Ucapan kadang tak ubahnya seperti pedang. Bisa menjadi pelindung ketika musuh menyerang. Tapi, karena terlalu kaku, ragu, atau bahkan takut memainkannya, pedang bisa melukai si pemakai.
Seperti itulah ungkapan yang cocok buat memaknai sebuah ucapan. Terlebih ketika makna itu teramat khusus. Tak sembarang orang bisa mendapatkannya. Sebagaimana, tak sembarang orang mampu menghadiahkannya. Itulah ucapan: sayang!
Sudah menjadi kewajaran buat suami isteri memberikan ungkapan-ungkapan khusus untuk memaknai cinta mereka. Ada yang dalam bentuk hadiah seperti rangkaian bunga, busana istimewa, cincin atau kalung, handphone, dan lain-lain. Ada juga yang cuma dalam bentuk ekspresi wajah: senyum, tatapan, dan kemanjaan.
Dari sekian ungkapan khusus itu, ada yang teramat mudah, murah, dan bisa kapan pun diberikan. Bahkan, bisa menjadi panggilan seumur hidup. ‘Sayang’, itulah sapaan sederhana tapi punya pengaruh yang begitu dalam.
Namun, tidak semua orang mampu mengungkapkannya dengan penuh tulus tanpa beban. Seolah, ada halangan yang begitu menghambat. Susah, tak tahu arah.
Hal itulah yang kini dirasakan Pak Jejen. Bapak satu anak ini bukan tak cinta pada isterinya. Justru, ia begitu sayang. Tapi, entah kenapa, ungkapan-ungkapan cinta seperti itu terasa begitu berat. Nggak kebayang kalau ia dengan ringan mengatakan ‘sayang’ pada isterinya yang tersayang.
Jangankan bilang ‘sayang’, menatap lekat-lekat wajah isteri saja Pak Jejen masih sungkan. Kalau ingat itu, Pak Jejen kebayang hari-hari awal pernikahannya. Seribu satu rasa campur aduk jadi satu: bingung, gugup, takut salah, nggak pede, dan lain-lain. Ujung-ujungnya, Pak Jejen seolah seperti tamu yang sedang bermalan di rumah tuan rumah. Begitulah warna rasa itu berlangsung hingga beberapa bulan.
Pernah ia mencoba bilang ‘sayang’. Pak Jejen menyiapkan diri dengan segala kekuatan yang ia miliki. Ia tatap wajah isterinya penuh lekat. Dan isterinya pun membalas. Seolah ada yang lain ditangkap isterinya. “Ada apa, Bang?” tanya isterinya terheran. Spontan, pertanyaan dan tatapan isterinya itu seperti melindas semua kekuatan yang sudah ia siapkan. “Hmm, anu, hmm…,” suara Pak Jejen terputus-putus. Dan, ia pun menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
Kadang, Pak Jejen heran melihat kemampuan seorang temannya. Setiap kali ia berkunjung ke rumah sang teman, selalu saja terdengar suara dari temannya itu ke isterinya: “Yaang, sayang! Ada tamu!” Ah, begitu mudah. Begitu indah. Saat itulah pikiran Pak Jejen menerawang ke rumah. Andai saya bisa begitu.
Kalau ditanya apa yang salah, rasanya tak ada. Dengan sepenuh hati, ia sangat mencintai isterinya.
Jangankan menyesal, mengimbangi kecantikan dan kebaikan isteri dan keluarganya saja ia sudah merasa kewalahan. Dari segi objek, sudah sepatutnya ungkapan ‘sayang’ ia sampaikan.
Tinggal dari segi subjek, yang tak lain diri Pak Jejen sendiri. Nah, dari sisi inilah Pak Jejen mengalami jalan buntu. Apa ia terlalu pemalu. Atau, kurang percaya diri. Kalau memang pemalu, berarti ada hubungannya dengan pola asuh masa lalu. Bisa di rumah, bisa juga di tempat belajar.
Di dua tempat itu, kemungkinan menjadi penyebab pemalu memang ada. Pak Jejen memang tinggal bersama orang tua dan kakak-kakaknya yang semuanya laki-laki. Otomatis, yang perempuan cuma ibu. Itu pun tempat bermanja, bukan bermain-main. Selama dua puluh tahun lebih, Jejen muda cuma bermain dan bercanda dengan laki-laki.
Begitu pun dengan tempat belajar. Cuma di sekolah dasar ia sempat sekelas dengan anak-anak perempuan. Setelah itu, suasana pesantren sama sekali menutup interaksi itu. Ia lebih senang menekuni pelajaran sekolah ketimbang membayang-bayangkan wajah perempuan. Tak pernah terpikir untuk melakukan ‘gerilya’. Pokoknya, ia harus menjadi pemuda pandai, saleh, dan terampil.
Bahkan, ia sempat heran kalau menemukan ada remaja laki-laki berkumpul-kumpul dengan anak-anak perempuan. Laki-laki model apa yang mainnya tak jauh dari suasana perempuan. “Ah, jangan-jangan sudah pada banci,” umpat Jejen muda suatu kali.
Nah dari hitung-hitungan latar belakang itulah, penyebab dirinya menjadi pemalu mulai kelihatan. Tidak tertutup kemungkinan, masih ada kesenjangan antara dunia lama Pak Jejen yang ‘bersih’ tanpa dunia wanita, dengan keadaan saat ini. Bayangkan, pria yang selama ini nyaris tak pernah membayang-bayangkan wajah wanita tiba-tiba hidup akrab serumah dengan seorang wanita. Terlebih, wanita itu merupakan sosok baru yang belum pernah ia kenal.
Sekali lagi, Pak Jejen sama sekali tak pernah menyesali masa lalunya itu. Justru, ia bangga dan bersyukur pada Allah. Karena ia tergolong hamba-hamba Allah yang mendapatkan perlindungan dari lingkungan buruk. Masalahnya memang bukan pada warna masa lalu itu, tapi lebih kepada proses transisi.
Ibarat seorang yang baru mendapat hadiah motor, ia mesti merubah kebiasaan dan kecenderungan masa lalu. Mungkin, sebelumnya tak pernah terpikir kalau ia jadi begitu dekat dengan motor: mengelap, mencuci, menservis, mengendarai, dan berwas-was kalau-kalau ada yang mencuri. Tapi, kenyataan sudah berbeda. Dan ia harus berubah. Kalau tidak, bernikmat-nikmat dengan motor tidak akan berlangsung lama. Bisa karena rusak, atau hilang dicolong orang. Lebih parah lagi, itu bisa tergolong sebagai orang yang kurang bersyukur.
“Astaghfirullah…,” suara Pak Jejen agak tertahan. Hidup berumah tangga memang tak ubahnya seperti persinggahan dari rumah satu ke rumah lain. Dan masing-masing rumah punya pola atur yang beda. Kita tidak akan kerasan di rumah persinggahan itu manakala ada hambatan rasa dalam proses adaptasi. Jasad ada di rumah baru, tapi batin di rumah lama. Masalahnya, rumah baru itu bukan ruangan kosong. Ada penghuni lain yang juga manusia. Dan seorang manusia mana pun, berhak mendapatkan perlakuan sebagai manusia. Apalagi sebagai tuan rumah.
Harapan Pak Jejen cuma satu: semoga ia tidak sedang menzhalimi isteri tercintanya. Dan semoga, pedang yang siap ia mainkan cocok dengan tenaga dan keterampilan bela diri yang ia miliki.
[Source : eramuslim]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA