika apalagi estetika kala komunikasi itu dilakukan. Telah terjadi apa yang dalam komunikasi dikenal dengan istilah evasi komunikasi. Wajar jika sebagian kalangan menganggapnya sebagai sebuah pemandangan yang jauh dari tuntunan yang seyogyanya mengedepankan etika, moral dan estetika kepangkatan orang-orang yang melakukannya. Ada kekhawatiran tesis Gus Dur (Alm.) tentang anggota yang terhormat itu mendekati titik kebenarannya.

Menurut E. Cooper dan M. Johada, evasi komunikasi adalah sebuah gejala dan tindakan mencemooh dan mengelakkan suatu komunikasi untuk mendiskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi (understanding derailed), mencacatkan pesan komunikasi (message made invalid) dan mengubah kerangka referensi (changing frame of reference). Pencemoohan terhadap pribadi dan kepribadian seseorang (dalam kasus di atas dengan membawa-bawa soal ‘profesor’ sebagai atribut pribadi) tentu dapat dikatakan mendiskreditkan komunikan yang tidak ada hubungannya dengan substansi apalagi esensi yang tengah dibahas di ruang yang terhormat itu. Hal ini bukan hanya mengeluarkan pesan dari rel sesungguhnya melainkan juga menyia-nyiakan narasumber berkompeten yang telah diundang ke parlemen untuk tujuan klarifikasi kasus yang tengah ditangani oleh panitia khusus tersebut. Bukankah kejadian itu hanya menghabiskan waktu tanpa hasil?

Evasi komunikasi lainnya yang terjadi adalah pesan komunikasi menjadi cacat (message made invalid). Dalam suasana seperti itu, sulit dibedakan lagi antara informasi, fakta dan data valid dari klarifikasi yang disampaikan oleh narasumber. Ada sebuah suasana dan kondisi yang tidak kondusif yang telah dibangun sebelumnya (mengeluarkan pesan dari rel sesungguhnya dengan cemoohan - understanding derailed). Dalam keadaan seperti itu, pesan bukan hanya tidak valid, cacat dan tidak terarah, ia juga menjadi tidak layak kutip karena bukan menjadi data faktual yang benar-benar terjadi di lapangan. Ada nuansa ngawur disana. Bagaimana sesuatu yang tidak pada rel-nya dipaksa untuk ditelusuri dan diteliti lebih lanjut? Peristiwa itu tidak pernah terjadi, lalu dari mana data, fakta dan informasi itu dapat diformulasi? Ini menjadi sebuah drama parlemen bak sinetron kejar tayang yang perencanaan dan pelaksaanaan shooting-nya pada hari yang sama dan ketika berada di lapangan pula!

Evasi komunikasi terakhir yang terjadi adalah upaya mengubah kerangka referensi (changing frame of reference). Kerangka referensi yang seharusnya baku (berdasarkan tata tertib rapat anggota pansus) pun menjadi ter-reduksi, terdistorsi dan terdeviasi demi agenda terpesan (hidden agenda). Hak bertanya secara tajam untuk mendapatkan jawaban sesuai dengan yang sebenarnya terkendala karena kerangka referensi yang sudah disepakati tidak diaplikasi secara konsisten dan konsekuen. Para anggota (utamanya yang berperang mulut) pun menggunakan kerangka referensinya masing-masing. Jika sudah demikian, apa yang dapat diharapkan dari alur tanya jawab yang menyita perhatian publik ini? Tentu wajar jika masyarakat merasa masygul dan malu dengan tindakan anggota parlemen yang diatribut ‘anggota yang terhormat’ itu. Hal ini terjadi bukan hanya karena tidak mendapatkan informasi terukur dan akurat, melainkan juga melukai hati para pemilih anggota parlemen tersebut. Sendi-sendi etika dan kemoralan yang seharusnya dijunjung tinggi dan dicontohkan oleh anggota legislatif itu ternyata hanya menjadi hiasan dekorasi orasi saat kampanye.

Untuk mengobati keprihatinan dan kepedihan publik itu tentu bukanlah sebuah keterlambatan. Sepanjang hati nurani dan etika masih bersemayam dalam ruang afeksi, semua itu akan bisa dikoreksi dan diafirmasi. Etika yang secara luas menurut maknanya yang paling dalam berarti sistem tata nilai moral, tanggungjawab, dan kewajiban pun akan dapat mengobati hati yang luka sepanjang dilakukan dengan kesadaran, kebebasan yang dilandasi kemampuan. Dengan mengedepankan etika, segala bentuk komunikasi parlemen akan berdaya magis, menyihir setiap orang yang mendengarnya, utamanya rakyat yang memang merindukan dan sekaligus akan mampu menggerakkan publik mendukung dan melakukan pesan-pesan yang diujarkan dari ruang dewan yang terhormat itu. Bukankah ini esensi sejati dari keberadaan para anggota dewan di parlemen? Kita tunggu saja komunikasi yang menjauhi model evasi dan mengedepankan komunikasi yang beretika, bermoral dan berestetika. Semoga!

by : Dr. Ponijan Liaw, M.Pd (Pelatih & Penulis Buku-buku Komunikasi)

[Source : .andrewho-uol.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month