Hidup berpasangan, siapa yang tidak pernah bertengkar? Di dunia maya saja, yang tidak punya urusan secara pribadi bisa terlibat pertengkaran, apalagi dalam dunia nyata. Banyak pertengkaran yang terjadi mulai dari dua orang hingga sekelompok orang bahkan antar negara yang bertikai pendapat.
Kandasnya sebuah hubungan disebabkan oleh beragam model pertengkaran yang tergantung dari pemain dalam pertengkaran itu sendiri. Ada orang yang lebih suka mendiamkan pasangan bertengkarnya untuk meredakan pertengkaran. Tetapi ada yang membantai dengan hujatan dan penghakiman akan dosa masa lalu. Apapun modelnya, semua itu merupakan seni dalam interaksi hidup!
Dalam tulisan ini, saya berfokus pada pertengkaran pasangan suami istri. Pertengkaran dalam sebuah rumah tangga ada seninya, lho, agar pertengkaran tidak berujung pada perceraian. Sehingga, tidak ada anak-anak yang menjadi korban ulah dan ego orangtuanya. Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Banyak orang terjebak dalam hal yang memberikan kesenangan sesaat, termasuk kesenangan bercinta. Manusia membutuhkan hubungan intim untuk mengekspresikan kasih sayang yang memang dimiliki secara alami dalam setiap hati. Tetapi, kita sering tidak bisa melepaskan setiap aksi dan reaksi dari emosi yang timbul dalam mengekspresikan semua rasa yang ada dalam jiwa. Sehingga, dalam banyak hubungan bisa terjadi suatu bentrokan yang fatal dan akan membekas secara dalam. Tidak mudah membiarkan bekas itu tetap ada tanpa memengaruhi kehidupan kita.
Dalam sebuah pertengkaran, semua emosi biasanya diekspresikan. Banyak kata-kata yang merusak, terlontar saat bertengkar dan ini sulit dihilangkan. Inilah problem terbesar dalam situasi ini. Perselisihan antarpasangan sebenarnya hal yang biasa. Tetapi, kita harus bisa menjadikan pertengkaran yang terjadi ke arah positif. Itulah sebabnya, penting bagi pasangan suami istri untuk belajar bertengkar secara positif bukan merusak ego pasangan kita.
Timbulnya pertengkaran terjadi akibat rasa tidak puas akan keadaan yang terjadi. Ketidakpuasan tersebut bisa berasal dari ego masing-masing pihak atau situasi yang sedang terjadi.
Kita bertengkar, sebenarnya yang terjadi adalah kita tidak puas dengan keadaan yang terjadi, terlepas ketidakpuasan tersebut berasal dari ego masing-masing pihak atau dari situasi yang terjadi.
Apapun penyebabnya, pertengkaran sebaiknya dijadikan sebagai solusi untuk menjawab persoalan yang menjadi pemicunya. Usahakan untuk fokus kepada rasa cinta yang dimiliki oleh suami-istri. Bahwa, jika mencintai seseorang, tentu kita ingin membuat mereka bahagia, bukan sedih apalagi sakit hati.
Umumnya, yang terjadi justru sebaliknya. Pertengkaran bukan solusi untuk menyelesaikan masalah yang menyebabkan pertengkaran. Pertengkaran justru menimbulkan masalah baru disertai sumpah-serapah yang saling menyakitkan.
Perkataan Menikam
Masalah yang muncul dalam sebuah hubungan kebanyakan karena komunikasi yang terhanyut dengan liar, utamanya ketika pasangan sedang bertengkar. Kata-kata yang seharusnya tidak keluar, meluncur dengan bebas dan melukai pasangan. Inilah yang melukai batin pasangan dan akan sulit untuk dilupakan di lubuk hati sekalipun pertengkaran telah usai dan hubungan kembali harmonis. Sedangkan situasi panas selama pertengkaran lebih mudah dilupakan setelah bertengkar.
Semakin banyak perbendaharaan kata-kata yang “membunuh” rasa cinta, kata-kata tersebut akan semakin menancap di hati bak duri dalam daging apabila pertengkaran kembali terjadi. Hal itu ibarat memberi minyak kepada api sehingga pertengkaran selanjutnya bisa lebih parah daripada sebelumnya.
Jika pasangan bertengkar, salah satu diharapkan bisa "terbangun" sehingga caci maki tidak semakin kasar. Pada dasarnya, saat bertengkar, masing-masing akan berteriak lebih keras untuk menutup suara pasangannya. Demikian seterusnya, silih berganti sehingga kata demi kata yang semakin kejam meluncur dari mulut. Inilah yang akan disesali di kemudian hari.
Apabila kata-kata sudah berubah menjadi senjata pembunuh rasa cinta kita pada pasangan, hari-hari berikutnya akan begitu melelahkan untuk membina kembali hubungan yang manis. Kata maaf bisa saja diucapkan, tetapi perasaan terluka akan menetap laksana bara dalam sekam yang membahayakan kehidupan berumah tangga di kemudian hari.
Umumnya, pasangan yang cintanya dalam akan semakin “berat” dan kejam ketika melontarkan kata-kata makian kepada pasangannya saat bertengkar. Begitu besar cinta pasangan suami-istri, mereka justru bisa saling lebih menyakiti. Bukan karena mereka kekurangan cinta, tetapi karena rasa kecewa yang sangat dalam. Bisa juga, tanpa sadar ada ketakutan yang besar akan kehilangan pasangannya serta sikap tidak mau mengerti tentang kesulitan yang dialami pasangannya.
Hukum Energi
Hukum energi alam selalu mengembalikan apa yang kita keluarkan. Kita mendapatkannya kembali sebagai kilas balik dari semua yang kita keluarkan, seperti melempar barang ke cermin.
Demikian juga energi yang kita keluarkan ketika bercinta. Sebuah nasihat bijaksana mengatakan agar kita tidak sembarangan mengeluarkan energi cinta kita untuk diberikan kepada sembarang orang yang tidak dicintai. Energi yang telah dikeluarkan untuk orang yang tidak dicintai akan kembali kepada kita dan mengenai diri sendiri. Hal ini akan menjadi masalah karena kita seperti menelan kembali makanan basi yang rasanya tidak enak dan membuat kita tidak nyaman.
Sebagai pasangan, tentu kita harus bisa mencintai dengan tulus. Tanpa cinta yang tulus, melakukan kegiatan seks hanyalah sekedar rutinas saling menggesek. Memang, kegiatan tersebut bisa dinikmati dan memberikan kepuasan. Tetapi, seberapa besarkah kepuasan yang dirasakan oleh pasangan tersebut? Pastinya, tidak sepuas ketika kegiatan tersebut merupakan denyutan nikmat yang merasuk ke sukma (batin).
Cinta mengajarkan pasangan untuk mengalirkan energi, lebih dari sekadar sentuhan fisik. Makanya, pasangan yang bercinta dengan batin akan merasakan hubungan medan elektrik, bahkan ketika mereka tidak bersentuhan atau tidak berada di tempat yang sama.
Bilamana mencintai seseorang, disadari atau tidak, trauma batin yang dalam akan memberi pengaruh, memberi peluang kepada kita untuk menjadi seseorang yang “berbeda”. Terkadang, begitu dahsyatnya bekas luka, kita berubah menjadi “orang lain” tanpa kita sadari. Kita menjadi orang asing untuk diri sendiri.
Hidup merupakan seni "berjuang". Apapun yang kita temui dalam kehidupan ini, kita harus menyadari, hidup akan terus berlanjut. Dan tidak semua yang terjadi sesuai dengan harapan dan kemauan kita. Namun kita harus berusaha tetap eksis dalam menjalani kehidupan ini secara optimal dalam keadaan yang lebih baik, sekalipun itu tidak mudah.
[Source : kolomkita.detik.com]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA