Maka dalam dimensi saya, sekeliling rasanya bergerak melambat ibarat film slow motion. Bangun tidur, berangkat kerja, pulang ke rumah, berangkat lagi, pulang di petang hari, tidur lagi, bangun berangkat lagi. Begitu seterusnya.
Hidup kadang membawa kita jauh berenang mengikuti aliran, menikmati riak airnya yang nakal menuju pucuk-pucuk mimpi tak bertepi hingga lupa ke mana kan bermuara.
Betapa banyak waktu dan pikiran telah terpenjara hanya untuk mencari dan mencari apa yang disebut pujangga sebagai “lubang hati”. Entah itu pencarian terhadap cinta atau cita.
Ketika lelah telah menggelayuti diri, barulah jiwa ini tersadar, ternyata begitu banyak cinta terhampar dari orang-orang di sekitar. Cinta yang selama ini justru luput dari perhatian, tulus dari orang-orang terdekat, orang tua, keluarga, sahabat, karib kerabat. Dan yang terpenting di atas semua itu ada cinta kekal yang tak pernah lekang dari Sang Maha Hidup.
“Syukuri apa yang ada”, begitu syair lagu D’massive (dasar penyiar hehe...). Sungguh saya tak pernah peduli dengan lagu ini sebelumnya. Namun kata-kata itu terus mengiang meresonansikan makna luar biasa : Kepasrahan total.
Ya, setelah lautan ikhtiar yang dilalui dan puzzle-puzzle optimisme yang telah dirangkai, maka fragmen berikutnya adalah kepasrahan total kepada Sang Maha Hidup. Ketika usaha telah kita lakukan mati-matian tetapi hasil keringat tak sejalan garis takdirNya, lantas kita mau apa ? Semua ada di bawah otoritas Ar-Rahman yang menuliskan tiap desah nafas kita dalam Lauhul Mahfuz. Dan sebagai makhluk, episode yang harus kita jalani adalah pasrah dan tawakal.
Memang melakukan tak semudah mengatakan, kawan. Diri ini pun masih tertatih-tatih memproyeksikannya dalam kehidupan. Namun satu yang saya yakini, di ujung sungai kepasrahan itulah muara ketenangan berada.
Maka secangkir kepasrahan itu yang saat ini sedang saya butuhkan... mudah-mudahan ada yang rasa moccacinn.
[Source : rosi-atmaja.blogspot]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA