Share Info

10 June 2011

Ijtihad Umar Ibn Khattab (Cak Nur)

Berkaitan erat dengan pokok pembahasan tentang reaktualisasi ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Bapak Munawir Syadzali ialah persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu terlebih lagi berlaku berkenaan dengan ketentuan agama yang tercakup dalam pengertian istilah “syari’at” sebagai hal yang mengarah kepada sistem hukum dalam masyarakat.

Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan), dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat al-’ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).

Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan umum dalam menangkap makna semangat agama itu ialah yang dilakukan oleh Khalifah II, ‘Umar ibn al-Khattab r.a., berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta garapan-garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Muslim di negeri Syam (Syria Raya, meliputi keseluruhan kawasan pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia dan Mesir.

Pendirian ‘Umar untuk mendahulukan pertimbangan tentang kepentingan umum yang menyeluruh, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan masa datang) mula-mula mendapat tantangan hebat dari para sahabat Nabi, dipelopori antara lain oleh ‘Abd al-Rahman ibn Awf dan Bilal (bekas muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka ini berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam al-Qur’an dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari sekelompok orang Yahudi yang berkhianat. Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula para sahabat Nabi yang lain, termasuk tokoh-tokoh seperti ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya kelak menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga dan keempat), sepenuhnya menyetujui pendapat ‘Umar dan sepenuhnya mendukung pelaksanaannya.

Pertikaian pendapat itu berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya dimenangkan oleh ‘Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat, juga berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur’ an.

Dalam banyak hal ‘Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan ‘Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi’ah, misalnya, menolak keras ketokohan ‘Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih melihat pada ‘Umar hal-hal yang “menyimpang” dari agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh ‘ulama Syi’ah, Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghita’, banyak tindakan ‘Umar, seperti dalam kasus ia melarang nikah mut’ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).[1]

Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad ‘Umar dan kemelut yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori yang abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh ‘Umar.

Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh ‘Umar di Bidang Ekonomi dan Keuangan, oleh: al-Ustadh al-Bahi al-Khuli,[2] sebagai berikut:

Berita-berita telah sampai kepada ‘Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit … Harta benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah … Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.

Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka ‘Umar telah melaksanakan hukum Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta’ala, “Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur’an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[3]

Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, ‘Umar berpendapat lain… Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri yang terbebaskan.

Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay’) kepada mereka.

Adapun titik pandangan ‘Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?’ … Demikian itu, ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak lain … Itulah keadaan yang hati nurani ‘Umar tidak bisa menerimanya.

Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat ‘Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.

Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay’ (jenis harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah dibagi-bagikan Rasul ‘alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan ‘Umar. Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap ‘Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan dada ‘Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya itu ‘Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru, “Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan.” Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk kepada kekuatannya.

Begitulah ‘Umar yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa Sa’d ibn Abi Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk membagi-bagi harta rampasan di antara mereka dan tanah-tanah pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):

Sekelompok dari mereka berkata: “Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia membagi-bagikan tanah itu antara mereka.”

‘Umar: “Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian sesudah itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan, terwariskan dari orang-orang tua serta telah terkuasai?… Ini bukanlah pendapat yang benar.”

‘Abd al-Rahman ibn ‘Awf: “Lalu apa pendapat yang benar?… Tanah-tanah itu tidak lain daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!” ‘Umar: “Memang seperti yang kau katakan … Tapi aku tidak melihatnya begitu … Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim … Jika tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda di negeri ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?”

Orang banyak: “Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kami sebagai harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?”

‘Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): “Ini adalah suatu pendapat.”

Orang banyak: “Bermusyawarahlah”

Maka ‘Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:

‘Abd al-Rahman ibn ‘Awf: “Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada mereka itu hak-hak mereka.”

‘Ali ibn Abi Talib: “Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-Mu’minin!”

Al-Zubayr ibn al-’Awwam: “Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi.”

‘Utsman ibn ‘Affan: “Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan ‘Umar.”

Bilal: “Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang beriman.”

Talhah: “Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut ‘Umar.”

Al-Zubayr: “Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?”

‘Abd Allah ibn ‘Umar: “Teruskan, wahai Amir al-Mu’minin, dengan pendapatmu itu. Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini.”

Bilal (berteriak dan marah): “Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w.”

‘Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): “Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan.”

Pertengkaran itu memuncak selama tiga hari, dan kegaduhan orang banyak sekitar masalah itu pun menjadi-jadi. ‘Umar berpikir untuk memperluas musyawarahnya keluar kalangan Muhajirin sehingga mencakup para pemuka Ansar (Ansar), dan dipanggillah oleh Umar sepuluh orang dari mereka, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, kemudian ia berpidato di depan mereka dengan pernyataan yang indah dan bijaksana ini: (’Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan sesuai dengan yang patut bagi-Nya, kemudian berkata),

“Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam amanat mengenai urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja dari antara kalian … Dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan benar-siapa saja yang hendak berbeda pendapat denganku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang hendak bersepakat denganku, silakan ia bersepakat … Aku tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini … Di tangan kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran … Dan demi Tuhan, kalau aku pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali kebenaran.”

Kaum Ansar: “Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu’minin.”

‘Umar: “Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduhku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan kezaliman … Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku memberikannya kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah diriku … Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka. Maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggungjawab atas pengaturan itu … Tetapi aku berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian dan aku kenakan pajak atas para penggarapnya, dan mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay’ untuk orang-orang Muslim, untuk tentara yang berperang serta anak turun mereka, dan untuk generasi yang datang kemudian … Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, negeri-negeri besar seperti Syam, al-Jazirah (Lembah Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu harus diisi dengan tentara dan disediakan perbekalan untuk mereka. Dari mana mereka mendapat perbekalan itu jika semua tanah pertanian telah habis dibagi-bagi?”

Semua yang hadir: “Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka perbekalan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka.”

Kemudian terlintas dalam benak ‘Umar suatu cahaya seperti biasanya jika kebenaran datang ke lisan dan hatinya, lalu berkata:

“Sungguh telah kudapatkan argumen dalam Kitab Allah,

‘Sesuatu apa pun yang dikaruniakan Allah sebagai harta rampasan untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri (yang dibebaskan) adalah milik Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan, agar supaya tidak berkisar diantara orang-orang kaya saja dari kamu. Maka apa pun yang diberikan Rasul kepadamu sekalian hendaklah kamu ambil, dan apa pun yang Rasul melarangnya untuk kamu hendaklah kamu hentikan. Dan bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah itu keras dalam siksaan.’”

“Selanjutnya,” kata ‘Umar, “Allah berfirman,

‘Dan bagi orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta kekayaan mereka, guna mencari kemurahan Allah dan Ridla-Nya, serta membantu Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.’”

“Kemudian,” kata ‘Umar lagi, “Allah tidak rela sebelum Dia mengikutsertakan orang-orang lain dan berfirman,

‘Dan mereka (kaum Ansar) yang telah bertempattinggal di negeri (Madinah) serta beriman sebelum (datang) mereka (kaum Muhajirin); mereka itu mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan tidak mendapati dalam dada mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada orang-orang yang berhijrah itu, bahkan mereka lebih mementingkan orang-orang yang berhijrah itu daripada diri mereka sendiri meskipun kesusahan ada pada mereka. Barangsiapa yang terhindar dari kekikiran dirinya sendiri, maka mereka itulah orang-orang yang bahagia.’”

“Firman ini,” jelas ‘Umar, adalah khusus tentang kaum Ansar. Kemudian Allah tidak rela sebelum menyertakan bersama mereka itu orang-orang lain (dari generasi mendatang), dan berfirman,

‘Dan orang-orang yang muncul sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) itu semuanya berdo’a: ‘Oh Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam beriman, dan janganlah ditumbuhkan dalam hati kami perasaan dengki kepada sekalian mereka yang beriman itu. Oh Tuhan, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.’”[4]

“Ayat ini,” kata ‘Umar, “secara umum berlaku untuk semua orang yang muncul sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Ansar) itu, sehingga harta rampasan (fay’) adalah untuk mereka semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya untuk mereka (tentara yang berperang saja), dan kita tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa bagian? Kini menjadi jelas bagiku perkara yang sebenarnya.” (Demikian ‘Umar).

Para pembahas dapat menarik kesimpulan dari pendirian ‘Umar itu tentang banyak hukum sosial dan ekonomi. Di situ kita dapat melihat ‘Umar sangat cermat memperhatikan agar harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok orang-orang kaya saja. Sebab penyerahan pemilikan atas berpuluh-puluh juta hektar tanah pertanian di Irak, Syam, Persia dan Mesir kepada sekelompok tentara dan bawahannya akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat harta benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat kepada mereka saja. Hal itu akan membawa dampak sosial dan moral yang akibatnya tidak terpuji.

Di dalamnya kita melihat ‘Umar memandang harta sebagai hak semua orang dan menempuh kebijaksanaan yang memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. Itu adalah pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur’an diketemukan sandaran yang sangat kuat.

Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi tanah-tanah pertanian atau yang mendekati itu, yaitu ketika ia mencegah sekelompok orang-orang Muslim sezamannya dari menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta rampasan (fay’), dan ia tidak bergeser dari pendapatnya untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang dari hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan hasil itu pula ia menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa depan.

Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa pandangan-pandangan finansial dan ekonomi yang menunjukkan luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya cakup Islam yang hanif (secara alami selalu mencari yang benar dan baik) terhadap masalah-masalah yang pelik … Semoga Allah memberi kita petunjuk untuk menggali dari agama kita berbagai kekayaan, hal-hal mendasar dan hakiki.

Penuturan kedua berjudul “Bagaimana Para Sahabat Nabi Menggunakan Akal Mereka untuk Memahami al-Qur’an”, oleh: Dr Ma’ruf al-Dawalibi:[5]

Barangkali dari antara banyak masalah ijtihad dan kejadian yang mucul di zaman para sahabat setelah wafat Nabi, yang paling menonjol ialah masalah pembagian tanah-tanah (pertanian) yang telah dibebaskan oleh tentara (Islam) melalui peperangan di Irak, Syam (Syria) dan Mesir.

Telah terdapat nas al-Qur’an yang menyebutk.an dengan jelas tanpa kesamaran sedikit pun di dalamnya bahwa seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt al-mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang ditentukan oleh ayat suci. Allah telah berfirman dalam Surah al-Anfal, “Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan (ibn al-sabil).”[6]

Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama antara mereka yang merampas (dalam perang) itu, sebagai pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari ayat suci tersebut dan praktek Nabi s.a.w. ketika beliau membagi (tanah pertanian) Khaybar kepada para tentara.

Maka, sebagai pengamalan al-Qur’an dan al-Sunnah, datanglah para perampas (harta rampasan perang) itu kepada ‘Umar ibn al-Khaththab, dan meminta agar ia mengambil seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat (dimasukkan dalam bayt al-mal), kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah merampasnya dalam perang. (Kemudian terjadi dialog berikut):

Kata ‘Umar: “Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian? Mereka mendapati tanah-tanah pertanian beserta garapannya telah habis terbagi-bagi, dan telah pula terwariskan turun-temurun dan terkuasai? Itu bukanlah pendapat (yang baik).

‘Abd al-Rahman ibn ‘Awf, menyanggah ‘Umar: “Lalu apa pendapat (yang baik)? Tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain adalah harta rampasan yang diberikan Allah kepada mereka!”

‘Umar menjawab: “Itu tidak lain adalah katamu sendiri, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak akan ada lagi negeri yang dibebaskan sesudahku yang di situ terdapat kekayaan besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Jika aku bagi-bagikan tanah-tanah di Irak beserta garapannya, tanah-tanah di Syam beserta garapannya, maka dengan apa pos-pos pertahanan akan dibiayai? Dan apa yang tersisa untuk anak cucu dan janda-janda di negeri itu dan ditempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?”

Kasus Ijtihad ‘Umar Ibn Al-Khattab (3)

Orang pun banyak berkumpul sekitar ‘Umar, dan mereka semua berseru; “Apakah engkau akan memberikan sesuatu yang oleh Allah diberikan untuk kami dengan perantaraan pedang-pedang kami kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi? Dan kepada anak-anak mereka itu serta cucu-cucu mereka yang belum ada?”

Namun ‘Umar tak bergeming kecuali berkata: “Itulah pendapatku.”

Mereka menyahut: “Bermusyawarahlah!”

Maka ‘Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, dan mereka ini berselisih pendapat. Adapun Abd al-Rahman ibn ‘Awf, maka pendapatnya ialah agar diberikan kepada para tentara itu apa yang telah menjadi hak mereka. Sedangkan pendapat ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah dan Ibn ‘Umar sama dengan pendapat Umar.

Kemudian ‘Umar memanggil sepuluh orang dari golongan Ansar, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, terdiri dari para pembesar dan petinggi mereka. Setelah mereka berkumpul, ‘Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan, kemudian berkata (penuturan al-Dawalibi ini tidak jauh berbeda dengan al-Khuli di atas):

“Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam amanatku dan dalam urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja dari kalian, dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan benar: siapa saja yang hendak berbeda pendapat dengan aku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang hendak bersepakat dengan aku, silakan ia bersepakat. Aku tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini. Di tangan kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran. Dan demi Tuhan, kalau aku pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali kebenaran.”

Semuanya serentak berkata: “Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu’minin.”

Dan mulailah ‘Umar berbicara:

“Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduh aku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan kezaliman. Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku berikan kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah diriku. Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Raja Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka, garapan-garapan mereka, maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggung jawab atas pengaturan itu. Tetapi aku berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian beserta garapan-garapannya, dan aku terapkan pajak atas para penggarap tanah-tanah itu, dan mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay’ untuk orangorang Muslim, baik yang berperang maupun anak turun mereka, dan untuk generasi yang kemudian. Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, kota-kota besar seperti (di) Syam, al-Jazirah (Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu memerlukan tentara untuk mempertahankan dan biaya besar untuk mereka. Dari mana mereka diberi biaya itu jika semua tanah pertanian dan garapannya telah habis dibagi-bagi?” Serentak semuanya menjawab: “Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka kebutuhan-kebutuhan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka.” Kata Mu’adz kepada ‘Umar: “Jika engkau sampai membagi-baginya, maka akan terjadilah kekayaan yang amat besar berada di tangan kelompok orang tertentu, kemudian mereka akan mati, lalu harta itu akan bergeser ke tangan satu orang, baik laki-laki atau pun perempuan, dan sesudah mereka itu muncul generasi yang benar-benar melihat adanya kebaikan pada Islam –yaitu mereka mendapati dalam Islam suatu keuntungan– namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Karena itu carilah sesuatu yang menguntungkan baik generasi pertama maupun generasi akhir.”

Sungguh menakjubkan pernyataan Mu’adz itu: Jika tanah-tanah pertanian itu dibagi habis, maka terjadilah kekayaan amat besar pada kelompok tertentu, dan kalau mereka ini semuanya telah tiada, kekayaan itu akan pindah ke tangan satu-dua orang, sehingga orang-orang (dari kalangan penduduk setempat) yang muncul sesudah itu dan memeluk Islam tidak lagi mendapatkan sesuatu apa pun! Alangkah cemerlang pernyataannya itu!

Dengan pernyataannya itu, Mu’adz seolah-olah hendak menentang banyak orang sebagaimana kaum sosialis sekarang menentang para tuan tanah agar jangan sampai tanah yang luas milik Tuhan itu jatuh ke tangan hanya satu-dua orang, baik pria maupun wanita, yang dengan pemilikan tanah itu orang tersebut memetik buah kerja keras sejumlah besar para pekerja petani untuk dinikmati sendiri tanpa disertai kalangan manusia lainnya.

Para sahabat Nabi itu terus melakukan pembicaraan sesama mereka selama beberapa hari. Mereka yang berpendapat harus dibagi-bagi, berargumentasi dengan praktek Nabi s.a.w. dalam membagi-bagikan tanah Khaybar di antara para tentara yang membebaskannya, dan dengan firman Allah, “Ketahuilah bahwa apa pun dari sesuatu (kekayaan) yang kamu rampas dalam peperangan maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang terlantar di perjalanan.”[7] Karena ayat itu hanya mengemukakan ketentuan untuk menyisihkan seperlima saja dari kekuasaan para tentara pelaksana rampasan dalam perang dan menyerahkannya kepada bayt al-mal untuk digunakan bagi keperluan pihak-pihak yang berhak yang tersebutkan dalam ayat itu, sedangkan ayat itu tidak memberi ketentuan apa-apa tentang bagian yang empat perlima lagi, maka ‘Abd al-Rahman ibn ‘Awf berkata kepada ‘Umar: “Tanah-tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain ialah harta yang dirampaskan oleh Tuhan untuk mereka, yakni harta yang diberikan Tuhan kepada mereka dari musuh.”

Sedangkan ‘Umar, dalam menjawab ‘Abd al-Rahman atas argumennya itu, menyatakan: “Itu tidak lain hanyalah pendapatmu, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak ada lagi sesudahku negeri yang dibebaskan yang di situ terdapat kekayaan yang besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Maka jika aku bagi habis tanah Irak dan garapannya, juga tanah Syam dan garapannya, maka bagaimana membiayai pos-pos pertahanan? Dan apa yang tersisa untuk anak turun dan janda-janda di negeri itu dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?”

Kasus Ijtihad ‘Umar Ibn Al-Khattab (4)

‘Umar terus melakukan musyawarah dan pembahasan. Banyak orang berargumentasi untuk melakukan pembagian sesuai dengan pengertian lahir nas-nas, dan ‘Umar berargumentasi untuk tidak melakukan pembagian demi kemaslahatan masyarakat Muslim sendiri. Seolah-olah ‘Umar membedakan antara apa yang dilaksanakan Nabi s.a.w. di tanah-tanah pertanian Khaybar yang kecil pada permulaan Islam yang dituntut oleh kemaslahatan masyarakat Muslim saat itu tanpa menyimpang daripadanya, dan tanah-tanah pertanian lembah yang subur di Irak, Mesir dan Syam, yang seandainya diterapkan di sana apa yang dipraktekkan Rasulullah di tanah-tanah pertanian Khaybar itu maka tentu masyarakat Muslim akan kehilangan kemaslahatannya.

Orang banyak tetap saja pada pendirian mereka, sampai akhirnya ‘Umar datang dan menyatakan: “Aku telah mendapatkan argumentasi terhadap mereka dengan bagian akhir dari ayat-ayat al-Hasyr.”

Di situ Tuhan merinci mereka yang berhak atas harta rampasan perang dengan firman-Nya: “Sesuatu (harta kekayaan) yang diberikan Tuhan sebagai rampasan perang untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri adalah milik Tuhan, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibn al-sabil, agar supaya harta itu tidak berkisar di antara orang-orang kaya saja dari antara kamu…” Maksudnya supaya harta rampasan itu tidak berputar di kalangan para orang kaya saja tanpa ikut sertanya para fakir-miskin, sampai dengan firman Allah Ta’ala: “Bagi orang-orang miskin para Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta benda mereka …” terus ke firman-Nya, “Dan mereka yang telah menetap di negeri (Madinah) dan beriman sebelum (datang) mereka (Muhajirin) itu. . .,” serta diakhiri dengan firman, “Dan mereka yang datang sesudah mereka itu …”[8]

Kemudian kata ‘Umar: “Aku tidak melihat ayat ini melainkan meliputi semua orang manusia sampai termasuk pula seorang penggembala kampung Kidd’.” Lalu ‘Umar berseru kepada orang banyak itu: “Apakah kalian menghendaki datangnya generasi belakangan tanpa mendapatkan sesuatu apa pun? Lalu apa yang tersisa untuk mereka sepeninggal kalian itu? Kalau tidak karena generasi kemudian itu, tidaklah ada suatu negeri yang dibebaskan melainkan pasti aku bagi-bagikan sebagaimana Rasulullah s.a.w. telah membagi-bagikan tanah Khaybar.”[9]

Demikianlah ‘Umar memutuskan untuk menyita tanah-tanah pertanian itu dan tidak membagi-bagikannya kepada tentara pembebas, dan membiarkan tanah-tanah itu tetap berada di kalangan para penduduk penggarap yang dari hasilnya mereka membayar pajak untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan masyarakat Muslim pada umumnya, dan orang-orang Muslim pun kemudian bersepakat dengan ‘Umar.

Jelas bahwa tindakan bijaksana dari ‘Umar r.a. yang menyimpang dari tindakan Rasulullah s.a.w. bukanlah berarti peniadaan suatu Sunnah yang tetap yang dibawa oleh Nabi s.a.w., melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu dengan dalil-dalil berbagai nas yang lain mengikuti kemaslahatan umum. Jika Rasulullah membagi-bagi antara orang-orang Muslim harta rampasan perang yang terdiri dari tanah-tanah pertanian pada waktu itu tanpa menyisakan barang sesuatu untuk generasi yang datang kemudian, maka hal itu ialah karena masalah zaman menghendaki hal demikian sesuai dengan situasi yang ada, khususnya untuk menolong nasib orang-orang miskin Muhajirin dari Makkah yang diusir dari tempat-tempat kediaman dan harta kekayaan mereka. Dan jika ‘Umar tidak membagi-bagikannya, maka hal itu pun karena kemaslahatan saat itu, sebagaimana ia sendiri telah menjelaskannya, menghendaki kebijaksanaan demikian itu. ‘

Itulah sebabnya al-Qadli Abu Yusuf berkata: ”Pendapat yang dianut ‘Umar r.a. untuk tidak membagi tanah-tanah pertanian itu antara mereka yang membebaskannya, ketika Tuhan memberinya kearifan tentang apa yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai penjelasan pendapatnya itu, adalah suatu petunjuk dari Tuhan. Pada ‘Umar dengan tindakan tersebut –yang di situ terdapat kebaikan pendapatnya– berupa pengumpulan pajak dan pembagiannya di antara orang-orang Muslim, terkandung kebaikan umum bagi masyarakat mereka. Sebab jika seandainya pendapatan dan kekayaan (negeri) tidak diserahkan kepada manusia (secara umum), maka pos-pos pertahanan tidak lagi terpenuhi kebutuhannya, dan tentara tidak lagi mendapatkan perbekalan untuk melanjutkan perjuangan suci (jihad) mereka.

Demikianlah kedua penuturan tentang ijtihad ‘Umar r.a.

Semoga kita dapat belajar dari kearifan tokoh dalam sejarah Islam yang amat menentukan itu, yang sering dikemukakan sebagai tauladan seorang pemimpin dan penguasa yang adil, demokratis dan terbuka.

[Source : sejarah.kompasiana]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month