Kata 'toleransi' mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Semenjak SD hingga kuliah, kita sudah terbiasa mendengar atau bahkan memahami apa itu Toleransi.
Toleransi sebagai sebuah konsep ideal dalam berkehidupan bermasyarakat, bangsa, dan negara, sayangnya lebih terkesan sebagai sebuah konsep formalitas belaka, yang selalu dihadirkan dalam setiap kurikulum studi kewarganegaraan maupun studi Pancasila.
Sehingga, kita hanya mengetahui belaka tanpa bisa memahami lebih dalam dan menginternalisasi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan nyata. Mungkin ini terlihat pesimistis, tapi kenyataan membuktikan, sudah terlalu banyak kasus-kasus baik kekerasan fisik maupun non fisik yang terjadi karena sikap intoleransi kelompok-kelompok yang berbeda etnis, agama, ideologi dan berbagai macam perbedaan lainnya. Tak jarang pula ratusan bahkan ribuan nyawa melayang, yang sebagian besar disebabkan oleh sikap tidak tolerannya berbagai kelompok yang berbeda.
Terminologi toleransi secara umum diartikan sebagai sebuah term atau istilah dalam konteks sosial, budaya, dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Toleransi juga biasanya diartikan sebagai sikap, perilaku, atau perbuatan yang menerima, mengakui, dan/atau mengenal segala perbedaan yang eksis dalam berbagai kelompok yang majemuk/plural.
Dalam buku “On Toleration”, karangan Michael Walzer, dipaparkan mengenai konsep toleransi secara filosofis, bahwa Toleransi akan selalu dan penting dipergunakan ketika kita dihadapi dalam situasi atau kondisi dimana kita berhadapan dengan orang lain atau kelompok yang berbeda dari kita (Other/Stranger).
Mengapa? Sudah menjadi hal yang natural bagi sebagian besar manusia bahwa setiap berhadapan atau bertemu dengan orang asing atau kelompok lain yang belum pernah dikenal sebelumnya, maka ada kecendrungan kita akan menilai mereka dengan segala pengetahuan yang sebelumnya ada di alam pikiran kita, yang didapat dari pengalaman mengenai obyek tersebut (orang asing atau kelompok lain tersebut).
Pengetahuan dan informasi itu terkadang tidak selalu benar dan obyektif, sehingga kita akan selalu cenderung memberi penilaian negatif atau stereotyping kepada other/stranger tersebut. Hal inilah yang perlu dihindari, karena itu akan mempengaruhi kita dalam bersikap dan berprilaku yang bisa menggiring kearah sikap diskriminatif dan pada akhirnya bisa memicu pada aktualisasi tindak kekerasan dan munculnya konflik hingga pada skala yang besar.
Secara implisit, Walzer menjelaskan bahwa Toleransi memiliki lima level, yaitu dari level bawah – sangat tradisional- hingga yang sangat modern. Pada tahap awal, toleransi bisa dianalogikan ibarat dua kelompok mafia yang saling bertengkar dan terus berperang. Ketika mereka kelelahan karena terus menerus dalam kondisi yang tidak aman dan damai disebabkan oleh peperangan yang mereka lakukan, maka mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti berperang.
Namun, disini tidak terjadi suatu dialog dan kesepakatan diantara dua belah pihak yang bertikai, mereka tetap eksis satu sama lain. Hal ini tetap dapat disebut sebagai suatu sikap yang Toleran, dalam bentuknya yang sangat tradisional. Mereka (atau kita) memandang Other tetap eksis, tapi mereka (kita) tidak mau perduli dan juga tidak mau mengakui (sebenarnya) dengan segala sikap dan ekspresi Others/stranger tersebut. Toleransi dalam bentuk seperti ini sebenarnya sangat lemah dan sewaktu-waktu dapat hilang sehingga memicu kembali terjadinya konflik.
Toleransi pada level kedua, dapat dianalogikan sebagai sikap “cuek” kita terhadap orang lain (other/stranger) ketika bertemu disuatu tempat, yang mana kita mengakui adanya orang lain tersebut tapi kita tidak memiliki hasrat untuk mau mengenalnya, atau berkomunikasi (sekedar menyapa). Kita hanya bersikap “cuek” atau tak acuh, dan ini sebenarnya pula sudah termasuk dalam sikap yang toleran dalam bentuknya yang sangat tradisional pula, yang tak jauh beda dengan toleransi pada level sebelumnya.
Pada tahap atau level yang ketiga, Toleransi berwujud dalam bentuk 'respect' kita terhadap yang lain/other. Respect disini merupakan suatu sikap atau perilaku yang mendorong kita untuk mengenal dan menghargai yang lain. Dalam hal ini, kita dituntut untuk bisa menekan rasa emosi, ketidaksenangan, atau ketidaknyamanan kita terhadap orang lain/other tersebut, yang timbul dari perbedaan antara yang lain dengan diri atau kelompok kita.
Sikap respect disini bukanlah berarti kita menerima orang lain hanya karena kita “senang” dengan orang lain itu dalam bersikap dan berperilaku atau cocok seperti yang kita inginkan (atau sesuai dengan persepsi kita), tetapi respect lebih merupakan sikap penerimaan kita terhadap orang lain dengan apa adanya kekurangan dan perbedaan yang dimiliki oleh yang lain/other tersebut.
Toleransi pada tahap berikutnya juga lebih maju, atau modern, yaitu toleransi yang altruistik. Toleransi dalam level ini merupakan suatu sikap penerimaan kita terhadap other atau stranger bukan karena perbedaan yang dimiliki oleh other atau stanger tersebut, tetapi kita lebih melihat eksistensi orang lain (other) sebagai sebuah refleksi nilai-nilai luhur dan ideal dari negara, agama, kebudayaan, dan ideologi. Sehingga dari sikap ini akan lahir sebuah bentuk sikap yang saling mendukung, kerjasama, saling menghormati, dan bertenggang rasa, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat majemuk dan plural.
Selanjutnya, toleransi pada level yang terakhir ini merupakan toleransi yang lebih bersifat “multikulturalisme”, yaitu suatu sikap toleran yang bukan hanya didasari oleh sikap pengakuan kita, sikap penghormatan, dan sikap penerimaan terhadap segala perbedaan yang ada pada 'yang lain', tetapi juga adanya suatu sikap dari kita untuk mau berbaur dan menyatu serta belajar dari segala hal-hal baru yang ada pada 'yang lain, other, stranger', sehingga dari hal itu bisa menciptakan suatu 'self development' pada diri kita/kelompok kita khususnya, dan dalam komunitas yang lebih luas pada umumnya. Dari hal itu, maka akan mampu tercipta suatu kehidupan yang harmonis, tenteram dan damai.
Dalam suatu kehidupan masyarakat yang plural (seperti Indonesia), sikap toleransi sangat dibutuhkan. Sikap toleransi ini juga harus bisa didukung dengan suatu dialog yang membawa pada kesepakatan pada dua atau lebih kelompok/komunitas yang berbeda. Dalam suatu masyarakat yang tingkat kesepakatan (dialog/kesepakatan) tinggi maka toleransi akan semakin tinggi. Namun, jika tingkat kesepakatan rendah maka toleransi lebih rendah juga.
Dalam suatu kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, suatu kebersamaan dalam kehidupan yang plural merupakan hal yang pasti. Tanpa kebersamaan maka toleransi susah untuk bisa diwujudkan dan direalisasikan. Sehingga jikalau kebersamaan bisa dibina maka kehidupan yang damai bisa direngkuh dan dijaga dengan baik pula. Hanya saja kita tidak boleh melupakan bahwa toleransi juga mensyaratkan 'reciprocity' (hubungan timbal balik).
Tidak mungkin hanya satu orang atau satu pihak yang melaksanakan sikap toleran sementara 'yang lain/others' tidak melakukan dan mengaktualisasikannya terhadap kita. Selain itu, sikap yang akomodatif juga dibutuhkan dalam kehidupan yang menjunjung toleransi. Jika sikap yang akomodatif tidak ada, maka yang ada justru dominasi kelompok yang mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Kelompok mayoritas dengan segala nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan harus bisa menjamin bahwa hal-hal tersebut tidak membuat kelompok minoritas merasa didiskriminasi atau termajinalkan. Apalagi ketika kelompok minoritas menuntut suatu keadilan dan ingin berdialog, namun kelompok mayoritas tidak mau menerima dan menganggap bahwa kebenaran yang dianut mereka sudah final sehingga nilai dan peraturan itu menjadi sebuah paksaan bagi yang minoritas, maka ini tidak bisa disebut sebagai sikap yang akomodatif dan toleransi dalam bentuk yang modern tidak bisa tercipta.
Sikap toleransi haruslah mampu diciptakan dan diaktualisasikan dalam segala dimensi kehidupan, yaitu dalam kehidupan berpolitik, sosial, budaya, agama, dan ekonomi. Dalam kehidupan politik sebagai contoh, setiap partai politik maupun fraksi-fraksi yang ada di parlemen, seharusnya mampu menghargai perbedaan ideologi yang dianut setiap parpol,dan setiap parpol maupun fraksi bisa bersinergi untuk bisa membangun bangsa dan negara ini, bukan saling menjatuhkan ataupun saling mencemooh.
Ini justru makin memperparah kondisi negara kita dan memperlihatkan belum dewasanya para pemimpin dan elit di negara ini dalam berpolitik. Dalam kehidupan sosial budaya, kita dituntut untuk bisa menghargai, menerima, menghormati, dan bekerjasama dengan berbagai macam etnis, suku, dan kelompok yang tersebar ribuan banyaknya di indonesia ini khususnya.
Konflik antar etnis seperti yang pernah terjadi antara etnis madura dan dayak, sikap diskriminatif pemilik kos di jogja terhadap mahasiswa pendatang dari papua, dan berbagai realitas lainnya, sudah seharusnya dihilangkan dengan meningkatkan toleransi dan dialog diantara kedua belah pihak. Selain itu, isu agama mungkin merupakan yang paling krusial.
Konflik agama di Poso dan Ambon, dan berbagai daerah lainnya, antara islam dan kristen, juga merupakan konflik yang terjadi karena rendahnya pemahaman toleransi dan dialog antar agama. Sehingga perseteruan yang remeh dan sepele pada mulanya, antara pemeluk kedua agama, mampu disulut dengan mudah hingga menelan ribuan nyawa melayang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan memiliki kepentingan didalam konflik ini.
Sebuah kata “toleransi” sangat mudah diucapkan dan dilontarkan dari bibir ini. Bahkan juga sangat mudah untuk dipaparkan dan dijelaskan hingga menjadi sebuah tulisan dan buku seperti yang dilakukan oleh saya dan juga Walzer. Namun, untuk membuat orang lain paham, mengerti, dan mengaktualisasikan sikap toleransi ini sangatlah tidak mudah. Karena itu, Toleransi ibarat sebuah konsep yang sangat ideal dan luhur, tetapi sangat susah untuk membumi atau “down to earth”. Diperlukan suatu cara dan mekanisme yang progresif untuk memahami kepada segenap warga negara mengenai Toleransi dan bagaimana cara mengaktualisasikannya dengan benar dan efektif. by : Achmad Zulfikar
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA