by : Andrie Wongso,
Alkisah, sayup-sayup terdengar suara merdu musik gesek di tengah keramaian jalan di sebuah kota. Orang-orang terhanyut mendengar alunan musik yang terasa menyedihkan di telinga. Selesai memainkan musiknya, terdengar tepuk tangan orang-orang di situ. Pemuda itu pun berdiri dan membungkukkan badannya, mengucap terima kasih atas penghargaan yang diberikan.
Salah seorang penonton setengah baya, yang telah beberapa saat mengamati si pemuda bermain musik, bertanya kepadanya, "Anak muda, engkau tampaknya bukan penduduk sini. Permainan musikmu bagus sekali! Apa yang hendak kamu sampaikan lewat lagu sedih yang kamu mainkan tadi?"
"Saya memang bukan penduduk sini Tuanku, saya dari desa sebelah yang sedang tertimpa musibah."
"Kamu ingin uang receh sebagai gantinya?"
"Tidak Tuanku, tidak. Saya tidak menjual musik demi uang recehan..."
"Lalu untuk apa kamu bermain musik di tengah keramaian ini?" lanjutnya bertanya.
"Sebenarnya, saya bermaksud ingin menjual alat musik ini. Saya sengaja bermain musik agar calon pembeli bisa mendengarkan merdunya alat musik kesayangan saya ini," jawab si pemuda seraya mengangsurkan alat musiknya kepada tuan penanya.
Sambil menerima dan meneliti alat musik tersebut, sang tuan kembali berkata, "Bila alat musik ini kesayanganmu, kenapa engkau rela untuk menjualnya?"
"Tolong saya Tuan, istri saya sedang menunggu kelahiran anak kami. Walaupun alat musik ini adalah harta terakhir yang sangat saya sayangi, tetapi saya tahu, saya pasti lebih mencintai istri dan anak saya. Demi sebuah kehidupan baru, rasanya layaklah pengorbanan ini," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
Setelah menimbang beberapa saat, sang tuan merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan kepingan emas. "Terimalah uang ini untuk membantu kelahiran anakmu!"
Segera diterimanya uang itu, dan si pemuda berseru gembira: "Terima kasih banyak Tuan! Sebagai hadiah, saya berjanji akan mengajar memainkan alat musik ini kepada Tuan."
Dengan tangan yang lain, alat musik dikembalikan kepada si pemusik.
Si pemuda kebingungan bertanya, "Apa yang salah, Tuan? Anda tadi sudah mendengar suaranya yang merdu kan?"
"Hahaha, saya sengaja membayarmu untuk menyimpan alat musik ini. Karena alat ini tempatnya adalah di tanganmu. Saya yakin, tak seorang pun mengenal dan bisa memainkannya sebagus dirimu. Kerelaan menyerahkan hartamu yang paling berharga, demi cinta yang kau berikan adalah layak untuk upah yang saya berikan kepada kamu."
Si pemuda terbata-bata bertanya, "Tuan, bagaimana saya membalas kebaikan ini?"
"Anak muda, berikan cinta kepada anakmu dan limpahkan kasih sayang kepada istrimu, dengan begitu kamu telah melunasi kebaikanku," ucap tuan penolong sambil beranjak pergi meninggalkan si pemuda yang masih terkesima.
Mau berkorban bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Lebih-lebih, mengorbankan apa yang paling kita senangi. Bisa memberi, apalagi memberi tanpa mengharapkan balasan, ini juga sikap luhur yang tidak mudah untuk dilakukan. Kita memerlukan latihan dan membiasakan diri dalam kesempatan yang ada.
Saya jadi ingat kata-kata mutiara dalam bahasa Inggris: We make a living by what we get but, we make a life by what we give. Kita menjalanikehidupan dengan apa yang kita dapatkan, tetapi kita membuat hidup dari apa yang kita berikan.
Mari kita tumbuh kembangkan sikap luhur ini dalam praktik di kehidupan kita.
Saya yakin dan percaya, (dari) apa yang kita beri, pasti ada kelimpahan yang akan kita dapatkan.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA