Setiap kali saya merasa aneh setiap melihat tukang tambal ban. Keanehan terjadi ini membuat saya tidak tahan dan terpaksa jadi tulisan. Amatilah, jika sedang tidak ada kerjaan, tukang tambal ban ini pasti memandang kejauhan, kadang kosong dan menerawang. Ada berjubel imajinasi di kepalanya, tapi hampir satu yang pasti, datangnya ban bocor adalah soal yang paling dia bayangkan. Dan fakta bahwa orang ini sudah bertahun-tahun menjalani profesinya, adalah bukti bahwa ban bocor itu setiap hari ada. Dan bahwa ada ban yang selalu dibocorkan oleh keadaan hanya untuk memberi rezeki orang ini saya kira jauh lebih ajaib katimbang Borobudur dan Air Terjun Niagara. Itulah kenapa menunggu adalah kegiatan yang menakjubkan saya karena ia adalah bentuk usaha tertinggi yang bisa dilakukan manusia.
Apa yang bisa kita kerjakan selain menunggu? Benar ada seminar, ada motivasi, ada kursus ketrampilan, kursus kepribadian, manajemen cepat kaya dan sebagainya. Tetap setelah semua itu dilakukan, pekerjaan terakhir tak ada. Menunggu itulah akhirnya. Seluruh dari kita ini tak lebih dari kaum penunggu. Maka di dalam caramu menunggu itulah terletak martabat hidupmu, begitu nasihatku kepada diriku.
Tukang tambal ini, akan saya anggap gugur mutunya jika sambil menunggu ia ternyata menabur-naburkan paku di lokasi terentu. Sambil menunggu dagangannya laku, seorang pedagang memang bisa merekayasanya dengan cara memfitnah pesaingnya atau malah mensabot usahanya. Sambil menunggu kekuasaan datang kepadanya, seorang politikus memang bisa melancarkan kampanye hitam untuk kompetitornya. Tetapi saya pasti tidak sedang bicara tentang orang-orang seperti itu karena kepada mereka telah disematkan status yang jelas; kaum rendah perilaku.
Tapi saya pasti sedang bicara tentang seorang tukang tambal ban yang ketangguhannya setara dengan burung-burung yang pagi terbang petang pulang dengan tembolok kenyang. Yang dilakukan burung ini hanya sebatas terbang dan ia tak peduli apakah bursa saham anjlok cuma gara-gara kredit perumahan. Yang dia lakukan tukang tambal ini tak lebih hanya duduk menunggu tanpa peduli apakah apakah Honda dan Toyota masih akan memproduksi mobil-mobil mereka ke Indoneisa. Yang dilakukan orang ini hanyalah satu: menunggu. Tetapi di dalam saat menunggu inilah terletak dialog paling intensif antara manusia dengan keterbatasannya. Maka menunggu, sesungguhnya adalah kegiatan yang harus dilakukan dengan gembira, karena itulah saat paling menguji mutu kita sebagai manusia.
Ketika usia SMA, saat-saat paling berat dalam hidup saya adalah menunggu kartun saya di muat di media massa. Karena cuma itulah harapan saya satu-satunya dalam memperoleh uang. Tak terbayangkan marahnya hati ini jika sudah dikirimi berkali-kali tetapi tetap tak ada yang dimuat juga. Ingin rasanya saya mengobrak-abrik kantor redaksi media itu. Ingin saya mengajak orang sekampung untuk mengeroyok redakturnya hingga hancur-lebur. Bahagia rasanya membayangkan redaktur yang kejam itu babak belur dikeroyok massa.
Walau ternyata tidak. Kebahagaian yang sesungguhnya ternyata saya dapati ketika saya berlaku sebaliknya yakni dengan cara terus menggambar, terus mengirim dan terus menunggu. Pada saat kartun iu muncul untuk kali pertama, rasanya seluruh dunia seperti hendak meledak oleh kegembiraan saya. Waktu itu, bahkan terpilih menjadi presiden Amerika pun tidak akan sanggup melawan kegembiraan.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA