Berikut Petikan Wawancara Mario Teguh
dengan SUFINEWS, untuk menjawab siapa sebetulnya Mario Teguh, tokoh
popoler yang menjadi inspirator bagi banyak orang.
Formula yang anda tawarkan seperti Emotional Question (EQ) nya Daniel Goldman, begitu?
Kira-kira begitulah. Tapi saya mengistilahkannya dengan Emotional Intelegents atau Kecerdasan Emosi.
Jabarannya seperti apa?
Banyak
cara yang ditawarkan orang dalam melatih responcibility seorang klien.
Ada orang yang dilatih untuk berespon agresif terhadap stimuli. Ada juga
yang berlatih merespon dengan cara melarikan diri. Ada pula yang
menggunakan pendekatan bersembunyi atau mencari pembenaran diri pada
apapun.
Pada pendekatan yang terakhir
ini apapun dibenarkan sebagai dukungan terhadap kebenaran diri karena
mendapat serangan dari lingkungan. Nah paradigma ini yang biasanya
dibangun dalam budaya. Sehingga muncul budaya kalau tidak setuju diam
saja, nanti kalau sudah keterlaluan baru kita bereaksi. Nah ini
mengakibatkan sekelompok orang untuk diam selama tidak setuju dan kalau
sudah tidak tahan baru bereaksi dengan reaksi yang lebih agresif dan
anarkis.
Kecerdasan emosi itu bukan
semata kemampuan seseorang mengendalikan emosi pada tempat dan waktu
tertentu. Dalam Kecerdasan Emosi seseorang dibekali semacam peta baku
yang menjadi “rujukan” untuk respons terhadap spekuli, atau respons
terhadap hubungan.
Seorang anak yang sudah memiliki
Peta Kecerdasan Emosi tidak akan berespons negatif ketika dihina sebab
dalam dirinya sudah ada peta bahwa hanya orang yang rendah saja yang
marah ketika direndahkan orang lain. Seseorang yang sudah memiliki Peta
Kecerdasan Emosi tidak akan berespons negatif ketika dikatakan bodoh
oleh pihak lainnya sebab dalam Peta Emosi yang dimilikinya ada petunjuk
bahwa hanya orang bodoh saja yang mengatakan orang lain bodoh. Kalau
secara kolektif bangsa ini di isi oleh individu-individu yang bereaksi
positif terhadap apapun yang terjadi dilingkungan kita, yakinlah
kehidupan berbegara dan berbangsa ini akan lebih damai dan syahdu.
Jadi, penyemangatan yang kita
bicarakan adalah penyemangatan yang memiliki muara pada
pengertian-pengertian baik dan positif, bukan dari acara hingar bingar
seperti musik keras atau teriak-teriak atau loncat-loncat atau melalui
obat atau minuman yang membantu artificial kita untuk merasa
kelihatannya seperti bersemangat. Penyemangatan yang demikian ini sesaat
saja sifatnya.
Di Jepang ada sebuah toko barang
antik yang disediakan untuk para eksekutif yang tengah dilanda amarah.
Disitu, orang boleh memecah berbagai jenis keramik yang ada dengan
harapan setelah itu orang akan merasa lega karena amarahnya telah
ditumpahkan pada barang-barang yang dipecahnya. Anda menghindari
pendekatan macam ini?
Ya. Seperti yang saya katakan
barusan, pendekatan macam itu temporal saja sifatnya. Dan ini bukan
pemecahan. Marah hanya bisa diobati dengan memaafkan. Menahan amarah
tanpa memaafkan hanya akan menambah penyakit saja.
Tapi dalam konsep tasawuf,
memaafkan itu harus dilatih terus menerus seiring dengan tumbuhnya
“kedewasaan ruhaniah” seseorang. Masih dalam konteks tasawuf, memaafkan
itu hasil perjuangan dari pengendalian kekuatan ghadhab (amarah) yang
berada diantara dua tekanan; pengecut dan pemberang. Bagaimana menurut
Anda?
Nah disinilah letak perbedaan
antara Ilmu Kejiwaan Barat dengan Ilmu Kejiwaan dalam agama. Ilmu
Kejiwaan Barat tidak menyertakan komponen keyakinan yang murni sebagai
mekanisme manusia sebagai sebuah sistem, sedang Ilmu Kejiwaan dalam
agama menyertakan proses bahwa manusia itu bagian dari sebuah keberadaan
yang lebih besar, yakni Tuhan. Dan apa yang Anda sampaikan itu adalah
bagian dari Ilmu Kejiwaan dalam agama.
Apa yang Anda katakan itu memang
sudah seharusnya demikian bagi orang yang sudah mengakui keberadaan
Tuhan. Karena kalau kita sudah menerima Tuhan, semua waktu, tempat,
keadaan dan kesempatan dipersembahkan hanya untuk Tuhan. Alasan kita
tersenyum di pagi hari kepada isteri dan anak-anak, menyambut mereka
dengan santun, berusaha datang tepat waktu untuk memenuhi janji, itu
semua bukan semata-mata karena didasari atas kesantunan kita sebagai
manusia, melainkan kita ingin mengabdi kepada-Nya.
Kembali pada “memaafkan” yang
Anda katakan, dia sebenarnya akibat dan bukan sifat. Memaafkan adalah
sebuah peralihan dari pusat ego kepada altruisme. Orang-orang altruis
dalam al-Quran disebut sebagai orang-orang yang berbuat baik
(al-muhsinun; red).
Semakin jelas disini bahwa
memaafkan tak bisa direkayasa secara artificial dengan upacara pemutihan
seperti acara halal bi halal misalnya. Serupa dengan memaafkan,
kesabaran pun demikian. Ia bukan sifat tapi akibat. Ya, akibat dari
karena ia mengerti resiko, mengerti reaksi yang tidak proporsional.
Orang yang penyabar dan pemaaf itu sebenarnya cermin dari pengertian
luas yang ia miliki. Karenanya kalau ada orang dilahirkan enggak bisa
marah, itu bukan kesabaran tapi ketidaknormalan.
Pak Mario, saat memberikan
terapi atau memotivasi, di antara Ilmu Kejiwaan Barat dan Ilmu Kejiwaan
dalam agama, mana yang anda gunakan?
Kalau Anda perhatikan penjelasan
saya di atas, sebenarnya "peta" yang ada dalam Kecerdasan Emosional
yang saya tawarkan merupakan gugusan pilar dari kebenaran, keindahan dan
kebaikan. Hal ini didasari oleh fitrah kehidupan bahwa manusia dalam
hidup itu tak lepas dari menginginkan kebaikan, menyukai keindahan dan
mencari kebenaran. Tapi dalam realitas kehidupan, tiga hal ini lebih
sering dirasakan oleh manusia sebagai tiga hal yang berdiri
sendiri-sendiri. Misalnya kebenaran yang dicari ternyata malah membawa
kepedihan, keindahan yang disukainya ternyata tidak membawa kebaikan,
atau kebaikan yang diusahakan malah bertentangan dengan kebenaran. Pada
saat yang demikian manusia tidak dapat menikmati keadaan itu secara
sempurna lalu mengidap split personality atau kepribadian yang terpecah
belah. Nah kira-kira melalui apa manusia dapat menemukan dan merasakan
kebenaran, keindahan dan kebaikan sejati (haqiqi; red)? Dalam beragama
bukan?!
Wah penjelasan Anda nyufi banget loh ?!
Ha…ha…ha…terimakasih, Mas. Tapi
terus terang. Dalam menjalankan tugas (baik sebagai pembicara publik
maupun motivator) saya menghindari komponen-komponen komunikasi yang
terlalu mengindikasikan agama Islam secara formal atau verbal.
Kenapa ?
Buat saya, ketika kita
betul-betul dengan sadar sesadarnya mengatakan "ya !" terhadap
keberadaan dan keesaan Allah (laa ilaaha illallaah; red) kita tak perlu
repot-repot lagi memikirkan lebel-lebel formal ketuhanan. Pokoknya terus
berlaku jujur, menjaga kerahasiaan klien, menganjurkan yang baik,
menghindarkan perilaku, sikap dan pikiran buruk, saya rasa ini semua
pilihan orang-orang beriman. Itu alasan pertama.
Alasan kedua, Islam itu agama
rahmat untuk semesta alam loch. Berislam itu mbok yang keren abis gitu
loch ! Maksudnya jadi orang Islam mbok yang betul-betul memayungi
(pemeluk) agama-agama lain. Agama kita itu sebagai agama terakhir dan
penyempurna bagi agama-agama sebelumnya. Agama kita puncak kesempurnaan
agama loch. Dan karenanya kita harus tampil sebagai pembawa berita bagi
semua. Kita tidak perlu mengunggul-unggulka n agama kita yang memang
sudah unggul dihadapan saudara-saudara kita yang tidak seagama dengan
kita. Bagaimana Islam bisa dinilai baik kalau kita selaku muslim lalu
merendahkan agama (dan pemeluk) agama lain.
Apakah dalam pandangan Anda semua agama itu sama ?
Ha…ha…ha…ya jelas tidak sama
toch, Mas. Tapi oleh Tuhan manusia diberi kebebasan memilih diantara
ketidak samaan itu. Saya tidak akan mengatakan bahwa perbedaan itu
rahmat, tapi saya akan menunjukkan Windows Operating System yang
dikeluarkan Microsof. Masih ada toch Mas orang yang masih menggunakan
Windows 95? Masih ada juga kan orang yang menggunakan Windows 98 atau
Windows 2000? Dan Anda sendiri sekarang menggunakan Windows XP kan?.
Begitu juga dengan agama-agama Tuhan, Mas. Ada versi-versi yang sesuai
untuk zamannya, untuk kelengkapan fikiran di zaman itu dan disana ada
jenis kemampuan masing-masing orang dalam menyikapinya. Masak Anda mau
memaksa orang lain untuk memakai XP pada orang yang kemampuannya cuma
sebatas memiliki Windows 95? Tidak toch!? Alangkah indahnya kalau semua
orang Islam ketika bicara dapat diterima semua pemeluk agama lain.
Contohnya seperti apa pembicaraan yang dapat diterima semua pemeluk agama ?
"Anda adalah direktur utama dari
perusahaan jasa milik Anda sendiri. Anda adalah CEO dari kehidupan Anda
sendiri. Anda sebenarnya, sepenuhnya bertanggungjawab atas bisnis
kehidupan Anda dan apapun yang akan terjadi pada diri Anda sendiri. Anda
bertanggungjawab atas semuanya antara lain, produksi, pemasaran,
keuangan, RND dan lain sebagainya diperusahaan kehidupan Anda. Demikian
pula Anda sendirilah yang menentukan berapa besar gaji Anda, berapa
income Anda. Bila Anda tidak puas dengan penghasilan yang Anda terima,
Anda bisa melihat didekat cermin Anda dan menegosiasikan pada bos Anda,
yakni Anda sendiri yang ada didalam cermin," begitu kira-kira. Nah,
menurut saya etos demikian tak dapat dibantah oleh semua ajaran
agama-agama yang ada didunia.
Apa yang anda contohkan bukan
malah menujukkan bahwa manusia adalah segala-segalanya. Terkesan,
seolah-olah Tuhan tak memiliki peran apa-apa disana ?
Di atas saya mengatakan bahwa
alasan kita tersenyum di pagi hari kepada isteri dan anak-anak,
menyambut mereka dengan santun, berusaha datang tepat waktu untuk
memenuhi janji, itu semua bukan semata-mata karena didasari atas
kesantunan kita sebagai manusia, melainkan kita ingin mengabdi
kepada-Nya. Begitu juga dengan contoh barusan, itu sebenarnya merupakan
cermin atas pesan agama yang meminta totalitas kita dalam menjalankan
sebuah amanah.. Apalagi jika kita bicara tentang "cermin", akan sangat
panjang pembicaraan kita. Dan setiap spirit tidak selalu harus ada
embel-embel nama surat atau ayat dari kitab suci tertentu. Bukankah
seorang jenderal paling ateis pun ketika melepaskan pasukannya ke medan
perang tak dapat menghindarkan diri dari ucapan, "Semoga kalian
sukses!". Kalimat "Semoga" disitu menyimpan harapan campur tangan
kekuatan dari Yang Maha Kuat. Biarlah Tuhan menjadi sesuatu yang
tersembunyi dikedalaman relung hati kita yang paling dalam.
Apa arti sukses menurut anda ?
Perjalanan 50 tahun hidup yang
sudah saya jalani menyimpulkan bahwa sukses itu tidak selalu berarti
mendapat piala atau pujian, meski tak ada salahnya jika kita mendapatkan
keduanya. Hanya saja itu semua bukan kriteria dari sukses itu sendiri.
Karenanya tak jarang orang kemudian sulit menemukan kesuksesan-kesukses
an yang pernah diraihnya.
Secara sederhana sukses adalah
bagaimana kita keluar dari comfort zone kita dan mencoba menjadi lebih
baik dari sebelumnya. Dengan definisi ini Anda akan melihat begitu
banyak kesuksesan yang bisa Anda lihat pada diri Anda. Kalau kemarin
Anda baru bisa membantu satu orang, hari ini Anda bisa membantu dua dan
besok Anda bisa membantu lebih banyak lagi, maka anda sukses. Dengan
perasaan yang positif mengenai kesuksesan yang pernah Anda raih, maka
Anda akan merasa semakin sukses dan semakin percaya diri dengan
cita-cita, visi dan misi hidup Anda.
Saya sangat tidak setuju dengan
ungkapan, "Biarlah kita sekarang susah, asal nanti kita sukses". Ini
jelas enggak pernah bakal sukses. Saya bertanya, dimana anak tangganya?
Bukankah untuk meraih kesuksesan besar harus diawali dengan kesuksesan
kecil dan sedang?. Ada pepatah yang mengatakan, "Sukses akan melahirkan
sukses yang lain." Nah dari pepatah ini dapat diambil pelajaran, apabila
kita semakin mudah untuk melihat kesuksesan kita dari hal-hal yang
kecil, maka mudah bagi kita untuk mengumpulkan, mengakumulasikan dan
melangkah mencapai sukses yang lebih besar. Percaya dech, dengan sukses
kecil-kecil itu, cepat atau lambat sukses yang lebih besar akan
menjemput Anda.
Penjelasan Anda mengingatkan
saya akan nasehat Sufi Besar, Imam Ibnu 'Atha'illah, yang mengatakan,
"Tanamkanlah ujudmu dalam bumi yang sunyi sepi, karena sesuatu yang
tumbuh dari benda yang belum ditanam, tidak sempurna hasilnya."
Pertanyaannya, bagaimana memupuk rasa rendah hati dalam diri kita ?
O, ya ? Beberapa hal yang bisa
kita lakukan untuk memupuk kerendahan hati diantaranya adalah dengan
menyadari kembali bahwa seluruh yang kita punyai adalah anugerah-Nya,
berkah-Nya atau rahmat-Nya. Karenanya katakan pada diri sendiri, "Aku
masih ingin belajar", "Aku masih ingin mendapatkan input dari
sekelilingku" , "Aku masih ingin mendapatkan pengetahuan- pengetahuan
dari mana saja agar dapat lebih baik".
"Aku masih ingin belajar", "Aku
masih ingin mendapatkan input dari sekelilingku" , "Aku masih ingin
mendapatkan pengetahuan- pengetahuan dari mana saja agar dapat lebih
baik". Jika ditilik dari kehidupan kita, umat Islam, nampaknya metode
memupuk kerendahan hati yang Anda sampaikan masih menjadi problem besar
tersendiri ya ?
Persis seperti yang saya
perhatikan selama ini. Saudara-saudara kita sesama muslim masih terlalu
asyik dengan dunianya sendiri dan bergaul hanya pada lingkungannya
sendiri. Malah yang lebih memprihatikan, dengan sesama muslim kalau
ngundang pembicara dia tanya dulu, "Orang itu madzhabnya apa ?." Dia
tidak akan menerima orang yang tidak satu madzhab, satu aliran,
dengannya. Padahal dinegara-negara maju sudah menjadi pemandangan yang
biasa orang-orang Yahudi mengundang pembicara Islam, Hindu atau
Kristiani, atau sebaliknya.
Mereka
sudah mantap dengan iman mereka sehingga mereka tidak khawatir dengan
pembicara yang datang dari luar komunitas mereka. Mereka sangat yakin,
bahwa dengan cara demikian (menghadirkan pembicara "orang luar"), mereka
dapat memperkaya wacana dan kehangatan batin. Kita, atau persisnya
sebagian umat Islam, lupa bahwa salah satu cara mensyukuri perbedaan
ditunjukkan bukan pada lisan akan tetapi dengan mendengarkan pendapat
orang lain yang beda keyakinan agamanya.
Anda punya pengalaman keberislaman Anda yang inclusive itu?
Iya. Pernah beberapa peserta
saya mengklaim materi yang baru saja selesai saya sampaikan menurut
sudut pandang keyakinan agama mereka. Seorang peserta yang beragama
Kristiani mengatakan bahwa materi saya ada juga di ajarkan dalam Injil.
Peserta lain yang beragama Islam mengaku bahwa materi yang saya
sampaikan ada di Al-Quran surat al-Maidah. Peserta yang Budha menganggap
bahwa materi saya itu penerapan dari Dharma-dharma Budha. Saya hanya
mengembalikan semua apresiasi itu kepada-Nya.
Pengalaman lain ?
Masih banyak orang yang salah
faham terhadap Islam. Ada satu pengalaman yang mengherankan sekaligus
membuat saya prihatin. Dalam satu seminar di acara coffee break isteri
saya didatangi salah seorang peserta penganut agama Kristen yang taat.
Masih kepada isteri saya, orang itu memberi komentar bahwa saya
menerapkan ajaran Injil dengan baik. Lalu dengan lembut, penuh
kehati-hatian, isteri saya memberitahu bahwa saya seorang muslim. Sontak
orang itu terperanjat saat mengetahui bahwa saya seorang muslim. Yang
membuat isteri saya (dan kemudian juga saya) prihatin adalah ucapannya,
"Loch, koq ada ya orang Islam yang baik macam Pak Mario !?" Saya pun
terkekeh mendengarnya. Nah ini kritik dan sekaligus menjadi tugas kita
semua untuk memperbaiki citra Islam.
[Source : forum detik]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA