Sesosok lelaki berbadan kekar dengan goresan-goresan tinta di balik kulitnya yg membungkus untaian otot yang mengeras berdiri tak jauh dari gadis itu.
Dia terdiam, terpaku, dengan pandangan mata lekat tak mau melepaskan setiap detik yang membelai halus gadis di depannya.
Aku berdiri tak jauh dari lelaki itu, cukup dekat untuk saling berbisik tanpa membiarkan sang angin meniup kata-kata yg keluar dari bibir kami ke telinga-telinga yang tak pantas mendengar.
“Witho, how to say I Love You in Indonesia?” lelaki itu berbisik kepadaku.
Aku tersenyum, membiarkan beberapa detik berlalu tanpa kata-kata.
“Aku Cinta Padamu” jawabku dengan bisikan.
Lelaki itu mengangguk, tanpa senyum, dengan raut wajah tegang diiringi tetesan keringat yang mengalir di wajahnya yg kaku. Ia mengulang kalimat itu berkali-kali seperti sedang membaca mantra perlindungan yang diberikan dukun-dukun penipu bangsa.
Bagiku, ia terdengar seperti sedang berlatih dialog dalam naskah drama yang harus segera dipentaskan.
Tak perlu menunggu lama sampai drama itu akhirnya dipentaskan dan dialog itu terucap dengan lantang dari bibir lelaki itu.
“Clarissa, Aku Cinta Pandamu...”
Gadis itu terdiam, sekejap ia memandang ke arahku dengan penuh tanda tanya. Aku hanya tersenyum, tapi kemudian tak lagi mampu menahan tawa yang meledak yang bahkan membuatku terguling di lantai.
Gadis itu juga tertawa, tapi tertahan demi belenggu etika yang melarangnya untuk menyinggung perasaan lelaki itu.
Aku masih saja terguling di lantai sambil tertawa terbahak-bahak sampai aku sadar kalau aku telah menelan seekor nyamuk ...
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA