Lembaga-lembaga lokal, gagasan-gagasan, dan personil-personil diasimilasi dan diadaptasi dengan norma-norma Islam agar para pembesar Islam dapat mengambil pelajaran dari pengetahuan mereka yang sudah lebih maju.
Perpustakaan-perpustakaan besar serta pusat-pusat penerjemahan didirikan; buku-buku penting yang berisi ilmu pengetahuan, kedokteran, dan filsafat Barat dan Timur dikumpulkan dan diterjemahkan, seringkali oleh orang-orang Kristen dan Yahudi, dari bahasa Yunani, Latin, Persia, Koptik, Syria, dan Sanskrit ke dalam bahasa Arab. Dengan begitu, buku-buku sastra, ilmu pengetahuan, dan kedokteran menjadi lebih mudah didapat.
Zaman penerjemahan diikuti oleh suatu periode kreativitas besar, karena generasi baru para ilmuwan dan ahli pikir Muslim yang terpelajar kini membangun dengan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh dan memberikan sumbangan mereka dalam bidang penuntutan ilmu. "Proses pengislaman tradisi-tradisi itu telah berbuat lebih jauh daripada sekadar mengintegrasikan dan memperbaiki. Hal itu telah menghasilkan energi kreatif yang luar biasa. Periode kekhalifahan merupakan salah satu pengembangan kebudayaan."[1] Itulah zaman tokoh-tokoh besar filsafat dan ilmu pengetahuan: Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi.
Pusat-pusat utama belajar, dengan perpustakaan-perpustakaan besar, bermunculan di Kordova, Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus, dan Bukhara, mengungguli Eropa yang tenggelam dalam abad-abad kegelapan. Kehidupan kebudayaan dan politik para Muslim dan juga non-Muslim di kerajaan dan negara Islam dilakukan di dalam kerangka Islam dan bahasa
Arab, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan agama dan suku.
Gagasan-gagasan dan praktek-praktek yang baru diislamkan dan diarabisasikan. Peradaban Islam merupakan produk dinamika dan proses kreatif suatu perubahan dimana orang-orang Islam meminjam kebudayaan lain secara bebas. Hal itu menunjukkan adanya keterbukaan dan keyakinan diri yang timbul karena kedudukan sebagai penguasa, bukan hamba, penakluk dan bukan yang ditaklukkan. Berbeda dengan abad ke-20, kaum Muslim pada saat itu merasa mengendalikan dan aman. Mereka merasa bebas meminjam dari Barat, karena identitas dan otonomi mereka tidak terancam oleh ancaman dominasi politik dan kebudayaan. Mereka meminjam, tetapi mereka juga memberikan warisan kepada Barat. Pola lalu-lintas kebudayaan
sebelumnya, berbalik ketika Eropa, yang bangkit dari abad-abad kegelapan, mengubah pusat-pusat belajar kaum Muslim dengan tujuan memperbaiki kembali peninggalan-peninggalan yang hilang dan belajar dari kemajuan-kemajuan orang-orang Islam dalam bidang matematika, kedokteran, dan sains.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA