Share Info

16 October 2010

Kematangan Jiwa Seorang Pemimpin

Perang kata-kata mewarnai reaksi atas kebijakan pemerintah yang krusial dewasa ini. Kebijakan pertama adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) domestik menyesuaikan diri dengan harga minyak dunia. Petinggi pemerintah menyatakan kebijakan itu terpaksa dilakukan demi menyelamatkan anggaran negara agar tidak terkuras habis untuk memenuhi subsidi tak perlu. Sementara pemerintah membutuhkan dana segar untuk melayani kebutuhan masyarakat di bidang pangan, kesehatan dan pendidikan.

Penjelasan itu masuk akal, tapi kesan masyarakat menjadi negatif, ketika Wakil Presiden menuding, “Mereka yang berdemonstrasi berarti mendukung golongan kaya yang selama ini menikmati porsi terbesar subsidi BBM. Para demonstran justru mencegah hak orang miskin untuk mendapat bantuan langsung dari pemerintah.” Reaksi masyarakat malah bertambah kisruh, tatkala Menko Kesra yang mestinya meluncurkan program kongkrit, justru pandai bersilat lidah di depan wartawan: “Kenaikan harga BBM telah menekan angka kemiskinan, karena pemerintah melakukan kompensasi di sektor lain”. Lho? Mahasiswa ekonomi yang belajar teori inflasi akan tertawa, dan mungkin marah, dengan logika dangkal macam ini.

Kegemparan lebih besar juga terlihat saat pemerintah didesak untuk membubarkan Jamaah Ahmadiyah yang dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia, dan diperkuat rekomendasi Bakor Pakem. Tiba-tiba ada anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang membela Ahmadiyah atas nama kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta menyebut desakan masyarakat bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi negara. Sampai di situ pembelaan mungkin bisa dipahami, tapi masyarakat tercenung ketika tokoh senior dalam bidang hukum itu malah menghina seorang ulama sesama anggota Wantimpres. Jika para elite penentu kebijakan berkelahi tanpa argumentasi, malah dikuasai emosi, bagaimana masyarakat akan tenang dan mampu menghindari tindakan anarkis?

Buku ini penting dibaca bagi kalangan pemimpin yang mengalami kesulitan untuk mengendalikan gejolak jiwanya, atau menemukan jari diri yang sesungguhnya, serta membangun hubungan yang erat dengan para pengikut dan masyarakat di lingkungannya. Buku ini merupakan uraian lebih lanjut dari penulis buku terkenal “Emotional Intelligence” (EI), Daniel Golemen. Konsep EI yang dilansir pertama kali pada 1995 telah menggeser dominasi pemahaman “Rational Intelligence”, selama ini dinyatakan identik dengan Intelligence Quotient (IQ). Padahal, kecerdasan manusia tak hanya mencakup masalah kepintaran otak, melainkan juga meliputi kematangan emosional, kehalusan budi dan ketinggian spiritualitas. Konsep Spiritual Intelligence yang digulirkan Danah Zohar selanjutnya melengkapi dimensi kecerdasan manusia.

Goleman kini menulis bersama Richard Boyatzis dan Annie McKee untuk menguji konsep EI pada praktek kepemimpinan di sektor publik dan swasta. Mereka meneliti dan menjabarkan konsekuensi kecerdasan emosional bagi pemimpin dan organisasi yang dipimpinnya. Setumpuk hasil riset dan wawancara langsung dengan tokoh terkenal di seluruh dunia disodorkan sebagai bukti sukses atau gagalnya organisasi, tergantung pada “primal leadership” (nilai kepemimpinan utama). Kondisi emosi seorang pemimpin akan menular dan memberi resonansi kepada pengikut di sekelilingnya.

Resonansi kepemimpinan unggul tidak melalui mekanisme peraturan formal atau penegakan disiplin mekanistis, melainkan dengan mengembangkan empati ke seluruh lapisan organisasi dan menumbuhkan kesadaran diri (self-awarness) bahwa setiap orang memiliki tanggung-jawab yang besar, walaupun posisinya mungkin di peringkat bawah atau urusan yang dikelolanya tergolong remeh.

Penulis menjabarkan enam gaya kepemimpinan yang perlu disesuaikan dengan perkembangan situasi, yakni pemimpin yang berpandangan jauh ke depan (visionary), menjadi pembimbing (coaching), bersikap merangkul (affiliative), dan mendengarkan aspirasi bawah (democratic) – semuanya dapat melejitkan kinerja. Namun, penulis menjelaskan dua gaya kepemimpinan lain yang beresiko negatif, yaitu pemacu semangat (pacesetting) dan pemberi perintah (commanding). Kedua gaya terakhir memang berguna untuk mendobrak kebekuan, tapi perlu kewaspadaan dalam menerapkannya.

Untuk meneliti pengaruh gaya kepemimpinan terhadap perkembangan organisasi, penulis memeriksa data 3.871 eksekutif di seluruh dunia. Tipe pertama, visioner, akan menggerakkan masyarakat untuk mencapai mimpi bersama, sangat positif dan dibutuhkan ketika kondisi perubahan menuntut orientasi baru. Tipe kedua, pembimbing, mampu menghubungkan kepentingan seseorang dengan tujuan organisasi dan sangat positif membantu pengikut meningkatkan kinerja dengan membangun kapabiltas strategis. Peran pemimpin bak mitra agar pengikutnya saat mendaki puncak prestasi.

Gaya pemimpin afiliatif menciptakan harmoni dengan menghubungkan sesama anggota, positif dalam meredam konflik dan memberi motivasi di masa sulit. Pemimpin demokratik menghargai masukan orang dan menggalang komitmen melalui partisipasi. Ini tipe positif untul membangun konsensus dan menampung aspirasi kolektif. Pemimpin tipe pemacu sebenarnya menawatkan tantangan dan target yang menarik, namun dapat berefek negatif karena eksekusi yang lemah. Ia bersifat positif untuk mencapai hasil berkualitas, apabila tim yang diarahkan cukup kompeten. Tipe terakhir, si tukang perintah suka memberi arahan di masa darurat. Meski seringkali disalah-gunakan, tipe ini sangat diperlukan untuk mengatasi situasi krisis dalam organisasi.

Apapun gaya kepemimpinan yang ingin dikembangkan, harus dicatat bahwa pemimpin besar lahir dari kemampuan mengendalikan emosi. Tak peduli apakah Anda jago merancang strategi atau memobilisasi tim, tapi jika Anda gagal dalam membangkitkan semangat kebersamaan untuk mencapai itu semua, maka kegagalan organisasi ada di depan mata. Hasil yang dicapai seorang pemimpin bukan akibat kepintaran atau kerja kerasnya sendirian, melainkan buah dari keahlian dan pengorbanan bawahan dan pengikutnya yangt percaya bahwa cita-cita bersama dapat diwujudkan. Pemimpin yang mampu memancarkan spirit dan emosi yang positif disebut Resonant Leader, gema pengaruhnya menjalar ke mana-na. Sementara pemimpin yang merendahkan fondasi emosional dijuluki Dissonant Leader.

Praktek kepemimpinan matang secara emosional amat sederhana. Pemimpin yang suka tersenyum, walau menghadapi persoalan berat dalam organisasinya, akan menumbuhkan sikap optimis dan percaya diri para anggota. Sementara pemimpin yang hobi cemberut dan tukang ngomel akan menimbulkan tekanan di lingkungan organisasi, sehingga seluruh target yang dicanangkan bisa terbengkalai.

Boyatzis merumuskan sebuah teori tentang proses pembelajaran mandiri. Ia membagi perjalanan diri seseorang dalam lima tahapan. Pertama, “My Ideal Self” (menjawab pertanyaan: mau menjadi apa saya?). Kemudian, “My Real Self” (siapa saya? apa kekuatan dan kekurangan yang harus dilengkapi?), “My learning agenda” (bagaimana saya membangun kekuatan dan menekan kekurangan itu?), “My experiment” (bagaimana mempraktekkan perilaku, pemikiran, dan perasaan baru), dan “My development” (bagaimana membangun hubungan yang penuh kepercayaan dan dukungan untuk memungkinkan perubahan dalam diri?).

Kini saat tepat bagi segenap tokoh di negeri ini untuk merenungkan: seberapa jauh perjalanan kepemimpinan yang telah mereka tempuh? Rakyat juga perlu introspeksi: apakah perjalanan itu telah sesuai dengan cita-cita nasional kita? Pemimpin yang matang akan melahirkan bangsa yang dewasa. Pemimpin yang kekanak-kanakan akan menciptakan bangsa yang cengeng. [by : Daniel Goleman, Richard Boyatzis, dan Annie McKee]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month