Share Info

2 October 2011

Pemerkosaan dan Pakaian Perempuan

by : Nalini Muhdi Psikiater, Bekerja di Fakultas Kedokteran Unair

Prihatin, sedih, sekaligus geli. Itulah yang saya rasakan ketika membaca atau mendengar komentar beberapa pejabat dalam sepekan terakhir ini menanggapi beberapa pemerkosaan di dalam kendaraan umum di Jakarta.

Intinya, mereka mengingatkan perempuan agar jangan mengenakan pakaian terbuka apabila tak mau diperkosa. Jadi, ada korelasi hitam-putih antara pemerkosaan dan pakaian perempuan.

Nasihat yang baik! Namun, menjadi menggelikan ketika yang menyampaikannya adalah pemimpin yang notabene diharapkan melek referensi dan paham sebab-akibat suatu masalah. Lebih sedih lagi ketika saya membaca Kompasiana (21/8/2010) bahwa seorang bupati di Aceh pernah mengatakan bahwa perempuan yang tak memakai pakaian menurut syariat Islam layak diperkosa!

Picik sekali pejabat yang terbelenggu sauvinisme lelaki itu sehingga tak sadar bahwa sesungguhnya perempuan yang memakai pakaian ”tertutup” sama rentan dengan perempuan berpakaian ”biasa”. Mereka sama-sama tak steril dari ancaman pemerkosaan. Di benaknya cuma ada pikiran: yang diperkosa itu pasti perempuan.

Kendati angkanya masih di bawah perempuan, anak laki-laki yang diperkosa juga tak sedikit. Mereka bahkan lebih menderita lantaran tak punya kemampuan berbicara kepada orang dewasa atau publik karena hambatan sosial budaya: dirundung penderitaan bahkan sampai akhir hayat. Mereka korban pemerkosaan baik oleh sesama pria maupun perempuan dewasa.

Ihwal pemerkosaan

Pemerkosaan terjadi bukan semata-mata akibat pelakunya usai minum ramuan jamu perangsang nafsu atau karena tak tahan melihat perempuan memakai rok mini. Pemerkosaan lebih rumit dari yang dibayangkan. Mereka bukan sekadar budak nafsu. Untuk paham ihwal pemerkosaan, pelajarilah psikodinamika pelakunya.

Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk agresivitas. Seksualitas hanya sarana melepaskan kebutuhan nonseksualnya. Kekerasan disalurkan lewat cara seksual: memerkosa korban. Sesungguhnya pemerkosaan berakar dari adanya kebutuhan pelaku akan dominasi sekaligus ekspresi kemarahan dan permusuhan yang terpendam di bawah sadar.

Pelaku juga memiliki citra diri yang buruk sehingga ingin memosisikan diri di tempat superior ketika ada kesempatan—meski hanya sesaat—lewat lorong gelap pemaksaan seks terhadap orang lain yang rentan. Terjadi proses dehumanisasi.

Kenyataannya, bahkan dalam dunia yang dikonstruksikan sebagai ”dunia laki-laki”, toh tak banyak laki-laki yang gemar memerkosa perempuan. Lebih banyak laki-laki yang menginginkan hubungan seks seimbang dengan pasangannya. Kalau toh terangsang oleh sesuatu yang membangkitkan birahi, mereka akan menyalurkan lewat cara yang bisa diterima oleh nilai-nilai yang dianut.

Adapun pemerkosa adalah orang yang punya perilaku sakit. Mereka adalah pelaku kriminal yang harus dihukum berat karena sengaja membuat jejak gelap menistakan kehidupan korban, bahkan membuat korban menanggung cacat permanen secara mental.

Sayangnya, di negeri ini kor- ban sering tak berani melapor. Mereka memilih diam; memendam amarah; dan merasa terhina serta tertekan baik oleh tenaga kesehatan, penegak hukum, masyarakat, maupun pejabat.

Tak cukup bukti

Tak cukup bukti akurat bahwa pemerkosaan dicetuskan oleh pakaian korban. Di beberapa negara yang liberal kehidupan seksualnya, pemerkosaan tetap terjadi.

Di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, pemerkosaan pun kerap terjadi. Padahal, perempuan di sana memakai pakaian amat tertutup. Bahkan, ancaman pemaksaan seksual juga terjadi pada laki-laki oleh sesama jenis.

Ini membuktikan bahwa pemerkosaan bukan semata urusan seks, melainkan mekanisme pemenuhan nonseksual yang cukup kompleks. Naif jika disederhanakan sekadar karena pakaian korban merangsang pelaku.

Pengamatan Philip G Zimbardo dari Universitas Stanford memperlihatkan bahwa perbuatan yang tak pro-sosial tak hanya dilakukan oleh individu yang memang sudah membawa bakat antisosial. Hal itu bisa juga dilakukan oleh ”orang baik-baik” melalui variabel situasional dan proses secara gradual. Ketika masyarakat dan pemimpin melakukan pembiaran terhadap perilaku yang tidak pro-sosial, akan terjadi ekses lebih parah ketika persepsi berubah bahwa perilaku buruk tersebut bisa diterima. Bukan hanya pemerkosaan, begitu pun korupsi dan kriminalitas lain.

Kembali ke pemerkosaan. Seandainya yang diperkosa itu adalah anak, istri, atau kerabat sang pejabat, apakah mereka juga akan mengatakan hal yang sama?

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month