by : Andita Saviera
Sebagai seseorang yang pernah menjadi seorang remaja, saya tahu dengan persis bahwa masa remaja adalah masa dimana saya sering mengalami konflik dengan orangtua saya. Masalahnya ada aja. Dari masalah belum bersihin kamar sampai masalah pacar. Dari masalah kecil sampai besar. Pokoknya kita selalu salah dan enggak pernah benar. Orangtua sepertinya enggak memahami kita dan segala kebutuhan kita.
Sebagai seseorang yang pernah menjadi seorang remaja, saya tahu dengan persis bahwa masa remaja adalah masa dimana saya sering mengalami konflik dengan orangtua saya. Masalahnya ada aja. Dari masalah belum bersihin kamar sampai masalah pacar. Dari masalah kecil sampai besar. Pokoknya kita selalu salah dan enggak pernah benar. Orangtua sepertinya enggak memahami kita dan segala kebutuhan kita.
Orangtua yang memiliki anak remaja juga mungkin tahu apa yang saya bicarakan. Anak mulai sering melawan atau membangkang ketika dinasehati. Anak sepertinya sudah tidak butuh kita lagi dan justru kita dianggap “mengganggu”. Mereka lebih memilih cerita dan bepergian bersama teman-teman mereka. Mereka juga sudah mulai berargumen dan mulai berani menyatakan ketidaksetujuan mereka. Konflik pun sering sulit dihindari. Rasanya sebagai orangtua kita selalu salah.
Konflik antara remaja dan orangtua memang sangat lumrah terjadi. Dibandingkan fase kehidupan lain, fase remaja adalah masa yang paling sering terjadi konflik dengan orangtua. Mengapa begitu?
1. Perkembangan Remaja
Faktor utama adalah karena masa remaja adalah masa dimana seorang anak mengalami perkembangan fisik, pemikiran dan dalam kehidupan sosial mereka. Perkembangan ini membuat remaja menjadi individu dengan karakteristik khusus, berbeda dengan sewaktu mereka masih kanak-kanak.
Perkembangan yang berperan paling besar terhadap munculnya konflik adalah perubahan dalam aspek kognitif atau cara berpikir mereka. Anak remaja sudah mulai masuk di fase dimana mereka mulai menyadari bahwa mereka sudah bisa berargumentasi, mereka tidak selalu harus setuju dengan perkataan orangtua. Mereka kritis terhadap pemikiran orangtua mereka. Mereka sudah mulai melihat bahwa orangtua juga memiliki kelemahan dan bisa salah. Mereka juga mulai sadar bahwa mereka sudah mampu membuat suatu keputusan. Dengan kemampuan mereka yang baru mereka rasakan ini, remaja sudah mulai mempertanyakan dan meminta penjelasan atas tuntutan-tuntutan orangtua mereka.
Selain itu, remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Dari anak-anak yang merasa bergantung kepada orang tua mereka, remaja secara perlahan berubah menjadi orang dewasa yang independen, yang bebas. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bisa melakukan segala sesuatu sendiri. Remaja ingin diperlakukan seperti orang dewasa.
Namun, seperti halnya anak yang baru bisa jalan, segala kemampuan tersebut belum mereka kuasai sepenuhnya. Mereka sering salah dalam dalam berargumen atau salah dalam membuat keputusan. Orangtua yang melihat ini bermaksud membantu dengan menasihati, memarahi atau bahkan membuat keputusan untuk remajanya. Tetapi remaja melihat ini sebagai bentuk ketidakpercayaan orangtua terhadap mereka. Maka konflik pun terjadi.
2. Krisis otoritas pada orangtua
Hal lain yang berpengaruh terhadap konflik antara remaja dan orangtua adalah kecenderungan orangtua yang sulit melepas otoritas mereka terhadap anak. Hal ini adalah hal yang lumrah, karena orangtua terbiasa dengan anaknya yang bergantung sepenuhnya dengan mereka. Padahal anak mereka butuh untuk kebebasan dalam berpendapat dan membuat keputusan. Akibatnya konflik pun terjadi.
3. Perubahan Norma sosial
Jaman sudah berubah. Orangtua dan anak remajanya hidup dalam jaman berbeda. Orangtua masih hidup dalam norma hasil didikan orangtua mereka, sedangkan remaja hidup dalam norma yang berbeda. Di Indonesia, orangtua mengharapkan anak untuk selalu patuh dan nurut. Tetapi anak remaja sekarang menginginkan kebebasan dan kemandirian. Orangtua dan remaja, masing-masing merasa bahwa norma yang mereka anutlah yang benar, akibatnya konflik pun terjadi.
4. Perbedaan Kepribadian remaja dan orangtua
Pada dasarnya, “sifat” orangtua dan anak remaja itu berbeda. Orangtua cenderung berhati-hati, realisti dan memegang erat norma yang mereka anut. Sedangkan remaja cenderung berani, memiliki jiwa berpetualang, optimis, idealis dan lebih fleksibel dalam menerima norma baru. Sifat yang bertolak belakang ini tentunya berkontribusi dalam munculnya konflik diantara kedua pihak.
Setelah membaca artikel ini, saya berharap saya telah membantu DailyReaders dalam memahami orangtua atau anak remajanya sehingga konflik pun bisa terhindar. Poin-poin yang saya harapkan bisa diambil DailyReaders adalah:
1. Anak remaja ingin diperlakukan seperti orang dewasa. Mereka bukanlah anak-anak lagi. Oleh karena itu, bagi orangtua, gunakan pendekatan yang sifatnya berdiskusi, dimana kedua pihak bisa mengemukakan pendapat masing-masing. Hindari komunikasi satu arah. Dengarkan pendapat anak Anda. Tunjukkan kepercayaan Anda kepada mereka. Jangan ngotot dengan nilai-nilai Anda. Sesuaikan dengan nilai yang dimiliki anak.
2. Meski telah berkembang namun pemikiran remaja masih belum sepenuhnya matang. Oleh karena itu, remaja akan sering salah dalam berargumen atau membuat keputusan. Untuk menghindari kesalahan tersebut, manfaatkanlah orangtua kalian. Orangtua juga pernah melewati masa remaja dan pengalaman mereka sudah banyak. Jangan segan untuk bertanya kepada mereka dan dengarkan nasihat mereka. Tidak ada salahnya mengikuti. Mereka hanya ingin yang terbaik bagi anak mereka.
[Source : dailypsychology]
[Source : dailypsychology]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA