Segala hal sudah pasti berubah dalam kehidupan kita ini.
Pada satu masa akan ada teman yang datang dan ketika kedua belah pihak merasakan kecocokan maka hubungan tersebut pun dapat berlanjut.
Kita kemudian menjalin pertemanan dengannya, menghabiskan waktu bersama, tertawa dan bahkan menangis bersama, melakukan beragam segudang aktifitas bersama tanpa menyadari waktu kebersamaan tersebut tetap berjalan serta berlalu.
Tidak menyadari waktu yang terus berjalan tersebut sampai kemudian tiba pada satu titik dimana konflik mungkin saja muncul.
Perjalanan yang paling mulus pun pastilah memiliki rintangan, sekecil atau sebesar apapun juga.
Ketika rintangan itu hadir dalam hubungan pertemanan yang terjalin, argumen pun mulai bermunculan.
Masing-masing pihak berkutat akan keyakinan bahwa dirinya lah yang paling benar.
Terkadang bahkan argumen itu tidak ada dan keduanya memilih untuk diam seribu bahasa tanpa merasa perlu untuk mengucapkan satu patah kata pun.
Ketika itu yang terjadi lalu apa yang akan dilakukan??
Kita percaya dari dua pilihan saja yang tersedia disini, inilah saat dimana kita dapat menggunakan hak kita untuk memilih secara bebas pilihan yang tersedia.
Kita dapat bertindak berdasarkan hati kita. Atau kita dapat lebih memilih untuk bertindak mengikuti Ego kita.
Pada titik inilah, pertemanan yang terjalin selama itu akan tiba pada masa-masa ujian.
Akankah pertemanan tersebut dapat dipertahankan atau akankah ia usai begitu saja.
Pertemanan itu sendiri sudah tentu melibatkan paling sedikit dua pihak.
Dan ketika sudah ada lebih dari dua pihak yang terlibat berarti lebih banyak pula pikiran, perasaan serta perilaku yang berbeda-beda yang terlibat.
Kita tentunya tidak dapat menuntut pihak lain untuk benar-benar memiliki pikiran, perasaan dan tindak tanduk yang sama dengan kita.
Apakah anda setuju dengan :
Buat kita teman memang pasti akan datang dan pergi.
Ataukah :
Ketika kita mampu untuk mendengarkan kata hati kita pertemanan yang terjalin dapat tetap dipertahankan, sedangkan ketika kita berkutat dengan Ego kita maka pertemanan tersebut dapat tiba pada titik akhir.
HANYA SAJA, ini bukanlah kondisi yang sudah pasti!
Kita bisa saja sudah lebih banyak menggunakan hati kita dan mencoba mengatasi kondisi yang ada sebijak mungkin, tetapi tetap saja sang teman memutuskan untuk beranjak pergi.
Kita bisa pula ngoyo menggunakan Ego kita tapi sang teman dengan setia tetap berada di samping kita.
Hal itu bergantung pada pilihan mereka dan pilihan mereka semata toh.
Sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa dalam konflik yang muncul, serta dalam usaha untuk mempertahakan jalinan pertemanan yang ada, selama kita sudah yakin bahwa kita telah melakukan setiap usaha sebaik mungkin secara bijak mengikuti kata hati yang ada, maka apapun yang kemudian menjadi pilihan teman kita dan segala tindakan yang dilakukannya sama sekali bukan urusan ataupun kuasa kita.
Dia dapat saja beranjak pergi.
Dia juga dapat saja tetap tinggal.
Semua hal tersebut benar-benar murni merupakan pilihannya & pilihannya semata.
Kita hanya dapat memastikan bahwa kita telah berbuat semaksimal mungkin (maksimal berdasarkan penilaian kita tentunya, karena kondisi maksimal bagi setiap orang memiliki arti yang sangat subyektif).
Lagi pula terkadang waktu untuk bersama-sama sudah berakhir.
Setiap pihak yang selama ini terlibat bersama sudah tiba pada sebuah persimpangan dan masing-masing pihak harus mengambil jalur yang berbeda.
Ketika kita enggan untuk saling melepaskan, kita malah akan terhambat dan berkutat terus-menerus di persimpangan tersebut yang menyebabkan kita tidak bisa lagi meneruskan perjalanan kita untuk terus belajar berkembang menjadi individu yang lebih baik dalam hidup ini.
Jadi sekali lagi, kita berpikir jika memang pertemanan yang kita jalin selama ini mengalami ujian, kita hanya dapat memastikan bahwa kita akan dan telah melakukan semaksimal mungkin yang bisa kita lakukan.
Setelah itu, dengan ikhlas, kita menyerahkan hasil akhirnya kepada Yang Kuasa.
Kita dengan senang hati bersedia menyerahkan keputusan akhir kepada-Nya selama kita tahu bahwa kita telah berbuat semaksimal mungkin.
Jika memang jalinan tersebut masih dapat dipertahankan, kita bersyukur.
Jika memang jalinan tersebut harus terputus dan kami memilih jalan yang berbeda, kita pun bersyukur.
Kita toh tetap akan menyimpan dan mensyukuri setiap momen yang telah kami lalui bersama karena kita yakin momen apapun itu yang telah kami lalui bersama pastilah memberikan pelajaran tersendiri bagi diri kami masing-masing.
Pada titik dimana kita harus melepaskan kelekatan yang ada, maka dengan keikhlasan kelekatan itu pun kita lepaskan.
Tanpa penyesalan, namun diiringi dengan emosi yang tepat.
Pertemanan memang suatu hal yang menjadi bumbu sedap dalam kehidupan sosial kita.
Ketika bumbu tersebut sudah tidak cocok lagi dengan masakan yang akan kita buat, dan bahkan setelah beragam percobaan usaha maksimal tetap tidak cocok, mungkin memang sudah saatnya kita mengganti bumbu tersebut.
Kecuali jika kita ingin menghasilkan masakan dengan rasa yang aneh di lidah ini dan hampir tidak mungkin untuk dinikmati. (Disadur dari tulisan : Liza Marlielly Djafrie)
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA