|
Nia Perdhani |
by : Nia Perdhani (pelaku usaha kecil mikro bidang makanan)
Tak terasa delapan bulan sudah pandemi Corona mengobrak-abrik sebagian besar tatanan hidup kita. Berbagai upaya yang dilakukan untuk menekan laju penyebaran virus telah membawa dampak serius pada perekonomian. Tidak hanya pemerintah kita, pemerintah di seluruh dunia saat ini pasti juga sama pusingnya menyusun strategi menyelamatkan ekonomi sekaligus mengendalikan pandemi.
Di Indonesia meski presiden berkali-kali menunjukkan nada khawatir pada ancaman resesi ekonomi, tapi secara kasat mata perekonomian kita masih tampak baik saja. Indikasinya antara lain harga barang-barang kebutuhan pokok sampai detik ini tetap stabil dan tidak ada kelangkaan. Pasar-pasar tradisional maupun supermarket masih relatif ramai. Iklim sosial terasa aman dan kondusif, pertanda sebagian besar rakyatnya kenyang dan cukup makan.
Kita bahkan masih bisa menyaksikan ada orang-orang yang memborong barang-barang kemudian merusak atau membuangnya dan dengan itu mereka berkhayal sedang melakukan aksi boikot produk-produk Prancis.
Di tengah suara-suara khawatir akan krisis, masyarakat kita ternyata sangat lembam dan tahan banting di bidang ekonomi. Kalau Anda berpendapat kelembaman ini karena keberhasilan pemerintah mengelola ekonomi, saya agak kurang sepakat. Tapi itu bisa kita bahas lain waktu. Justru kelembaman ini adalah kebetulan yang datang dari ketiadaan aturan. Bagaimana bisa begitu?
Saya teringat beberapa waktu yang lalu mengobrol dengan dosen saya via daring tentang kondisi sosial masyarakat kita. "Kita ini sudah terbiasa dengan disorder, chaos, dan segala turunannya. Di Singapura, kalau ada bangjo (lampu lalu lintas) mati, polisi harus segera turun tangan untuk mengatur rekayasa lalu lintas agar tidak terjadi kecelakaan. Di kita, bangjo mati berhari-hari aman saja tidak ada tabrakan," tutur dia waktu itu.
Nah, dalam konteks kelembaman ekonomi kita, ternyata chaos dan disorder itu juga telah mengambil peran penting! Begini. Struktur ekonomi kita sebagian besarnya ditopang oleh usaha-usaha kecil dan mikro dengan segala karakteristiknya yang khas. Mereka mandiri, berbasis rumah tangga, tradisional, dan tidak terikat peraturan. Dan, oleh karenanya,mereka memiliki daya adaptasi yang tinggi.
Misalnya, waktu pemerintah menerapkan PSBB ketat, para tukang sayur segera mengubah cara kerjanya dengan mengantarkan langsung belanjaan dari rumah ke rumah sesuai pesanan yang masuk melalui Whatsapp. Atau, ketika seorang buruh pabrik hari ini terkena PHK, beberapa hari kemudian ia bisa langsung banting setir memulai usaha baru jualan cilok. Atau, seorang pedagang kain batik bisa langsung banting setir jualan rendang karena tak ada lagi orang berbelanja kain pada saat seperti ini.
Semua orang bisa dengan mudah memulai kegiatan usaha sederhana untuk tetap memperoleh penghasilan. Dan, semua itu bisa terjadi justru karena negara tidak pernah menerapkan standar peraturan yang ketat untuk usaha kecil dan mikro. Meskipun, ini juga bukannya tidak menimbulkan efek samping negatif juga. Ketiadaan aturan (atau ada ,tapi tidak dijalankan dengan baik) ini juga seringkali menimbulkan efek negatif.
Tapi, siapa yang peduli dengan efek samping yang masih bisa dikesampingkan saat standar minimal "asal semua perut kenyang" saja hampir sulit dicapai?
Coba bayangkan. Saya pernah membaca cerita seorang WNI yang tinggal di Perth tentang bagaimana jalan yang harus dilaluinya untuk berdagang semangka, padahal semangka itu adalah hasil kebunnya sendiri. Untuk bisa berjualan semangka di pasar, aneka dokumen harus ia urus terlebih dahulu. Dari izin usaha, asuransi produk, sertifikasi pengolahan dan pengemasan, hingga mendaftar ke kantor pasar dan lain sebagainya. Panjang prosesnya.
Cerita serupa saya dengar dari kawan yang tinggal di Prancis. Untuk menjual rempeyek buatannya sendiri saja dia tidak berani terang-terangan. Dia harus melakukannya dengan sangat terbatas di lingkungan kawan-kawan dekat sesama WNI saja. Karena untuk bisa berdagang apalagi makanan di sana sangatlah ruwet urusannya. Saya yakin kisah-kisah serupa akan kita dengar dari warga negara-negara maju lainnya.
Pada saat keadaan normal, tentu saja pengaturan-pengaturan ketat seperti itu menguntungkan negara, lingkungan, maupun masyarakat. Dari segi pajak, misalnya. Dengan sistem administrasi yang ketat, pajak dari para pengusaha ini akan terpungut dengan rapi, negara jelas diuntungkan. Dari segi pengaturan penggunaan ruang juga sama. Sistem administrasi yang rapi memungkinkan alokasi penggunaan lahan sesuai dengan rencana tata ruang.
Dari sisi masyarakat pun diuntungkan karena mereka memperoleh jaminan produk yang beredar kualitasnya pasti baik. Tidak akan ada cerita saos tomat yang dibuat dari singkong dan tomat busuk serta banyak-banyak natrium benzoat beredar bebas di pasaran di negara-negara seperti itu.
Tapi di saat krisis, hal-hal seperti itu menjadi sangat menyulitkan. Ketika gerai-gerai retail gulung tikar, ada orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Ketika perusahaan melakukan pengetatan, ada orang-orang yang tiba-tiba kehilangan sumber penghasilan. Orang-orang itu tentu saja membutuhkan kemudahan untuk segera berpindah ke sumber penghasilan yang lain. Semakin lama mereka tidak berpenghasilan, semakin berat negara harus menanggung hidup mereka.
Nah, situasi yang terbiasa chaos itu rupanya telah banyak menguntungkan kita. Bayangkan kalau untuk jualan pecel atau rempeyek saja harus melalui izin ini-itu --berapa banyak waktu dan sumber daya yang harus tersita?
Pada saat tidak ada krisis kita seringkali dibuat iri dengan kemajuan ekonomi negara-negara tetangga yang melaju cepat. Singapura, misalnya. Dari suasana kotanya saja kita bisa langsung merasakan bedanya negara maju dengan negara yang ingin maju tapi nggak maju-maju. Semua rapi dan teratur. Dari tata kotanya, sistem administrasinya, sampai perilaku warganya.
Belum lagi apabila dilihat dari berbagai indikator ekonomi makro lainnya. Rasanya kok rumput di sana tumbuh lebih hijau dan subur daripada suket teki di negeri kita. Tapi, dhuaarr, ketika pandemi mengobrak-abrik semuanya, sadarlah rupanya justru segala ketiadaan aturan ini malah bisa membuat kita sebagai masyarakat bertahan lebih baik dibanding mereka. Singapura yang maju itu terhantam lebih keras akibat pandemi. Kontraksi ekonominya minus hingga lebih dari 12% --terdalam sepanjang sejarah negeri itu.
Ini semacam kita sedang memperoleh berkah dari regulasi yang tidak ada atau tidak berjalan dengan baik yang justru karenanya keadaan kita jadi baik-baik saja. Setidaknya kita tidak terpuruk seperti ketika krisis moneter 1998. Ya, memang ada peran subsidi besar-besaran dari pemerintah untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Tapi semua itu tidak akan berpengaruh maksimal apabila masyarakatnya tidak responsif dan adaptif terhadap situasi.
Dan, situasi "terbiasa tidak diatur" itulah yang telah membentuk masyarakat kita adaptif sehingga lebih kuat bertahan.