Share Info

26 September 2011

Seandainya Anak Kita ...........

by : Kristi Poerwandari

Menyusul berita mengenai pemerkosaan dan pembunuhan perempuan muda di angkot, ramai berlangsung perdebatan dan banyak juga yang mempersalahkan korbannya.

Jika kita membayangkan anak perempuan kita yang menjadi korbannya, apakah kita masih melihat dengan cara yang sama?

Yang punya uang dapat mempekerjakan sopir atau membiarkan remaja perempuannya menyetir sendiri dan berada dalam kondisi relatif lebih aman. Atau, setidaknya anak gadisnya dapat naik taksi dan juga berada dalam kondisi relatif lebih aman. Relatif karena memang banyak juga ancaman keselamatan bagi warga meski telah duduk di taksi atau mobil pribadi yang nyaman terkunci.

Yang lain tidak seberuntung itu, harus menghitung pengeluaran harian secara ketat, misal transpor Rp 20.000 per hari. Meski macet total, harus berdiri berimpitan dalam bus, atau telah larut dan sulit mencari kendaraan, tetap berupaya maksimal agar pengeluaran tidak melebihi anggaran.

Ada yang mempertanyakan mengapa harus pulang malam atau menyalahkan korban karena busana yang dikenakan. Katanya, kejahatan terjadi karena adanya kesempatan. Jadi, jangan memberi kesempatan orang untuk berbuat jahat. Jika mungkin, mayoritas kita, apalagi perempuan, lebih suka memilih menekuni kegiatan yang lebih memberikan jaminan rasa aman. Tidak harus lembur atau kuliah pada sore hari dan pulang malam. Tidak harus mencari nafkah sampai larut. Akan tetapi, lagi-lagi tidak semua perempuan dalam kondisi ekonomi seberuntung itu.

Ada sebagian remaja perempuan yang memang suka dugem, barangkali jenuh dengan pertengkaran orangtua, bingung dan gelisah mencari-cari makna hidup di luar rumah. Sungguh ngeri jika gadis-gadis ini kemudian menjadi korban kekerasan seksual dan dipersalahkan, sementara pelaku kriminalnya sendiri dianggap wajar-wajar saja melakukan kejahatan (karena ada kesempatan?).

Tingkat penjelasan

Di tingkat individual, manusia melakukan langkah-langkah sendiri—dalam kapasitasnya—untuk memaksimalkan perlindungan diri. Seorang perempuan yang cemas karena harus bekerja shift malam mungkin menasihati diri.

”Kalau bisa jangan pulang terlalu larut, menunggu kendaraan di tempat terang, dan pakai baju yang tidak membuat orang berpikir macam-macam sekaligus memudahkan bergerak bebas, kalau-kalau ada keadaan darurat dan harus berlari cepat....”

Ketika ia tidak (mampu) melakukan yang dinasihatkan sendiri dan mengalami kemalangan, sangat mungkin ia akan menyesali dan menyalahkan diri. ”Seandainya saja saya tadi menolak diajak ngobrol atasan, langsung cepat pulang, dan memakai celana panjang, saya mungkin selamat.”

Orang lain juga mungkin menyalahkannya, mengapa pulang malam, naik angkot, pakai rok bukan pakai celana panjang, dan seterusnya. Akan tetapi, sesungguhnya ia tidak bersalah. Yang bersalah, ya, tetap pelaku tindak kejahatannya. Jika ia dinilai bersalah karena memberi kesempatan orang melakukan kejahatan, apakah orang yang dirampok juga bersalah karena memberi kesempatan orang lain untuk merampok? Yang ditipu bersalah karena percaya saja kepada sang penipu?

Di tingkat pejabat publik, penjelasan prevensi dan intervensi persoalan sosial perlu beranjak jauh melampaui penjelasan individual. Tanggung jawab pejabat publik adalah menyediakan infrastruktur, sarana-prasarana yang menjamin keamanan dan rasa aman warga, serta memastikan penegakan hukum yang melindungi warganya. Karena itu, perspektif yang harus dibangun adalah perspektif sejauh mana negara atau pemerintah telah menyediakan sarana-prasarana, infrastruktur yang memadai, yang dapat diakses dengan mudah oleh warga, siapa pun mereka?

Pejabat publik perlu berpikir mewakili semua warganya, yang perempuan, laki-laki, anak, dewasa, tua, kaya, miskin, terdidik ataupun tidak; tinggal di rumah mewah atau di kolong jembatan; berkulit hitam, putih, atau kecoklatan; dari suku mana saja; menikah atau tidak menikah; beragama atau berkeyakinan yang berbeda-beda; apa pun pekerjaannya. Mewakili semua warga berarti juga menempatkan diri, berempati pada posisi warga yang berbeda-beda itu, dan memenuhi kepentingan warga, yang boleh jadi sangat berbeda dan tidak seberuntung diri dan keluarganya. Penjelasan individual menjadi tidak memadai dan tidak relevan lagi.

Tanggung jawab negara

Mempersalahkan korban memang jauh lebih mudah, tetapi itu berarti memindahkan tanggung jawab yang seharusnya diemban masyarakat, pemerintah, dan negara untuk menjaga keamanan bersama. Bahkan, orang yang telah sangat berhati-hati berkendara pun masih bisa ditabrak pengendara lain.

Perlu pula disadari, perempuan yang telah berpakaian tertutup rapat pun masih bisa jadi korban kekerasan seksual. Jadi, persoalannya terutama adalah pada ”kehendak” pelaku untuk berbuat jahat dan komitmen pejabat negara untuk menindak kejahatan. Sangat memprihatinkan apabila penipuan, perampokan, pemerkosaan, penculikan, pengedaran napza, dan korupsi hanya ditanggapi dengan ulasan ”itu wajar terjadi karena ada kesempatan”.

Sudah menjadi korban, masih pula disalahkan, itu sangat menyakitkan. Semoga kita tidak perlu harus menjadi miskin, anak gadis kita mengalami pemerkosaan, anggota keluarga menjadi korban penganiayaan, atau tertipu uang palsu untuk mampu berpikir bahwa ini bukan masalah perorangan, melainkan masalah bersama.

Sungguh kita mendamba kehidupan yang aman dan terlindungi di negara kita. Dan, itu pertama-tama merupakan tanggung jawab yang harus diupayakan maksimal oleh negara melalui kepedulian nyata para pejabat publik dan jajarannya.

[Source : kompas.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month