Ada kalanya, setiap hari libur, justru menjadi hari yang sibuk. Begitu besok libur, hari ini kepala sudah penuh rencana. Anak-anak ingin ke sini, yang lain ingin ke sana, sementara saya sendiri sebetulnya ingin ke situ. Baru di tingkat menyatukan keinginan saja sudah begitu penuh kegaduhan. Begitu niat sudah bisa disatukan, juga tidak sederhana menyusun rencana. Makin jauhsebuah perjalanan, makin rumitlah sebuahpersoalan karena makin banyak perlengkapan yang harus dipersiapkaan.
Kalau hari libur itu diisi dengan bepergian dan rekreasi, tak jarang hasilnya malah lelah sekali. Di jalan, orang-orang yang berpikiransama ternyata jumlahnya banyak sekali. Akibatnya, rekreasi yang disangka akan berisi ketenangan itu malah ketemu kegaduhan. Di jalan berebut jalur, di rumah makan berebut kursi, di tempat rekreasi berebut giliran. Dampak rebutan ini akhirnya terasa sekali, hasil liburan itu, sering malah berupa tekanan.
Jadi ada yang sering dilupakan dari liburan ini terutama aneka efek yang bersifat kebalikan. Sedianya waktuuntuk berlibur, malah penuh kesibukan. Sedianya rileks malah tegang. Sedianya sepi malah penuh kegaduhan. Sedianya santai malah penuh kelelahan. Kalau begitu, lebih sibuk manakah antara waktu kerja dan waktu libur itu?
Pertanyaan inilah yang merubah persepsi saya atas definisi 'libur'. Liburan sejati itu akhirnya lebih bermuara di dalam hati, bukan pada hari libur. Pada dasarnya, seseorang bisa menciptakan hari libur kapan saja dia mau, tak peduli hari sedang tidak libur. Karena pada dasarnya, seseorang juga bisa terus menyibukkan dan memelah-lelahkan diri walau hari sedang libur. Bekerja pun lelah, berlibur pun lelah, lalu apa bedanya. Maka muara liburan itu pasti ada di dalam hati, bukan ada pada hari libur.
Kini tugas kita ialah mencipakan hari libur itu sebebas-bebasnya, sesuka kita, kapan saja, tak peduli pada waktu kerja. Ketika sambil mengetik tugas-tugas rutin, saya memunculkan wajah anak di layar komputer, tiba-tiba saya mendapat rasa mengetik yang berbeda. Mengetik yang bukan bekerja tetapi mengetik sambil bermain bersama anak-anak sekalian mencarikan uang untuk keluarga.
Saya juga bisa berperilaku sebaliknya, bahkan dalam liburan, sambil mendorong anak-anak di ayunan, otak saya bisa sudah kembali ke kantor, ke dalam kerja dan target-target yang menjadi terorsepanjangmasa. Itulah suasana kerja yang terbawa ke mana-mana, bahkan juga ke dalam tidur sebagai mimpi buruk. Bayangkan, di dalam tidur pun saya tidak benar-benar tertidur tetapi terus sambil bekerja berupa memikirkan kerja. Padahal kalau mau, saya bisa saja menciptakan liburan disetiap hari kerja. Cukup dengan setengah jam memejamkan mata di kursinya, teman saya bisa bangun dan kembali bekerja dengan gembira. Tetapi sudahjelas-jelas ini adalah hari yang saya boleh tidur sebebas-bebasnya, malah sulitsekali memejamkan mata.
Jadi, ada orang yang bahkan di dalam kerja pun sanggup berlibur, dan ada yang bahkan di dalam libur ia terus bekerja. Termasuk golongan yang manakah kita?
By : Prie GS – adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia", saat ini tinggal di Semarang.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA