Share Info

31 December 2011

Refleksi Akhir Tahun ; Ketika Hasrat Kuasa Mendominasi?

Oleh : Cecep Sopandi
(Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi, FISIP UIN Jakarta dan Penggiat Forum KASOGI)

Berbagai deretan kasus yang menghiasi perjalanan bangsa, seolah memberikan sinyal negatif terhadap pemerintahan SBY-Boediono yang telah berkuasa di hampir separuh periode keduanya. Hasrat kuasa dan dominasi kehendak para elite secara jelas mengambil jarak dengan rakyatnya, sementara itu rakyat dihadapkan oleh satu dilema benang kusut atas berbagai kendala hidupnya sendiri, yang nyatanya mengubur impian rakyat dalam memperoleh kebahagiaannya. Dalam kondisi seperti ini, apakah layak rakyat mempertahankan mandatnya? Setiap tahun kita merayakan ritual pergantian tahun, sebuah perayaan heroik yang menyimpan sejumlah catatan kehidupan masa lalu sambil merenungkan setiap peristiwa dengan satu alasan, yaitu harapan menjadi lebih baik. Tapi, apa yang terjadi ketika harapan itu hanya menjadi lukisan indah yang terpasang rapi di setiap dinding rumah tanpa ada kejelasan. Maka sudah dapat dipastikan muncul berbagai gejolak sosial dan rakyat tidak akan tinggal diam, pada saatnya nanti pasti melawan.

Tentunya kita masih ingat aksi bakar diri Sondang Hutagalung di depan Istana 7 Desember lalu, sebuah kejadian yang sempat menghentak nurani rakyat dan mengundang banyak empati. Tindakan sondang tersebut seolah menjadi tamparan keras kepada para elite penguasa dan petinggi negeri ini atas berbagai permasalahan yang melanda bangsa yang tak kunjung selesai.

Catatan merah dan buruknya prestasi pemerintah pada tahun 2011 terukir dalam berbagai kasus yang seolah hilang ditelan bumi. Bahkan warisan kasus pada tahun 2009 dan 2010 sampai saat ini belum juga mendapatkan kepastian dan terkesan ditutup-tutupi. Ini menunjukan bahwa pemerintah tidak mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan persoalan, seolah ingin mengatakan kepada kita bahwa politik sebagai penguasa, sehingga permasalahan apapun akan mudah selesai dengan proses politik dan meniadakan fakta-fakta hukum yang ada.

Ironi, janji manis pemerintah hanya menjadi pepesan kosong yang hambar, komitmen terhadap penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia sangat jauh dari harapan. Hal tersebut dimulai oleh perseteruan antara KPK dan Polri yang beradu kekuatan saling menyalahkan dan mencari kelemahan satu sama lain, sehingga upaya penegakkan hukum terkendala karena masing-masing pihak saling mempertahankan egonya.

Selain itu, maraknya mafia hukum dan makelar kasus menambah deretan peristiwa pahit seolah menginformasikan bahwa penegakkan hukum jalan ditempat, aturan bisa dibeli dan rasa keadilan masyarakat dikebiri oleh ulah penegak hukum sendiri. Kasus Gayus menjadi bukti nyata, betapa amburadulnya sistem hukum dan peradilan di Indonesia, yang secara nyata melemahkan posisi aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga hukum. Sementara itu, undang-undang dan peraturan yang dijadikan acuan gagal mengatasi seluruh kasus hukum dan tidak memenuhi prinsip keadilan.

Di tengah situasi seperti itu, terkuak skandal Bank Century yang melibatkan para petinggi negeri. Akibatnya, terjadi perang politik dan masing-masing aktor politik saling serang dalam mempertahankan pendapatnya. Keadaan tersebut seakan menjadi bola api yang terus mengembang tanpa tujuan. Di sisi lain, muncul sebuah kesepakatan dalam sebuah forum koalisi politik dalam Sekretariat Gabungan (Sek Gab) dan keadaan mereda sejenak.

Tidak lama kemudian, ketenangan kembali terusik atas ditemukannya dugaan keterlibatan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin dalam kasus Wisma Atlit Sea Games Palembang. Kondisi tersebut diperparah ketika Nazaruddin menyebut keterlibatan beberapa koleganya di partai penguasa tersebut. Pertarungan pun terjadi, dan iklim politik kembali memanas. Percekcokan dan saling tuduh mewarnai deretan kasus tersebut yang membuat publik bingung.

Belum usia persoalan tersebut, publik kembali dikejutkan oleh penangkapan Nunun Nurbaeti oleh kepolisian Thailand, Jumat (9/12/2011) lalu. Nunun diduga menjadi aktor dibalik kasus suap cek pelawat (travel cheque) pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia.

Entah kapan kasus korupsi dan penegakkan hukum di Indonesia dapat selesai, berdasarkan Corruption Perceptions Index (CPI) terhadap 183 negara yang diumumkan oleh Transparency International pada bulan Desember 2011. Indeks terakhir ini menunjukkan kenaikan 0,2 dibandingkan tahun lalu. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya penegakkan hukum dinegeri ini belum ada hasil yang signifikan. Perilaku korupsi seolah menjadi budaya yang mengakar kuat di kalangan pejabat, baik di tingkat Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.

Dari sekian banyak kasus korupsi yang belum mendapatkan kepastian, menyebabkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menurun. Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa pada bulan September 2011 tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah SBY-Boediono hanya tinggal 37,7 persen, kondisi tersebut menurut drastis dari hasil survei pada Januari 2010 sebesar 52.3 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tidak puas terhadap kepemimpinan SBY-Boediono.

Kondisi tersebut sangat wajar, ketika dominasi politik berkuasa, betapa “politik kekuasaan” menjadi penentu tegak tidaknya sebuah hukum. Posisi hukum dan keadilan di hadapan para “penguasa” yang korup seperti benang kusut yang sangat sulit diurai. Sementara bila terhadap rakyat kecil, hukum itu menjadi begitu perkasa, maka hal yang sangat wajar ketika rakyat berteriak menuntut keadilan dengan caranya sendiri, termasuk dengan bakar diri, menyembelih manusia, teror bom, bahkan gerakan revolusi. Jika tidak ada perubahan di tahun 2012 nanti, kita tinggal menunggu bom waktu, apa yang akan terjadi ?

[Source : http://barometerpost.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month