Nidjo
Sandjojo, lelaki kelahiran Wonosobo yang sekarang berprofesi sebagai
dosen di beberapa perguruan tinggi dan memulai kariernya sebagai seorang
militer berusaha keras membuktikan kebenaran sejarah. Sebuah bukunya
"Abdul Latief Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus
1945," sebentar lagi akan diluncurkan dan dibedah. Akankah buku ini
menghimpun bukti-bukti kuat sekitar misteri dan menghentikan polemik
yang terjadi saat ini? Semoga.
InsyaAllah saya
akan menjadi moderator dalam acara ini. Sebagai seorang ilmuwan saya
sejak awal memang harus independen. Saya harus "berumah di angin"
sebagaimana almarhum W.S.Rendra katakan ketika menerima gelar doktor
kehormatan di Universitas Gajahmada. Saya juga harus melihat
permasalahan ini dari luar, karena bagaimana pun klaim seseorang atas
kebenaran dalam hal yang sama harus pula kita sikapi dengan
bijaksana.Harus kita beri tempat selayaknya. Harus kita hormati. Inilah
hakekat kehidupan manusia, inilah hakekat mengapa pada akhirnya sebagai
orang beriman, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan kalau
kita tetap berdiri di jalan yang lurus yang setiap sholat kita selalu
sebut,"Ya, Allah tunjukilah kami jalan yang lurus."
Setelah
itu bagaimana pula sikap kita terhadap kebenaran palsu? Menurut saya
biarkan mereka melakukannya, kewajiban kita hanya menyampaikan. Bukankah
bagi Allah SWT mengulurkan tangan kepada orang yang menzalimi kita
lebih mulia dari pada orang yang memang telah baik kepada kita. Ketika
Nabi Muhammad SAW dilukai, dicerca dan diludahi, apakah dia dendam
kepada ummatnya sendiri? Pada waktu itu apa yang tidak bisa beliau
lakukan. Tetapi kata beliau: " Ya, Allah maafkan mereka karena mereka
tidak tahu." Mulia sekali dan ini pula yang diikuti para pendiri
Republik ini. Ketika Soekarno-Hatta berseteru di bidang duniawi, tetapi
tetap tersenyum di antara sesamanya. Sekali lagi saya katakan, bukankah,
Rahmi seorang gadis cantik itu dicarikan oleh Bung Karno sebagai
pendamping Hatta. Bukankah Hatta berkunjung kepada Bung Karno ketika
saat-saat dia sakit? Bukankah dalam sejarah orang-orang partai sering
berdebat bagai perang, tetapi setelah di luar tertawa, minum kopi
bersama sama? Ketika Ahmad Hussein, Ketua PRRI tetap keras angkat
senjata, bacalah surat Bung Karno. Dia masih tetap mengatakan "anakku
Hussein". Ketika saya bertemu dua kali di Jakarta, beliau katakan
langsung kepada saya: "Saya Bukan Pemberontak." Tetapi di pihak lain,
maaf di mana saya pernah dulu beraktivitas di "Majalah Veteran",
sebahgian besar mengatakan:"Ahmad Hussein Pemberontak." Ini merupakan
cara pandang sipil dan militer yang tidak harus lagi tejadi.
Hidup
ini memang harus dihayati tidak hitam putih. Dia salah, saya yang
benar. Memang pada satu sisi kita harus melengkapi data, tetapi menurut
Pak Asvi Warman Adam, tulisan itu tergantung siapa sejarawannya, di mana
instansinya. Semakin independen maka semakin independen pula
tulisannya. Data itu harus pula dikaji, otentikkah, benar dan kuat kah.
Ketika data kita kuat mengapa ada orang lain mengatakan datanya juga
kuat? Inilah yang saya maksud semuanya perlu didialogkan dan kepada yang
keliru kita arahkan ke jalan lurus. Kita ingatkan, bahwa yang menderita
kelak bukan hanya kita yang hidup sekarang ini, tetapi sampai ke anak
cucu. Bagaimana bisa anak atau cucu kita bersekolah sering diganggu
teman-temannya, ayahmu atau kakekmu pembohong ya? RELAKAH KITA? Mungkin
kita bisa mengatakannya tidak rela kalau masih hidup. Tetapi kalau kita
sudah meninggal? Kasihan masa depan hidupnya..
Inilah
yang saya jaga. Sebuah kehati-hatian, kecuali setelah melakukan sebuah
dialog. Kita pun dengan berhati-hati minta yang salah mundur dengan
baik.Mudah-mudahan setelah berdialog dengan baik, saling menghormati,
setiap orang ingin mengakui kesalahannya. Bentuk dialognya terserah.
Apalagi sumber yang seorang lagi sudah tua. Kalau kita tidak
memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya, kasihan anak cucunya. Intinya
hidup tidak selalu berkata bagaimana saya, tetapi juga bagaimana
dia.Bahkan para pejuang kita dulu tidak pernah terpikir memikirkan
bagaimana saya? Hidup, pikirannya diserahkannya kepada bangsa dan
negara, bagaimana masa depan bangsa dan negara ini.Sejalan dengan
kehidupan sejarawan, ilmuwan dan para tokoh agama.
[Source : wikimu.com]
[Source : wikimu.com]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA