Share Info

30 September 2010

Bagaimana Cara Menyelesaikan Masalah?

Dua pendekatan dalam melihat suatu masalah

Dalam pengalaman saya bekerja dan berinteraksi dengan banyak orang, saya amati ada dua tipe orang dalam menghadapi masalah atau problem, baik di pekerjaan maupun kehidupan sosial. Dua tipe ini adalah reactive (bereaksi begitu masalah datang) dan receptive (mau menerima masalah).

Pendekatan Reactive

Mereka yang reactive biasanya melihat suatu masalah sebagai ancaman. Entah ancaman terhadap karirnya, bisnisnya, keluarganya, dan sebagainya. Dalam kelompok ini Anda mencari solusi terhadap masalah dengan menggunakan pendekatan logis dan tradisional. Ciri-cirinya:

  • Begitu masalah datang Anda cenderung segera mencari cara apapun untuk mengatasinya.
  • Masalah dilihat sebagai faktor penghambat perkembangan diri.
  • Anda akan segera menyusun strategi untuk menghadapi masalah
  • Karena masalah dilihat sebagai ancaman, dia akan mendominasi pikiran dan cenderung menyebabkan kecemasan dan stress.

Apabila Anda bekerja di perusahaan, barangkali Anda pernah diminta untuk memimpin suatu proyek dimana Anda bertanggung jawab untuk mencapai target tertentu. Disini Anda dihadapkan dengan situasi yang membutuhkan analisa, justifikasi, dan pemikiran logis dalan menghadapi tantangan atau masalah yang muncul. Anda akan berada dalam kondisi tertekan untuk memenuhi deadline. Bisa ditebak, Anda akan cenderung menggunakan pendekatan reaktif dalam menyelesaikan persoalan.

Pendekatan Receptive

Pendekatan ini biasanya dipraktekkan oleh mereka yang sudah menyadari bahwa masalah bukanlah ancaman tetapi justru konsekuensi yang timbul dari suatu kondisi yang kita ciptakan. Oleh karena itu kita mempunyai kekuatan untuk mengubah kondisi tersebut dari dalam diri sendiri. Anda mau menerima masalah dan pada saat yang sama membuat solusinya.Ciri-cirinya:

Ketika masalah datang, Anda mengenalinya dan menggunakan pendekatan:

  • Masalah merupakan kebalikan dari solusi. Ketika masalah muncul, Anda percaya saat itu juga bahwa solusinya sudah ada.
  • Anda fokus kepada solusi dari persoalan yang timbul, bukan pada penyebab dari masalah itu. Dengan demikian Anda mengambil alih kontrol dari dalam diri Anda sendiri, bukannya dikendalikan oleh keadaan di luar.
  • Masalah merupakan kesempatan untuk pengembangan diri. Anda melihatnya sebagai peluang untuk meciptakan realitas positif dalam hidup Anda.

Mau menerima masalah bukan berarti berdiam diri. Anda tidak "kebakaran jenggot" tetapi mengenali masalah itu dengan tenang dan membuat diri Anda responsif terhadap semua yang Anda perlukan untuk mengundang solusi.

Contoh yang paling sederhana adalah ketika pasangan yang Anda cintai (misalnya istri, suami, atau pacar) sedang ngambek karena masalah sepele. Dengan pendekatan reactive, Anda hanya akan memperburuk keadaan dengan bertanya-tanya kenapa dia harus ngambek, menganalisa penyebabnya dan merasa kondisi ini akan mengancam keharmonisan hubungan Anda dengannya. Bukannya solusi yang didapat tetapi justru kecemasan dan kekhawatiran.

Dengan pendekatan receptive, Anda menerima dan menyadari bahwa pasangan Anda sedang marah. Anda fokuskan energi Anda untuk menciptakan kasih sayang yang pada dasarnya merupakan lawan dari kemarahan. Anda tidak larut terbawa suasana – mencoba mencari jawaban dari analisa kenapa dia jadi marah – tetapi mengambil alih kendali dari dalam diri sendiri, tetap berpikir tenang, dan menunjukan sikap positif dalam perilaku Anda. Anda akan rasakan bahwa berada dalam situasi ini justru membuat diri Anda berkembang. Anda membuat kualitas positif dari diri Anda muncul ke permukaan dan sudah menjadi hukum alam dengan bersikap seperti ini pasangan Anda niscaya akan berubah dari marah menjadi cinta.

Pendekatan receptive ini bisa Anda praktekkan di kehidupan bisnis, rumah tangga, dan sosial. Intinya Anda membangun keyakinan bahwa masalah tidaklah nyata sehingga Anda tidak merasa terbebani. Latih diri Anda untuk tidak reaktif ketika suatu masalah muncul. Fokuskan diri Anda pada lawan dari masalah, yaitu solusi, untuk menemukan kendali dan bukannya larut dalam masalah itu.
(by : Al Falaq Arsendatama)

Terus Miliki Kekurangan

Kekuangan adalah Pemungkin Kemajuan

Hidupnya hebat. Hartanya melimpah ruah. Keluarganya harmonis. Perusahaannya maju pesat. Teman-temannya baik dan setia. Karyawannya orang-orang pilihan. Rumahnya nyaman tak terkira. Ibadahnya luar biasa. Amalnya di atas rata-rata. Popularitasnya melegenda.

"Lalu apa lagi yang ia hendak raih?" Ah, pertanyaan ini menjadi susah untuk dijawab. Ia benar-benar merasa seluruh aspek kehidupannya sudah berada di kualitas yang tertinggi. Pertambahan materi sudah tak berarti lagi untuknya. Toh, ia dan keluarganya sangat nyaman hidup dalam kesederhanaan. Hidupnya tak kekurangan sesuatu apapun.

Tapi, ternyata hidup tak ada kekurangan apapun justru menyiksanya luar biasa. Lebih menyiksa dari hidupnya waktu kecil yang justru penuh dengan kekurangan. Karena penuh dengan kekurangan itulah yang membuatnya 'terbakar'. Darah mudanya bergolak. Otaknya berputar keras. Hatinya penuh dengan kekuatan. Maka ia pun belajar dan bekerja keras luar biasa. Siang dan malam tak ada bedanya. Tidur nya pun hanya sekerejapan mata. Itu pun tak membuat energinya habis. Sebaliknya, energi itu terus bangkit dan membola salju. Segala kekurangan yang ada pada diri dan keluarganya itu memicu dan memacunya.

Maka berbagai sukses dan prestasi pun diraihnya. Dari bidang akademik, bisnis, hobi, pertemanan, sampai bidang keluarga dan spiritual. Semua aspek dalam hidupnya tak tercela. Bukan hanya tak tercela, tapi gemilang. Kekurangan-kekurangan itu telah ia tutupi. Hinaan telah ia jungkir balik-kan menjadi pujian dan kekaguman.

Tapi sekarang, ia berdiri disana. Jiwanya tersiksa. Berbagai pertanyaan menyerbunya. Dan ada satu yang paling nyaring ia dengar : "Apa yang kurang pada diriku sampai merasa tersiksa seperti ini?"

Saudara, menurut anda apa yang terjadi pada sosok di atas tadi? Mengapa ia bisa mengalami hal seperti itu? Di tengah hidup yang luar biasa, ia justru merasa tersiksa. Bukankah hidupnya sudah seimbang? Ia tak hanya mengejar dunia, ia juga mengejar akhirat. Kerjanya sehebat ibadahnya. Ilmunya setinggi imannya. Apa yang terjadi?

Menurut saya, yang terjadi adalah terjadinya jarak antara dirinya dengan fithrahnya sebagai manusia. Fithrah yang mana? Fithrah bahwa manusia adalah mahluk yang selalu punya kekurangan. Perasaan bahwa ia sudah bisa menutupi semua kekurangan dirinya telah mengelabuinya.

Kenapa manusia punya fithrah seperti itu? Agar hidupnya bisa terus maju dan berkembang.

Jadi kekurangan adalah sebuah anugerah luar biasa. Ia adalah pemungkin perbaikan dan kemajuan. Maka miliki lah kekurangan. Lalu tutupi dengan sukses dan prestasi. Sampai kapan? Sampai anda tak bernafas lagi. Bila anda sudah tak bisa lagi menemukan kekurangan dalam diri anda, cari dan temukan kekurangan pada diri orang lain. Bantu mereka untuk menutupi kekurangan-kekurangan mereka itu. Toh, pada hakikatnya anda adalah mereka. Mereka adalah anda.

Maka di tengah berbagai kekurangan, anda justru akan menemukan kebahagiaan. (By : Supardi Lee)

Sosok Perempuan di Media Massa

Menjamurnya industri media tak terlepas dari prinsip pasar. Persaingan bebas memaksa media massa memunculkan kreativitasnya untuk tetap eksis. Akibatnya media massa cenderung mengacu pada peluang komersialisasi media. Apa pun dinilai dengan pemasukan uang.

Wacana terbesar dalam membahas fenomena perempuan di media massa adalah antara 'ideologi' dengan 'objektivitas'. Wacana didominasi oleh ideologi patriarkhisme sehingga objektivitas yang muncul justru menjadi subjektivitas.

Informasi dan pengetahuan tentang perempuan yang dikonstruksi oleh kalangan laki-laki justru menjadikan perempuan kurang berpeluang untuk mengkonstruksikan dirinya sendiri.

Tak bisa disanggah, media massa yang mengakselerasi penyebaran ideologi tersebut mendominasi ruang publik perempuan. Perempuan sebagai pengelola media, sebagai isi pesan media dan sebagai konsumen media, dengan kata lain sebagai objek sekaligus subjek media atas hegemoni laki-laki.

Sosok perempuan dalam realitas kehidupan sosial cenderung mengarah pada hal-hal yang berbau keindahan. "Pemuja keindahan tubuh wanita" dalam hal ini laki-laki pasti akan senang sekali memperhatikan setiap iklan yg mengekspos sisi keidahan gemulainya wanita. Sehingga wanita menjadi tontonan yg sangat menarik di setiap acara, dan tampilan iklan media massa lainnya (surat kabar).

Iklan dalam media televisi contohnya, hampir dalam setiap iklan tidak pernah terlupakan sosok seorang wanita. Namun disisi lain kita lihat dari segi realitas, wanita seakan-akan menjadi barang yang murah, yang mudah sekali kita lihat dan temukan di media.

Perempuan dalam kehidupan masyarakat, biasanya terpinggirkan peranannya dalam berbagai sektor public. Stereotip tentang perempuan biasanya muncul lantaran menganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah.

Peranannya menjadi terbatas karena permasalahan jender. Penggambaran perempuan yang stereotipikal seperti itu kemudian diperparah dengan penempatan perempuan sebagai objek yang tampil seronok dan glamor di media massa.

Representasi media atas perempuan sering menampilkan perempuan sebagai makhluk fisik belaka yang memposisikan tubuh perempuan sebagai komoditas media yang cenderung dikomersialkan.

Pengabaran perempuan seharusnya tidak didefinisikan sebagai makhluk domestik yang tidak banyak berperan di sektor publik. Namun yang seharusnya patut direnungi adalah perempuan juga sebenarnya memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam memainkan peranannya.

Realitas menunjukkan eksploitas perempuan dalam media dapat mempengaruhi anomali pembaca media sekaligus sebagai hiburan khususnya bagi kaum laki-laki. Dengan kata lain, media cenderung menempatkan tubuh perempuan sebagai penglarisnya.

Dr. Thamrin Amal Tamagola (seorang sosiolog) menemukan 5 citra perempuan dalam iklan, yang ia sebut sebagai P-5: citra peraduan, citra pigura, pilar rumah tangga, citra pergaulan dan citra pinggan.

Citra peraduan mengartikan perempuan sebagai obyek seksual. Paling jelas dalam iklan obat-obat kuat, kondom dan sebagainya. Citra pigura, perempuan sebagai makhluk yang cantik dan harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori, pakaian; segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan.

Citra yang paling banyak dieksploitasi adalah perempuan sebagai pilar rumah tangga. Ia harus menjalankan tugasnya mulai dari yang tradisional; sumur, kasur, dapur, sampai dengan yang agak modern, agak mutakhir, tetapi tetap dalam lingkup domestik. Dari dapur sudah sampai ke ruang tamu, menemani tamu suaminya, tapi masih dilingkup domestik.

Citra perempuan (image of women) dengan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga sudah jauh lebih dahulu terbentuk ketimbang kemunculan media massa. Ketika kita melihat iklan di berbagai media yang menayangkan perempuan sedang memasak dengan memakai bumbu masak tertentu, di situ kita disuguhi citra tentang posisi sosial perempuan yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Tapi, perempuan juga punya citra sebagai pilar. Dalam hal ini perempuan diharapkan mampu me-manage rumah tangga. Ia sekurang-kurangnya harus mengelola tiga hal. Pertama, barang-barang di dalam rumah. Kedua, mengelola belanja, finansial. Ketiga, mengelola anak-anak dan para pembantu. Perempuan yang bekerja di dalam rumah diharapkan mampu menerapkan manajemen modern di dalam rumah tangga.

Perempuan dalam citra pergaulan ada hubungannya dengan citra peraduan. Anggapan tersirat bahwa perempuan merupakan alat pemuas kebutuhan laki-laki, kecantikan perempuan sepantasnya dipersembahkan kepada laki-laki lewat sentuhan, rabaan, pandangan, ciuman dan sebagainya.

Dalam beberapa iklan suplemen makanan dan ramuan tradisional pembangkit gairah seksual, kepuasaan tidak hanya pada laki-laki tetapi juga berdampak pada diri perempuan yang merasa dihargai oleh laki-laki.

Citra pinggang lebih banyak digunakan untuk menawarkan makanan, minuman, bumbu masak, alat-alat rumah tangga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dapur. Setinggi apapun pendidikan perempuan atau berapa besarpun penghasilan perempuan,ia tak akan dapat jauh dari dapur, kompor, asap penggorengan, bumbu masak dan lain-lain.

Kesimpulan gambaran perempuan dalam media massa:

1. Iklan Lebih Banyak Menayangkan Perempuan Bekerja di Rumah dan Laki-laki di Luar Rumah.

Citra perempuan (image of women) dalam hal ini lebih menekankan sisi eksploitasi sosok perempuan yang sesungguhnya. Hal ini merujuk pada peranan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Perspektif ini sebenarnya sudah muncul jauh lebih dahulu ketimbang kemunculan media massa.

Realitas saat ini menunjukkan, perempuan lebih memainkan peranan utamanya sebagai pengurus rumah tangga, seperti memasak, menyapu, membereskan perabotan rumah dan sebagainya. Dan hal ini secara umum tidak dapat tergantikan oleh kaum laki-laki karena image perempuan sudah sangat melekat.

Realitas yang dapat kita amati ialah saat munculnya iklan di berbagai media yang menayangkan perempuan sedang memasak dengan memakai bumbu masak tertentu, di situ kita disuguhi citra tentang posisi sosial perempuan yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Realitas berbeda terlihat pada peranan laki-laki dalam media. Laki-laki dalam perspektif media digambarkan sebagai sosok yang memiliki peranan lebih disbanding perempuan. Wood berdasarkan hasil risetnya secara gamblang menguraikan bahwa stereotif yang berkembang dalam media tentang pespektif laki-laki yaitu; secara umum pria dalam media ditampilkan sebagai aktif, petualang, kuat, agresif secara seksual, dan memiliki siense kepemimpinan.

2. Kebanyakan Perempuan Iklan di Televisi Muda, Sedangkan Laki-laki tidak.

Sosok perempuan dalam realitas kehidupan social cenderung mengarah pada hal-hal yang berbau keindahan. Khususnya bagi perempuan yang masih muda. Produsen barang, dalam hal ini cenderung memanfaatkan perempuan sebagai senjata ampuh untuk mempromosikan produknya. Kecantikan dan keindahan tubuh perempuan (yang masih muda) menjadi fokus utama yang ditonjolkan.

Tujuannya jelas, untuk memancing minat audien khususnya para lelaki dan kaum perempuan itu sendiri. "Pemuja keindahan tubuh wanita"khususnya laki-laki pasti akan senang sekali memperhatikan setiap iklan yg mengekspos sisi keidahan gemulainya wanita.

Sehingga wanita menjadi tontonan yang sangat menarik di setiap acara, dan tampilan iklan media televise. Tak ayal, terkadang sosok perempuan terlalu dieksploitasi, sehingga menimbulkan kesan sensualitas yang nyata.

Fenomena di atas menunjukkan perempuan sebagai obyek seksual. Paling jelas dalam iklan obat-obat kuat, kondom dan sebagainya. Citra perempuan muncul sebagai makhluk yang cantik dan harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori, pakaian; segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan.

Menurut Craft, dan Sanders and Rock, Penampilan muda dan cantik dari seorang perempuan seringkali juga mempengaruhi harapan terhadap acara siaran berita. Dalam hal ini, penyiar perempuan diharapkan muda, atraktif secara fisik, dan kurang terbuka dari pada laki-laki (Craft, 1988; Sanders and Rock, 1988).

Sementara itu perspektif tentang peranan laki-laki dalam media tidak terikat pada kategori usia. Permasalahan usia pada laki-laki dalam tayangan televisi digambarkan sebagai; kategori keseriusan, konfiden, kompetensi, powerfull, dan dalam posisi yang tinggi. McCauley, Thangavelu, dan Rozin (1988), menyatakan bahwa mayoritas laki-laki yang ditayangkan dalam waktu primetime televisi adalah independen, agresif, dan berkuasa.

3. Tokoh Perempuan Lebih Sedikit di Banding dengan Tokoh Laki-laki.

Studi tentang relasi laki-laki-perempuan dalam media massa yaitu, perempuan dianggap tidak berdaya di tengah-tengah masyarakat yang dikendalikan kaum pria. Kompetensi pria yang ditampilkan pada hakikatnya digunakan oleh mereka untuk melindungi para perempuan dari ketidakberdayaannya. Hal ini menunjukkan keterbatasan peranan perempuan yang cenderung diposisikan pada peranan domestik (di dapur).

Peran televisi dalam memposisikan ketidakseimbangan peran laki-laki-perempuan, cukup kuat. Dalam hal ini TV mengkomunikasikan pesan bahwa pria berkuasa dan perempuan tidak. Pesan demikian makin kuat keberadaannya tatkala disajikan dalam program-program yang ditempatkan pada waktu prime-time.

Televisi membentuk citra dengan menampilkan perempuan yang butuh pertolongan pria dan lebih banyak menampilkan perempuan sebagai inkompeten lebih dari pada laki-laki (Boyer dan Lichter dalam Wood, 1997).

5. Tokoh Pria memainkan Peranan Lebih Besar

Menurut Wood (1996) media massa telah membangun makna tentang pria dan perempuan serta hubungan antara pria dan perempuan. Wood berdasarkan hasil risetnya secara gamblang menguraikan bahwa stereotif yang berkembang yaitu; secara umum pria dalam media ditampilkan sebagai aktif, petualang, kuat, agresif secara seksual, dan sebagian besar tidak tampil dalam hubungan yang bersifat manusiawi.

Sementara itu, makna tentang perempuan yang didasarkan pada pandangan budaya secara konsisten, digambarkan sebagai objek seks yang selalu langsing, cantik, pasif, tergantung (dependen), dan sering tidak kompeten.

Kesimpulannya, perspektif media menempatkan citra laki-laki sebagai makhluk yang agresif, kuat, dominan dalam peranannya, dan ditempatkan dalam aktivitas yang menggairahkan. By :
Dirgantara Wicaksono


29 September 2010

Teman Datang dan Pergi

Segala hal sudah pasti berubah dalam kehidupan kita ini.

Pada satu masa akan ada teman yang datang dan ketika kedua belah pihak merasakan kecocokan maka hubungan tersebut pun dapat berlanjut.
Kita kemudian menjalin pertemanan dengannya, menghabiskan waktu bersama, tertawa dan bahkan menangis bersama, melakukan beragam segudang aktifitas bersama tanpa menyadari waktu kebersamaan tersebut tetap berjalan serta berlalu.
Tidak menyadari waktu yang terus berjalan tersebut sampai kemudian tiba pada satu titik dimana konflik mungkin saja muncul.
Perjalanan yang paling mulus pun pastilah memiliki rintangan, sekecil atau sebesar apapun juga.
Ketika rintangan itu hadir dalam hubungan pertemanan yang terjalin, argumen pun mulai bermunculan.
Masing-masing pihak berkutat akan keyakinan bahwa dirinya lah yang paling benar.
Terkadang bahkan argumen itu tidak ada dan keduanya memilih untuk diam seribu bahasa tanpa merasa perlu untuk mengucapkan satu patah kata pun.

Ketika itu yang terjadi lalu apa yang akan dilakukan??

Kita percaya dari dua pilihan saja yang tersedia disini, inilah saat dimana kita dapat menggunakan hak kita untuk memilih secara bebas pilihan yang tersedia.
Kita dapat bertindak berdasarkan hati kita. Atau kita dapat lebih memilih untuk bertindak mengikuti Ego kita.

Pada titik inilah, pertemanan yang terjalin selama itu akan tiba pada masa-masa ujian.
Akankah pertemanan tersebut dapat dipertahankan atau akankah ia usai begitu saja.

Pertemanan itu sendiri sudah tentu melibatkan paling sedikit dua pihak.
Dan ketika sudah ada lebih dari dua pihak yang terlibat berarti lebih banyak pula pikiran, perasaan serta perilaku yang berbeda-beda yang terlibat.
Kita tentunya tidak dapat menuntut pihak lain untuk benar-benar memiliki pikiran, perasaan dan tindak tanduk yang sama dengan kita.

Apakah anda setuju dengan :
Buat kita teman memang pasti akan datang dan pergi.

Ataukah :
Ketika kita mampu untuk mendengarkan kata hati kita pertemanan yang terjalin dapat tetap dipertahankan, sedangkan ketika kita berkutat dengan Ego kita maka pertemanan tersebut dapat tiba pada titik akhir.
HANYA SAJA, ini bukanlah kondisi yang sudah pasti!

Kita bisa saja sudah lebih banyak menggunakan hati kita dan mencoba mengatasi kondisi yang ada sebijak mungkin, tetapi tetap saja sang teman memutuskan untuk beranjak pergi.
Kita bisa pula ngoyo menggunakan Ego kita tapi sang teman dengan setia tetap berada di samping kita.

Hal itu bergantung pada pilihan mereka dan pilihan mereka semata toh.

Sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa dalam konflik yang muncul, serta dalam usaha untuk mempertahakan jalinan pertemanan yang ada, selama kita sudah yakin bahwa kita telah melakukan setiap usaha sebaik mungkin secara bijak mengikuti kata hati yang ada, maka apapun yang kemudian menjadi pilihan teman kita dan segala tindakan yang dilakukannya sama sekali bukan urusan ataupun kuasa kita.

Dia dapat saja beranjak pergi.
Dia juga dapat saja tetap tinggal.

Semua hal tersebut benar-benar murni merupakan pilihannya & pilihannya semata.

Kita hanya dapat memastikan bahwa kita telah berbuat semaksimal mungkin (maksimal berdasarkan penilaian kita tentunya, karena kondisi maksimal bagi setiap orang memiliki arti yang sangat subyektif).

Lagi pula terkadang waktu untuk bersama-sama sudah berakhir.
Setiap pihak yang selama ini terlibat bersama sudah tiba pada sebuah persimpangan dan masing-masing pihak harus mengambil jalur yang berbeda.
Ketika kita enggan untuk saling melepaskan, kita malah akan terhambat dan berkutat terus-menerus di persimpangan tersebut yang menyebabkan kita tidak bisa lagi meneruskan perjalanan kita untuk terus belajar berkembang menjadi individu yang lebih baik dalam hidup ini.

Jadi sekali lagi, kita berpikir jika memang pertemanan yang kita jalin selama ini mengalami ujian, kita hanya dapat memastikan bahwa kita akan dan telah melakukan semaksimal mungkin yang bisa kita lakukan.
Setelah itu, dengan ikhlas, kita menyerahkan hasil akhirnya kepada Yang Kuasa.
Kita dengan senang hati bersedia menyerahkan keputusan akhir kepada-Nya selama kita tahu bahwa kita telah berbuat semaksimal mungkin.

Jika memang jalinan tersebut masih dapat dipertahankan, kita bersyukur.
Jika memang jalinan tersebut harus terputus dan kami memilih jalan yang berbeda, kita pun bersyukur.
Kita toh tetap akan menyimpan dan mensyukuri setiap momen yang telah kami lalui bersama karena kita yakin momen apapun itu yang telah kami lalui bersama pastilah memberikan pelajaran tersendiri bagi diri kami masing-masing.

Pada titik dimana kita harus melepaskan kelekatan yang ada, maka dengan keikhlasan kelekatan itu pun kita lepaskan.
Tanpa penyesalan, namun diiringi dengan emosi yang tepat.

Pertemanan memang suatu hal yang menjadi bumbu sedap dalam kehidupan sosial kita.
Ketika bumbu tersebut sudah tidak cocok lagi dengan masakan yang akan kita buat, dan bahkan setelah beragam percobaan usaha maksimal tetap tidak cocok, mungkin memang sudah saatnya kita mengganti bumbu tersebut.
Kecuali jika kita ingin menghasilkan masakan dengan rasa yang aneh di lidah ini dan hampir tidak mungkin untuk dinikmati. (Disadur dari tulisan : Liza Marlielly Djafrie)

Hidup yang Terang dan Menerangi

Kualitas Paling Layak bagi Setiap Manusia

Lingkupi diri dengan ketakutan, dan hidup lah dalam keamanan

Lingkupi diri dengan kekuatan, dan hiduplah dalam kebebasan

Lingkupi diri dengan cinta, dan hiduplah dalam kebaikan.

Lingkupi diri dengan cahaya, dan hiduplah dalam terang yang menerangi.

Siapa tokoh yang anda jadi pengagumnya? Siapapun beliau, saya yakin sosoknya adalah sosok luar biasa yang telah berhasil menjadi teladan bagi banyak sekali orang. Sang tokoh ini, pastilah memberikan manfaat besar bagi hidup dan kehidupan banyak orang. Baik ketika beliau masih hidup, ataupun ketika beliau telah tiada. Jadilah ia manusia abadi dalam makna yang hakiki.

Bagaimana beliau-beliau itu melakukannya?

Maka tahapan kehidupan mereka sangat layak untuk kita amati, teliti dan teladani. Pembelajaran saya tentang jalan kehidupan mereka menemukan empat tahap kehidupan. Tahap pertama adalah hidup yang aman. Tahap kedua adalah hidup yang bebas. Tahap ketiga hidup yang baik. Dan tahap keempat hidup yang terang dan menerangi.

Tahap pertama – hidup yang aman – adalah tahap paling rendah. Di hidup ini, kita memang aman. Aman secara finansial, fisik, sosial, emosional bahkan spiritual. Aman secara finansial kita dapat dari pekerjaan atau bisnis yang bagus. Pendapatan kita bagus bahkan terus meningkat. Secara fisik kita sehat. Terlindung dalam tempat tinggal yang baik. Kalaupun sakit, kekuatan finansial kita bisa menanggulanginya. Secara sosial, kita disenangi teman-teman, tetangga, rekan kerja / bisnis. Siapapun yang mengenal kita akan menyebut kita sebagai orang baik. Secara emosional, kita bisa mengendalikan emosi dengan baik. Bila pun situasi membuat kita marah, maka ada orang yang bisa kita marahi dan tidak melawan. Kekecewaan kita benar-benar diperhatikan orang lain. Secara spiritual, kita beribadah dengan patuh.

Lalu apa ada yang salah dengan hidup yang aman seperti itu? Bukankah itu keinginan banyak orang? Tentu tidak salah. Hanya tidak layak saja. Kenapa? Karena semua hal-hal yang mengamankan itu berasal dari ketakutan. Kita mengamankan finansial, karena takut menderita. Kita berolahraga karena takut sakit. Kita baik pada lingkungan, karena takut dimusuhi dan seterusnya. Maka sesuatu yang didapat berdasar ketakutan, kita pun akan terus dilanda ketakutan kehilangan hal-hal itu. Maka jadilah kita manusia yang takut kehilangan harta. Takut tua dan sakit. Takut dimusuhi. Takut gagal dan kecewa. Takut dosa. Dan sebagainya. Hal ini tidak salah. Hanya tidak layak untuk manusia semulia kita. Kita layak atas hidup yang lebih baik dari itu.

Nah, hidup yang lebih baik dari hidup aman adalah hidup bebas. Bebas dari apa? Bebas dari segala macam ketakutan. Bebas dari semua belenggu material. Apa hebatnya? Hebatnya adalah anda bisa menikmati apapun yang ada pada anda. Misalnya uang. Bila anda punya uang, tapi takut hilang, maka anda tidak bisa benar-benar menikmati uang itu. Uang yang anda takuti kehilangannya, justru akan memenjara anda. Anda dilemahkan oleh ketakutan anda sendiri. Dan ketika anda terlepas dari ketakutan itu, maka anda mengambil alih kekuatan dari ketakutan anda. Maka jadilah anda pribadi yang kuat. Kekuatan itu yang membuat anda dapat hidup dalam kebebasan.

Kebebasan itu sangat berharga. Bangsa Indonesia rela mengorbankan harta, keluarga, tenaga, pikiran bahkan jiwa untuk kebebasan itu. Karena perjuangan para pahlawan itu lah kita menjadi bangsa yang merdeka. Bebas dari penjajahan bangsa lain. Kebebasan adalah prasyarat kemajuan. Tak ada kemajuan tanpa kebebasan. Demikian juga dengan kita secara personal. Kemajuan dalam kualitas diri kita hanya bisa dimulai bila kita telah kuat dan bebas. Kualitas yang dimaksud bukan kualitas hal-hal material. Tapi adalah kualitas jiwa. Kualitas kesadaran kita.

Kekuatan menghasilkan kebebasan. Tapi kebebasan pun bisa kebablasan. Itu sebab kebebasan itu harus dibatasi. Kebebasan yang tak terbatas hanya akan mengarah pada keburukan. Apa batasnya? Batasnya adalah kebaikan. Dan sesungguhnya hanya dalam batas kebaikan lah kita bisa benar-benar hidup bebas. Maka kebebasan yang dibatasi kebaikan akan menimbulkan cinta. Cinta ini kekuatan yang mengarah hanya pada kebaikan. Hidup kita menjadi hidup yang baik. Hidup yang terlepas dari segala ketakutan. Hidup yang tak terikat oleh materi. Hidup yang bermanfaat bagi banyak orang.

Hidup baik penuh cinta adalah pintu gerbang bagi hidup yang terang dan menerangi. Ketika hidup kita hanya untuk kebaikan, maka kita menjadi pribadi yang bercahaya. Cahaya kita bukan hanya menerangi jalan kita, tapi juga menerangi dan menunjukkan jalan bagi sesama. Kenapa? Karena bila kita tak punya cahaya, kita tak bisa menerangi orang lain. Bila cahaya yang kita miliki tidak terang, maka jalan kita pun remang-remang. Karenanya kita butuh cahaya yang terang benderang. Cahaya yang menerangi hidup dan kehidupan banyak orang, bukan hanya ketika kita hidup, tapi juga ketika kita telah tiada. Apakah cahaya itu? Cahaya itu punya tiga nama. Pertama, kekuatan yang membebaskan. Kedua, cinta yang membaikkan hidup kita. Ketiga, solusi yang memperbaiki kehidupan. Perkataan dan tindakan kita menjadi solusi bagi masalah-masalah banyak orang.

Maka jadilah kita pribadi yang sama dengan tokoh-tokoh yang kita kagumi. By : Supardi Lee

Sahabat

Belajar dan Berkembang dalam Persahabatan

Ada kalimat mengatakan bahwa sahabat itu seperti sebuah keluarga. Tetapi buat saya pribadi sahabat itu tidak sama dengan keluarga.

Pada saat kita lahir kita tidak bisa memilih di keluarga mana kita ingin dilahirkan.

Kita tidak bisa memilih bahwa kita ingin dilahirkan oleh Ibu yang cantik, muda, mampu mendengarkan dengan baik atau penyayang dengan penuh ketulusan.

Kita tidak bisa memilih ingin memiliki Bapak yang kaya, tenar dan ternama atau baik hati. Kita tidak bisa memilih ingin kakak atau adik yang seperti apa, serta tidak bisa pula memilih ingin paman atau bibi yang seperti kehendak kita.

Kita nota bene terlahir dalam keluarga yang memang "ditakdirkan" untuk menjadi keluarga kita.

Beda dengan sahabat.
Kita mungkin bertemu sahabat kita di sekolah.
Kita mungkin bertemu sahabat kita di lingkungan rumah.
Kita mungkin bertemu sahabat kita di tempat olahraga.
Kita mungkin bertemu sahabat kita di tempat dugem.
Atau bahkan mungkin secara "kebetulan" bertemu dengan sahabat kita di salah satu acara tak terduga.

Dengan sahabat kita, pertemuan pertama mungkin belum menjadikan kita sebagai sahabat.
Butuh waktu untuk menjalin jalinan ikatan yang ada.
Mungkin membutuhkan beberapa pertemuan untuk kemudian merasa clicked dan cocok satu sama lain.
Membutuhkan waktu yang lebih lama lagi bahkan mungkin untuk pada akhirnya satu sama lain bisa saling menceritakan rahasia masing-masing.

Ketika semua ini tidak berjalan dengan mulus, kita bisa saja "memutuskan" untuk tidak bersahabat dengannya and simply walk away.
Toh kita tidak memiliki ikatan apapun, seperti ikatan keluarga.
Toh kita tidak terlahir dengan sabahat itu, seperti kita terlahir dengan keluarga kita.
Sehingga dengan kata lain, kita pada dasarnya bisa memilih sahabat kita, tidak seperti dengan keluarga.

Lalu kalau begitu apa yang menyatukan seluruh sahabat-sahabat yang ada di dunia ini ya?

Apakah kecocokan diantara mereka?
Apakah rentang waktu panjang yang telah terjalin?
Apakah kondisi yang ada?

Dalam film animasi Madagascar, alkisah ada empat sahabat yang terbentuk akibat kesamaan lokasi.

Mereka berempat sama-sama ditempatkan di Central Park Zoo dengan kandang yang berdekatan satu sama lain.

Seperti layaknya individu dengan beragam keunikan masing-masing, ke empat sahabat binatang ini pun memiliki sifat yang berbeda satu sama lain.

Ada Gloria, si kuda nil betina yang dilahirkan di Central Park Zoo dan diceritakan sebagai kuda nil yang cantik nian, menjadi pujaan banyak kuda nil lain, independen, pandai dan tahu apa yang ia inginkan serta bagaimana memperoleh keinginannya.

Kemudian ada pula Melman. Seekor jerapah yang menderita Hipokondriak (salah satu gangguan psikologis, dimana penderita selalu merasa ada yang salah pada dirinya secara fisik sehingga berulang kali memeriksakan dirinya ke dokter, walaupun kemudian dokter tidak menemukan ada yang salah pada dirinya). Sebelum ditransfer ke Central Park Zoo, Melman dibesarkan di Bronx Zoo yang mengakibatkan ia kemudian merasa lebih tahu "dunia luar" dibandingkan ketiga temannya.

Lalu Marty sang kuda zebra yang penuh mimpi dan berjiwa petualang. Dia terus-menerus berpikir mengenai dunia di luar Central Park Zoo dan tergelitik untuk mengetahui bagaimana rasanya tinggal di hutan lebat. Akibat dirinya pulalah maka keempatnya lalu (dengan segala kekonyolan yang ada) sukses keluar dari Central Park Zoo untuk kemudian memulai petualangan yang tak terpikirkan sebelumnya.

Terakhir adalah Alex. Sejak dilahirkan Alex sudah terlahir untuk menjadi tenar. Ia terlahir dari seorang Ayah dan Ibu yang merupakan pemimpin sebuah suku yang terpandang. Ketika ia kemudian mengalami kesialan tertangkap oleh seorang pemburu yang menjualnya ke Central Park Zoo, ia pun tidak lantas kehilangan pamor. Ia menjadi pusat perhatian di kebun binatang tersebut akibat kelihaiannya berdansa. Ia selalu menjadi Raja di segala tempat.

Hubungan persahabatan di antara mereka tidak berjalan mulus begitu saja.

Mereka kadang mengeluhkan kecenderungan Melman yang terus-menerus meributkan kondisi kesehatannya dan mengganggu saja dengan segala keluhan ceritanya.

Mereka juga kadang pusing dengan Gloria yang bersikap sok pintar dengan segala kemanjaannya.

Mereka pun akhirnya harus "terjun bebas" terpaksa keluar dari zona kenyamanan mereka di Central Park Zoo akibat mengikuti jejak Marty.

Dan tentunya, mereka seringkali mual dan sebal dengan sikap Alex yang terus-menerus merasa dirinya Raja sehingga berhak untuk selalu memperoleh perhatian dari setiap umat yang mereka temui di perjalanan pertualangan mereka.

Pertikaian tidak terelakan.
Gerutuan ada berulang kali.
Pergumulan bahkan sempat terjadi.
Dan pada satu titik mereka siap untuk meninggalkan satu sama lain.
Mereka siap untuk memilih sahabat lain.

Disinilah menurut saya letak ujian sebuah persahabatan.
Dari sebuah film animasi konyol kita justru jadi mampu untuk belajar banyak mengenai persahabatan.


Ketika orang yang ada dalam lingkungan persahabatan kita rasanya tidak layak (lagi) untuk menyandang titel sebagai sahabat kita, apa yang kemudian akan kita lakukan????

Pada titik inilah bagi saya juga kebesaran hati dan kemauan semua sahabat terkait untuk saling jujur, berbagi, introspeksi diri dan belajar untuk berubah menjadi teruji.

Saya selalu percaya bahwa dalam segala krisis TIDAK PERNAH ada HANYA salah satu pihak yang bersalah.
Mau seberapa besar atau kecil porsinya, semua pihak memiliki kontribusi dalam krisis tersebut.

Jika saja, ketika itu Alex, sang Raja tidak mau berbesar hati mengakui betapa congkak dirinya selama ini, mungkin ke empat sahabat tersebut sudah bubar jalan.

Jika saja, ketika itu Marty tidak mau berbesar hati memaafkan Alex, mungkin cerita persahabatan Madagascar sudah berakhir total.

Jika saja ketika itu baik Melman maupun Gloria tidak memiliki niat yang tulus untuk saling membuka mata dan bersikap jujur mengakui porsi masing-masing dalam krisis yang terjadi, mungkin kita tidak akan lagi melihat persahabatan diantara mereka.

Buat saya pribadi, dan ini benar-benar pengalaman dan pernyataan pribadi saya, sahabat bisa terus berjalan bersama tanpa mengenal jarak, waktu dan kondisi karena adanya toleransi serta keterbukaan di antara mereka serta keinginan yang cukup untuk tetap bersama.

Saya tidak menyarankan tentunya untuk terus bersama dengan seseorang bertitel sahabat jika hubungan tersebut sudah saat tidak sehat dan satu sama lain saling menyakiti setelah berjalan sekian lama dan sudah berulang-ulang kali proses rekonsiliasi yang terjadi gagal tanpa membuahkan perubahan positif yang signifikan.

Kalau demikian kondisinya, tentu mungkin akan lebih baik jika para sahabat tersebut mulai berpikir memilih jalurnya masing-masing.

Namun kalau katakanlah kita baru saja bertemu dengan orang tersebut dan baru saja mau memulai merintis hubungan persahabatan, kemudian ada krisis yang terjadi, lalu tanpa tedeng aling-aling asyik saja memutuskan hubungan yang ada, waduh.

Pertanyaannya mungkin hanya dua :

Kita yang tidak mau membuka diri untuk mencoba berusaha dahulu mempertahankan hubungan yang ada atau memang orang tersebut sedemikian tidak bergunanya untuk diperjuangkan?

Tetapi kalau rentang waktu untuk mengenal satu sama lain masih dalam hitungan jari, darimana kita tahu secara pasti bahwa orang tersebut memang tidak layak untuk dipertahankan????!?

Siapa kah kita sebegitu congkaknya dalam jarak waktu super duper pendek tersebut dapat memutuskan bahwa orang tersebut layak atau tidak layak untuk menjadi sahabat kita???

Kita memang memiliki hak untuk memilih siapa sahabat kita.

Masalahnya sesudah kita memilih apakah kemudian kita mau mempertahankannya?

Banyak kumpulan sahabat yang mungkin baru beberapa bulan "terbentuk" atau mungkin juga sudah sekian lama terbentuk, bubar jalan begitu saja karena beragam faktor.

Ketika itu terjadi, pertanyaannya adalah apakah kita mau berjuang untuk mencoba terlebih dahulu memperbaiki kondisi yang ada atau malah dengan gampangnya memisahkan diri dari orang yang dulu sempat masuk daftar sahabat kita?

Toh kita tidak terlahir dengan sahabat itu kan?

So dengan "mudah" pula kita bisa say bye bye dong.

Tetapi yang perlu disadari kalau memang kita selalu dengan mudahnya say bye bye ke setiap orang yang kayaknya tidak cocok dengan kita, lalu kapan kita pernah bisa benar-benar dekat dengan orang lain ya?

Kapan kita benar-benar bisa belajar berkembang menjadi individu yang lebih baik?
Saya jujur tidak ingin berteman dengan individu yang membuat saya nyaman terus-menerus.

Saya jujur memilih untuk bersahabat dengan individu yang mampu untuk membuat saya memperluas zona kenyamanan saya dan mendorong saya untuk belajar lagi, lagi serta lagi terus-menerus tanpa henti.

Saya pernah beradu mulut dengan salah seorang sahabat saya.
Saya pernah meninggalkan sahabat saya yang lain seorang diri dalam sebuah pertikaian di antara kami.
Saya pernah stop mogok bicara selama beberapa bulan dengan sahabat saya pula akibat sebuah krisis.
Saya pernah (dengan jujur mengakui) meng-abuse sahabat saya dengan segala sifat kekanak-kanakan saya ketika masih SMA Dan entah bagaimana ia bertahan melewati itu semua & stand by me until today! Mamma mia!

Hidup ini seperti sebuah lingkaran kebaikan.
Ada orang yang pernah memberikan kita sebuah kebaikan.
Mengapa kita tidak meneruskan kebaikan tersebut kepada orang lain.
Tak terhitung sudah kebaikan yang diberikan oleh sahabat-sahabat saya kepada saya, sehingga rasanya dengan ikhlas dan penuh suka cita saya pun ingin membaginya dengan setiap orang yang saya temui.

Saya berusaha untuk tidak bersikap pemilih.

Memilih mana yang berhak untuk mendapatkan kebaikan saya dan mana yang tidak.

Karena saya tidak mampu membayangkan jadi apa saya hari ini kalau saja ketika itu sahabat saya memutuskan untuk berbuat kebaikan TETAPI TIDAK kepada saya.

Dalam hidup ini pun tidak ada yang permanen.

Satu-satunya yang permanen justru perubahan itu sendiri.

Sahabat yang kita miliki saat ini mungkin sudah berubah jauh dari sahabat yang dulu kita pertama kali kenal.

Sahabat yang kita miliki pun mungkin akan pergi jauh sekali akibat dari perubahan hidupnya.

Dalam perjalanan persahabatan yang kita miliki, segala perubahan mungkin terjadi.

Pertanyaannya hanya seberapa kokoh persahabatan yang telah terbentuk.

Seberapa besar kita mau untuk berjiwa besar sama-sama saling menyesuaikan dengan kondisi yang berubah.

Banyak kemudian yang enggan untuk membuka diri, sadar maupun tidak sadar, karena takut akan perubahan tersebut.

Tetapi prinsip saya tetap sama, tidak peduli lima menit atau lima puluh tahun, saya lebih baik membuka diri mengenal orang tersebut, belajar selama saya masih diijinkan untuk belajar bersamanya, daripada saya menutup diri dan tidak mengenal orang tersebut sama sekali.

Ketika mungkin perubahan mungkin tak terelakkan serta harus terjadi, saya malah merasa perubahan tersebut adalah wadah bagi saya untuk belajar hal yang baru.

Membentuk sebuah kelompok sahabat memang adalah hal yang sangat mudah.
Mempertahankannya adalah hal yang lain lagi.

Saya bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang ada tidak hanya ketika saya bersikap manis, namun juga ketika saya sedang menunjukkan sisi setan saya.

Saya bersyukur memiliki sahabat tidak hanya ketika saya sedang tertawa namun juga ketika saya harus menangis meraung-raung.

Saya bersyukur memiliki sahabat yang mampu dengan pedasnya menunjuk-nunjuk saya ketika saya dengan bodohnya bersikap.

Saya bersyukur saya masih mampu untuk saling terbuka dengan sahabat dan belajar bersama-sama untuk terus menjadi individu yang lebih baik.

Saya bersyukur memiliki sahabat yang menjadi pasangan saya untuk belajar dan berkembang.

Seperti saat ini, karena sahabat-sahabat saya lah maka saya terinspirasi untuk menulis kembali.
Kegiatan yang saya cintai dan sayangnya mungkin sudah dua bulan ini vakum saya lakukan.

Karena mereka lah jari-jari saya kembali tergerak untuk mengasah kemampuan merangkai kata. By : Liza Marielly Djaprie

Tentang penulis : Liza Marielly Djaprie adalah seorang psikolog klinis dan juga terapis. Selain aktif sebagai penulis, trainer dan konsultan psikologi, Liza saat ini juga berpraktek di salah satu klinik kesehatan jiwa di Dharmawangsa.


Tanda Anda Harus Berhenti dari Kantor

Dalam kehidupan sosial, tentunya Anda pernah mengalami sebuah masalah. Tidak terkecuali saat Anda berada di kantor.

Di kantor, kadang Anda mengalami masalah yang dilematis. Hal tersebut sering membuat Anda bingung apakah akan bertahan di kantor atau harus mengundurkan diri. Banyak orang yang tidak bisa mengambil keputusan besar tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan sebelum mengambil keputusan mengundurkan diri.

Suasana Kantor
Setiap hari, Anda menghabiskan lebih dari sembilan jam untuk bekerja di kantor. Lebih dari sepertiga hari Anda habiskan di kantor sehingga diperlukan suasana yang kondusif.

Banyak hal yang membuat suasana kantor menjadi kondusif, salah satunya adalah rekan kerja Anda. Jika Anda memiliki rekan kerja yang menjengkelkan, menggangu atau mencuri ide Anda, sudah pasti sulit bagi Anda untuk merasa nyaman dan bekerja dengan tenang. Apalagi jika ia sering mengatakan hal buruk kepada orang lain di belakang Anda, khususnya pada bos. Bila hal itu membuat Anda tidak nyaman, segera cari solusinya. Jika masalah ini tak juga berujung, boleh saja anda mulai mencari kesempatan di tempat lain.

Bos yang Menyebalkan
Hal lain yang membuat suasana kantor tidak kondusif adalah mempunyai seorang bos yang menyebalkan. Hubungan baik Anda dengan bos merupakan pengaruh yang besar terhadap kesuksesan Anda.

Bos dan Anda seharusnya memiliki sikap saling menghargai dan saling membutuhkan. Jika ada yang bersikap semena-mena, hal tersebut bisa mengganggu hubungan kerja Anda.

Yang juga tak kalah penting adalah rasa percaya. Jika Anda dan bos Anda sudah tidak saling percaya dan tidak bisa bekerja sama, berarti mungkin sudah saatnya Anda mencari bos baru.


Terampasnya Waktu
Setiap orang bekerja untuk hidupnya, bukan hidup untuk bekerja. Terkadang sebuah perusahaan benar-benar merampas hidup Anda dengan mewajibkan lembur setiap hari hingga larut malam. Usai lembur pun Anda harus kembali bekerja sepeti biasa. Belum lagi ditambah lembur saat akhir pekan.

Lembur adalah hal biasa dalam pekerjaan. Tapi jika lembur dilakukan hampir setiap hari, maka itu namanya rutinitas.

Pikirkan kehidupan lain selain pekerjaan Anda. Jangan biarkan pekerjaan membuat Anda kehilangan kehidupan sosial dan membuat Anda menjadi robot. Jika rutinitas lembur tersebut semakin merampas waktu anda dan keluarga, ada baiknya memikirkan untuk mencari pekerjaan lain.

Comfort Zone/Career Stuck
Saat semua kegiatan di kantor dapat Anda selesaikan dengan mudah, mungkin Anda berada pada comfort zone. Pada zona ini, terkadang rasa bosan datang menghampiri. Apalagi jika sepertinya tidak ada prospek untuk kenaikan jabatan. Mencari pekerjaan baru bisa menjadi solusi bagi Anda yang senang dengan tantangan baru.

Jika Anda membiarkan diri terlalu lama dalam situasi ini maka yang merugi adalah diri Anda sendiri. Karena kurang tantangan maka kreativitas dan produktivitas akan menurun. Kemampuan sosial dan intelegensi Anda pun tak akan banyak mengalami perkembangan berarti jika terjebak dalam situasi ini.

Bicarakan kepada atasan untuk meminta tantangan baru. Jika tidak memungkinkan, cari tantangan lain di tempat kerja baru.

Bekerja seharusnya bukan hanya sebagai tempat mencari uang. Bekerja seharusnya juga bisa menjadi tempat untuk mengembangkan diri, menambah pengetahuan, dan mengasah kemampuan sosial.

Jika tempat kerja Anda hanya menimbulkan stres dan membuat suasana di rumah menjadi tidak menyenangkan, sepertinya Anda perlu memikirkan untuk mencari lingkungan kerja baru. Untuk anda yang sudah berkeluarga pikirkan langkah Anda lebih matang lagi dan konsultasikan dengan lebih banyak pihak. (Angga Firmanza)

28 September 2010

Mengatasi Rasa Malas

Tiga Tips untuk Menghindari Kemalasan

Rasanya banyak diantara kita yang punya "penyakit" suka menunda-nunda pekerjaan. Penyakit ini, yang sebetulnya adalah kebiasaan, seringkali disebabkan karena kita malas mengerjakan sesuatu. Malas bangun dari tempat tidur, malas pergi olahraga, malas menyelesaikan tugas kantor, dll.

Menurut penelitian, kebiasaan malas merupakan penyakit mental yang timbul karena kita takut menghadapi konsekuensi masa depan. Yang dimaksud dengan masa depan ini bukan hanya satu atau dua tahun kedepan tetapi satu atau dua menit dari sekarang. Contohnya saja ketika Anda malas dari bangun, Anda akan berkata dalam hati: "Satu menit lagi saya akan bangun", tetapi kenyataannya barangkali Anda akan berlama-lama di tempat tidur sampai akhirnya memang waktunya tiba untuk siap-siap pergi ke kantor.

Kebiasaan malas timbul karena kita cenderung mengaitkan masa depan dengan persepsi negatif. Anda menunda-nunda pekerjaan karena cenderung membayangkan setumpuk tugas yang harus dilakukan di kantor. Belum lagi berhubungan dengan orang-orang yang Anda tidak sukai, misalnya.

Sayangnya, menunda-nunda pekerjaan pada akhirnya akan mengundang stress karena mau tidak mau satu saat Anda harus mengerjakannya. Di waktu yang sama Anda juga mungkin punya banyak pekerjaan lain.

Dalam beberapa hal, Anda pun mungkin akan kehilangan momen untuk berkembang ketika Anda mengatakan "tidak" terhadap sebuah kesempatan –Anda malas bertindak karena bayangan negatif tentang hal-hal yang memberatkan didepan.

Di artikel ini saya ingin memberikan beberapa tips untuk mengatasi rasa malas. Tips ini bisa Anda praktekkan di tempat kerja ataupun lingkungan keluarga:

Ganti "Kapan Selesainya" dengan "Saya Mulai Sekarang"

Apabila Anda dihadapkan pada satu tugas besar atau proyek, Anda sebaiknya JANGAN berpikir mengenai rumitnya tugas tersebut dan membayangkan kapan bisa diselesaikan. Sebaliknya, fokuslah pada pikiran positif dengan membagi tugas besar tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan menyelesaikannya satu demi satu.

Katakan setiap kali Anda bekerja: "Saya mulai sekarang".
Cara pandang ini akan menghindarkan Anda dari perasaan terbebani, stress, dan kesulitan. Anda membuat sederhana tugas didepan Anda dengan bertindak positif. Fokus Anda hanya pada satu hal pada satu waktu, bukan banyak hal pada saat yang sama.

Ganti "Saya Harus" dengan "Saya Ingin"

Berpikir bahwa Anda harus mengerjakan sesuatu secara otomatis akan mengundang perasaan terbebani dan Anda menjadi malas mengerjakannya. Anda akan mencari seribu alasan untuk menghindari tugas tersebut.

Satu tip yang bisa Anda gunakan adalah mengganti "saya harus mengerjakannya" dengan "saya ingin mengerjakannya". Cara pikir seperti ini akan menghilangkan mental blok dengan menerima bahwa Anda tidak harus melakukan pekerjaan yang Anda tidak mau.

Anda mau mengerjakan tugas karena memang Anda ingin mengerjakannya, bukan karena paksaan pihak lain. Anda selalu punya pilihan dalam kehidupan ini. Tentunya pilihan Anda sebaiknya dibuat dengan sadar dan tidak merugikan orang lain. Intinya adalah tidak ada seorang pun di dunia ini yang memaksa Anda melakukan apa saja yang Anda tidak mau lakukan.

Anda Bukan Manusia Sempurna

Berpikir bahwa Anda harus menyelesaikan pekerjaan sesempurna mungkin akan membawa Anda dalam kondisi mental tertekan. Akibatnya Anda mungkin akan malas memulainya. Anda harus bisa menerima bahwa Anda pun bisa berbuat salah dan tidak semua harus sempurna.

Dalam konteks pekerjaan, Anda punya kesempatan untuk melakukan perbaikan berulang kali. Anda selalu bisa negosiasi dengan boss Anda untuk meminta waktu tambahan dengan alasan yang masuk akal. Mulai pekerjaan dari hal yang kecil dan sederhana, kemudian tingkatkan seiring dengan waktu. Berpikir bahwa pekerjaan harus diselesaikan secara sempurna akan membuat Anda memandang pekerjaan tersebut dari hal yang besar dan rumit.

Saya harap tulisan ini berguna. Kemalasan merupakan sesuatu yang normal dalam hidup Anda. Karena dia normal maka dia pun bisa diatasi. Tiga tips diatas bisa menjadi awal untuk berpikir dan bertindak berbeda dari biasanya sehingga Anda tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang hanya karena malas mengerjakannya. (by : Al Falaq Arsendatama)

Berhenti Berusaha dan Izinkan Perubahan

Ubah Sikap dengan Mengatur Irama Hidup

Apa sesungguhnya yang membuat seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu?

Di pagi hari saat Anda baru membuka mata, barangkali sempat hinggap rasa malas untuk pergi ke kantor. Tapi sebaliknya saat Anda menyalurkan hobi rasanya selalu ada semangat dan motivasi untuk melakukannya.

Intinya motivasi timbul saat kita menyukai apa yang kita kerjakan. Ada energi yang bekerja tanpa rasa lelah dan pamrih. Kebalikannya, motivasi bisa turun dan bahkan hilang ketika kita mulai bosan, lelah dan sebal terhadap apapun yang kita kerjakan.

Biasanya kita merasa termotivasi saat ada tantangan untuk mengerjakan sesuatu yang baru. Bila atasan di kantor memberi Anda tugas baru yang menantang, Anda merasa tergerak untuk mencari ide dan solusi untuk menyelesaikan. Namun pada saat Anda menemukan hambatan seringkali timbul rasa pesimis dan motivasi cenderung turun.

Tentunya kita semua pernah mengalami naik turunnya motivasi. Saat semangat hadir, rasanya apapun bisa kita kerjakan. Namun seringkali kita tidak bisa menghindar dari emosi negatif ketika dihadapkan pada persoalan yang membuat mental kita turun.

Yang ingin kita lakukan bukanlah berusaha sekuat tenaga untuk tetap termotivasi. Alasan pertama, sederhana saja, karena hal itu susah dikerjakan. Kedua, kita ingin mengerti apa sesungguhnya yang membuat mental kita turun dan menampilkan sikap untuk tidak larut kedalamnya.

Mengubah Sikap

Hidup kita penuh dinamika. Kita bekerja, punya keluarga, dan berteman. Emosi kita dalam keseharian mungkin naik turun, demikian juga motivasi. Hidup dengan motivasi bukan berarti selalu harus berpikir positif setiap waktu. Ada saat dimana kita ingin mengizinkan diri kita "tidak termotivasi" dan berhenti sejenak sambil menyadari apa sesungguhnya yang membuat motivasi kita turun.

Barangkali apa yang saya tulis disini agak berbeda dengan pandangan umum tentang motivasi. Saya pribadi percaya bahwa usaha keras untuk tetap termotivasi hanya membuat diri Anda lelah. Berhenti berusaha dan izinkan diri Anda untuk menerima. Didalam penerimaan itulah justru Anda menyadari kembali apa tujuan Anda dan menentukan sikap apa yang sebaiknya Anda tampilkan.

Mengatur Irama

Dalam dinamika hidup yang Anda ingin lakukan adalah mengatur irama sehingga Anda bisa menerima keberhasilan, kegagalan, kemudahan dan kesulitan apa adanya tanpa penilaian apapun. Dalam praktek sehari-hari, Anda bisa mengatur irama dengan mengelola waktu kerja, istirahat, dan bermain. Izinkan diri Anda untuk melupakan aktititas rutin dan melakukan sesuatu yang benar-benar Anda suka. Ini akan membuat tubuh Anda rileks dan termotivasi untuk berkarya.

Atur juga emosi Anda dengan mengizinkan perasaan positif dan negatif menyatu dalam hidup Anda. Sama seperti Anda membiarkan siang dan malam silih berganti. Tidak ada satu yang lebih baik daripada yang lain. Dua-duanya merupakan bagian dari hidup Anda. Saat emosi negatif hadir, izinkan dan terima itu sebagai bagian hidup Anda. Dengan demikian Anda mengambil alih kendali hidup Anda dan dengan mudah Anda bisa merelakan emosi negatif tersebut untuk pergi.

Kesimpulannya, untuk menjaga motivasi dimulai dengan menerima dinamika hidup apa adanya dan tentukan sikap terbaik yang membawa manfaat bagi tercapainya tujuan Anda. Tidak perlu berusaha keras, cukup mengatur irama dan fleksibel terhadap segala kemungkinan. (by : Al Falaq Arsendatama)

27 September 2010

Baik Pada Orang Lain

Cara anda meraih sukses.

Hatinya remuk. Ia merasa telah melakukan segalanya. Ia berusaha menjadi bos yang baik. Maka ia penuhi kebutuhan staf-stafnya. Para staf butuh meningkatkan kualitas diri. Maka semua stafnya ia ikutkan sebuah pelatihan pengembangan diri. Pelatihan yang terkenal dan mahal. Para staf butuh refreshing. Maka ia ajak semua staf beserta keluarganya berlibur.

Tapi kenapa mereka tak jua meningkat? Kenapa selalu banyak kesalahan di kantornya? Kenapa yang ia ucapkan tak juga dituruti? Kenapa banyak kelalaian terjadi sampai-sampai kantornya kecurian? Kenapa ia harus marah-marah dulu untuk membuat semua orang bekerja dengan benar?

Seorang teman mengeluhkan semuanya itu. Pernahkah hal yang sama terjadi dengan anda? Anda merasa sudah berusaha maksimal untuk orang lain, tapi ternyata harapan anda tak kunjung terpenuhi. Kekecewaan pun meruak di segenap penjuru hati.

Apa yang jadi penyebab semua itu? Saya menemukan jawabannya pada sebuah kisah sederhana.

Seorang pria kaya raya menyiapkan berkantong-kantong emas untuk dibagikan pada yang membutuhkan. Itu adalah usaha dan bukti bahwa ia senang berbagi dan berbuat baik untuk sesamanya. Ia pikir, masalah banyak orang akan selesai dengan emas itu.

Maka ia pun keliling kotanya. Orang-orang menyambutnya dengan gembira. Orang-orang miskin berterima kasih sekali padanya. Banyak yang mencium tangannya. Maka ia pun pulang dengan hati gembira. Niat baiknya disambut luar biasa. Harapannya banyak orang miskin yang akan meningkat kehidupannya. Ia pun terus mengulangi perbuatannya itu. Setiap kali ia melakukannya, setiap kali pula ia pulang dengan hati yang puas dan gembira.

Sampai suatu ketika, sebuah fakta terpampang di depannya. Harapan agar tindakannya membuat orang-orang miskin punya kehidupan yang lebih baik, ternyata tak terbukti. Ia menemukan orang-orang miskin itu tetap miskin. Emas yang ia berikan memang membuat mereka senang dan terbantu. Tapi hanya beberapa hari saja, emas itu sudah habis. Mereka kembali ke kondisi penuh penderitaan. Sampai ia datang membawa emas lagi. Dan itulah yang terjadi. Berulang-ulang. Ia mengira sudah melakukan yang terbaik agar orang-orang miskin itu berubah hidupnya. Rupanya ia keliru.

Maka ia merubah perbuatan baiknya. Emas yang untuk dibagikan ia gunakan untuk membangun pabrik. Ia latih orang-orang miskin sampai terampil dan bisa bekerja dengan baik di pabrik. Pendapatan mereka meningkat. Bahkan mereka jadi senang belajar sendiri. Sang orang kaya pun senang. Niat baiknya berhasil. Maka mulailah berdiri pabrik-pabrik dengan tujuan mulia yang sama.

Menjadi baik di mata orang lain haruslah benar-benar sesuai dengan sudut pandang orang lain. Jangan terjebak dengan sudut pandang kita sendiri. Jangan memberi emas pada orang yang butuh cangkul. Jangan memberi cangkul pada orang yang butuh buku. Jangan memberi buku pada orang yang butuh makan.

Maka ketika kita mau baik di mata orang lain:

* Jadilah setia pada yang tidak ada.

Sangat mudah menyerang dan membicarakan keburukan orang yang tidak ada. Mereka tidak bisa membela diri. Karena itu, siapapun yang tak setia pada yang tidak ada, sesungguhnya mereka adalah orang lemah yang tak punya kekuatan apa-apa. Saudara, jangan pernah membicarakan keburukan siapapun. Teman-teman anda akan berpikir: “Dia membicarakan si Fulan yang tidak ada. Jangan-jangan, dia juga membicarakan keburukanku waktu aku tidak ada”. Bila sudah begini, orang lain tak akan percaya lagi pada anda.

* Tanyakan : “Apa yang bisa saya bantu?”

Sangat mungkin orang lain butuh bantuan. Tapi mereka sungkan memintanya. Maka pertanyaan emas ini benar-benar menunjukkan kesediaan anda untuk membantu orang lain. Dan, karena anda bisa membantu, maka anda sedang menambah tabungan kebaikan pada sesama. Bertanya seperti ini saja sudah menunjukkan kualitas anda. Apalagi bila anda benar-benar membantu dengan kualitas yang terbaik.

* Sensitif pada kebutuhan orang lain.

Mulailah dari hal-hal yang kecil. Mengambil minum bagi teman yang sedang makan. Membawakan barang bawaan teman yang terlalu berat dan banyak. Menyampaikan pesan. Memberi tumpangan pulang. Meng-SMS teman dan menanyakan kabar.

Lalu meningkat ke hal-hal yang lebih besar. Menawarkan pinjaman uang pada teman yang kesusahan. Menyiapkan waktu bagi teman yang butuh curhat. Menengok teman yang sakit. Membantu persiapan pernikahan teman. Dan sebagainya. (By : Supardi Lee)

25 September 2010

KEMAMPUAN MEMAHAMI AYAT-AYAT ALLAH…

Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan." (QS. An-Naml: 93)

Masyarakat zaman sekarang memperlakukan Al Quran berbeda sama sekali dengan tujuan penurunan Al Quran sebenarnya. Di dunia Islam secara umum, sedikit sekali orang yang mengetahui isi Al Quran.

Sebagian di antara mereka sering menyampul Al Quran dengan bagus dan menggantungnya pada dinding rumah, dan orang-orang tua membacanya sekali-sekali. Mereka beranggapan bahwa Al Quran melindungi pembacanya dari "kemalangan dan kesengsaraan". Menurut kepercayaan ini, Al Quran dianggap semacam jimat penangkal bala.

Padahal, ayat-ayat Al Quran menyatakan bahwa tujuan Al Quran diwahyukan sama sekali berbeda dengan yang tersebut di atas. Misalnya, dalam surat Ibrahim ayat ke-52, Allah menyatakan, "(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran." Dalam banyak ayat lain, Allah menegaskan bahwa salah satu tujuan utama diturunkannya Al Quran adalah untuk mengajak manusia bertafakur.

Dalam Al Quran, Allah mengajak manusia agar tidak mengikuti secara buta kepercayaan dan norma-norma yang diajarkan masyarakat, agar merenung dengan terlebih dahulu menyingkirkan segala prasangka, hal tabu, dan batasan yang ada dalam pikiran mereka.

Manusia harus memikirkan bagaimana ia menjadi ada, apa tujuan hidupnya, mengapa ia akan mati, dan apa yang terjadi setelah kematian. Ia hendaknya mempertanyakan bagaimana dirinya dan seluruh alam semesta ini menjadi ada dan bagaimana keduanya terus-menerus ada. Selagi melakukan hal ini, ia harus membebaskan dirinya dari segala ikatan dan prasangka.

Jika seseorang berpikir-dengan membebaskan akal dan nuraninya dari segala ikatan sosial, ideologis, dan psikologis-pada akhirnya ia akan merasakan bahwa seluruh alam semesta, termasuk dirinya, telah diciptakan oleh sebuah kekuatan Yang Mahatinggi. Bahkan ketika mengamati tubuhnya sendiri atau segala sesuatu di alam, ia akan melihat adanya keserasian, perencanaan, dan kebijaksanaan dalam perancangannya.

Al Quran memberikan petunjuk kepada manusia dalam masalah ini. Dalam Al Quran, Allah memberitahukan apa yang hendaknya kita renungkan dan kita amati. Dengan cara perenungan yang diajarkan dalam Al Quran, seseorang yang beriman kepada Allah akan dapat lebih baik merasakan kesempurnaan, hikmah abadi, ilmu, dan kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya. Jika seorang beriman mulai berpikir sesuai dengan cara-cara yang diajarkan dalam Al Quran, ia pun segera menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah sebuah tanda karya seni dan kekuasaan Allah, dan bahwa "alam semesta adalah karya seni, dan bukan pencipta karya seni itu sendiri." Setiap karya seni memperlihatkan keahlian pembuatnya yang khas dan unik, serta menyampaikan pesan-pesannya.

Dalam Al Quran, manusia diseru untuk merenungi berbagai kejadian dan benda alam, yang dengan jelas memberikan kesaksian akan keberadaan dan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dalam Al Quran, segala sesuatu yang memberikan kesaksian ini disebut "tanda-tanda", yang berarti "bukti yang teruji kebenarannya, pengetahuan mutlak, dan pernyataan kebenaran." Jadi, tanda-tanda kebesaran Allah terdiri atas segala sesuatu di alam semesta ini yang memperlihatkan dan menyampaikan keberadaan dan sifat-sifat Allah. Orang-orang yang dapat mengamati dan senantiasa ingat akan hal ini akan memahami bahwa seluruh jagat raya tersusun hanya dari tanda-tanda kebesaran Allah.

Sungguh, adalah kewajiban bagi manusia untuk dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah…. Dengan demikian, orang tersebut akan mengenal Sang Pencipta yang menciptakan dirinya dan segala sesuatu yang lain, menjadi lebih dekat kepada-Nya, menemukan makna keberadaan dan hidupnya, dan menjadi orang yang beruntung dunia dan akhirat.

Buku ini tidak akan mampu memuat semua tanda kebesaran Allah yang tak terhitung jumlahnya, tidak juga buku yang lain. Segala sesuatu, tarikan napas manusia, perkembangan politik dan sosial, keserasian kosmis di alam semesta, atom yang merupakan materi terkecil, semuanya adalah tanda-tanda kebesaran Allah, dan semuanya berjalan di bawah kendali dan pengetahuan-Nya, menaati hukum-hukum-Nya. Menemukan dan mengenal tanda-tanda (ayat-ayat) Allah memerlukan upaya pribadi. Setiap orang akan menemukan dan memahami ayat-ayat Allah sesuai dengan tingkat pemahaman dan nalarnya masing-masing.

Tentu saja, ada panduan yang mungkin membantu. Pertama-tama, orang dapat mempelajari pokok-pokok tertentu yang ditekankan dalam Al Quran, agar ia memperoleh mentalitas berpikir yang menjadikan dirinya dapat merasakan seluruh alam semesta ini sebagai penjelmaan dari segala ciptaan Allah.

Buku ini ditulis untuk mengetengahkan beberapa masalah yang dianjurkan Al Quran agar kita renungkan. Tanda kebesaran Allah di alam semesta ditegaskan dalam surat An-Nahl:

"Dia-lah Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanaman-tanaman; zaitun, korma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami-(nya), dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan Dia-lah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS. An-Nahl, 16: 10-17)

Dalam Al Quran, Allah mengajak kaum berakal untuk memikirkan hal-hal yang biasa diabaikan orang lain, atau yang biasa dikatakan sebagai hasil "evolusi", "kebetulan", atau "keajaiban alam" belaka.

Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),

"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali 'Imran:191)

Sebagaimana kita lihat dalam ayat-ayat ini, kaum berakal melihat tanda kebesaran Allah dan berusaha memahami ilmu, kekuasaan, dan kreasi seni-Nya yang tak terhingga ini dengan mengingat dan merenungkan hal-hal tersebut, sebab ilmu Allah tak terbatas dan ciptaan-Nya sempurna tanpa cacat.

Bagi orang yang berakal, segala sesuatu di sekeliling mereka adalah tanda penciptaan.

"Sesungguhnya, Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik." (QS. Al Baqarah: 26)

Biografi Laksamana Cheng Ho

Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao, berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.

Dalam Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang menyinggung tentang asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa dia berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao. Nama itu dalam dialek Fujian biasa diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po. Sumber lain menyebutkan, Ma He (nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen.
Saat Ma He berumur 12 tahun, Yunnan yang dikuasai Dinasti Yuan direbut oleh Dinasti Ming. Para pemuda ditawan, bahkan dikebiri, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Tak terkecuali Cheng Ho yang diabdikan kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing).

Di depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil menunjukkan kehebatan dan keberaniannya. Misalnya saat memimpin anak buahnya dalam serangan militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berpostur tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah melibas lawan-lawannya. Akhirnya Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar.
Ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar permintaan yang tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera. Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang dikenal berani, kaisar oke saja.

Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.
Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (atau Hang Liu), dikirim oleh kaisar Tiongkok untuk menikahi Raja Malaka (Sultan Mansur Shah).

Pada tahun 1424, kaisar Yongle wafat. Penggantinya, Kaisar Hongxi (berkuasa tahun 1424-1425, memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (berkuasa 1426-1435).

Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.
Model kapal itu menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal serta pelayaran modern di masa kini. Desainnya bagus, tahan terhadap serangan badai, serta dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong canggih seperti kompas magnetik.

Cheng Ho melakukan ekspedisi ke berbagai daerah di Asia dan Afrika, antara lain:Vietnam
Taiwan
Malaka / bagian dari Malaysia
Sumatra / bagian dari Indonesia
Jawa / bagian dari Indonesia
Sri Lanka
India bagian Selatan
Persia
Teluk PersiaArab
Laut Merah, ke utara hingga Mesir
Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik

Karena beragama Islam, para temannya mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin melakukan Haji ke Mekkah seperti yang telah dilakukan oleh almarhum ayahnya, tetapi para arkeolog dan para ahli sejarah belum mempunyai bukti kuat mengenai hal ini. Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan menggunakan kapal armadanya.

Armada ini terdiri dari 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal laut. Terdiri dari kapal besar dan kecil, dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan buah. Kapal terbesar mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160 feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok. Selama berlayar mereka membawa perbekalan yang beragam termasuk binatang seperti sapi, ayam dan kambing yang kemudian dapat disembelih untuk para anak buah kapal selama di perjalanan. Selain itu, juga membawa begitu banyak bambu Tiongkok sebagai suku cadang rangka tiang kapal berikut juga tidak ketinggalan membawa kain Sutera untuk dijual.

Dalam ekspedisi ini, Cheng Ho membawa balik berbagai penghargaan dan utusan lebih dari 30 kerajaan - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke Tiongkok untuk meminta maaf kepada kaisar Tiongkok. Pada saat pulang Cheng Ho membawa banyak barang-barang berharga diantaranya kulit dan getah pohon Kemenyan, batu permata (ruby, emerald dan lain-lain) bahkan beberapa orang Afrika, India dan Arab sebagai bukti perjalanannya. Selain itu juga membawa pulang beberapa binatang asli Afrika termasuk sepasang jerapah sebagai hadiah dari salah satu Raja Afrika, tetapi sayangnya satu jerapah mati dalam perjalanan pulang.

Majalah Life menempatkan Cheng Ho sebagai nomor 14 orang terpenting dalam milenium terakhir. Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.

Cheng Ho adalah penjelajah dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah dunia yang pernah tercatat. Juga memiliki kapal kayu terbesar dan terbanyak sepanjang masa hingga saat ini. Selain itu beliau adalah pemimpin yang arif dan bijaksana, mengingat dengan armada yang begitu banyaknya beliau dan para anak buahnya tidak pernah menjajah negara atau wilayah dimanapun tempat para armadanya merapat.

Semasa di India termasuk ke Kalkuta, para anak buah juga membawa seni beladiri lokal yang bernama Kallary Payatt yang mana setelah dikembangkan di negeri Tiongkok menjadi seni beladiri Kungfu.

Sebagai orang Hui (etnis di Cina yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk agama Islam sejak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma, nama hazhi dalam bahasa Mandarin memang mengacu pada kata 'haji'.

Bulan Ramadhan adalah masa yang sangat ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7 Desember 1411 sesudah pelayarannya yang ke-3, pejabat di istana Beijing ini menyempatkan mudik ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Dia tenggelam dalam kegiatan keagamaan sampai Idul Fitri tiba.

Setiap kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. "Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam," tulis HAMKA.

Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.

Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar.

Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi terakhir (1431-1433). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah.

Selama hidupnya Cheng Ho memang sering mengutarakan hasrat untuk pergi haji sebagaimana kakek dan ayahnya. Obsesi ini bahkan terbawa sampai menjelang ajalnya. Sampai-sampai ia mengutus Ma Huan pergi ke Mekah agar melukiskan Ka'bah untuknya. Muslim pemberani ini meninggal pada tahun 1433 di Calicut (India), dalam pelayaran terakhirnya.

Cheng Ho dan Indonesia

Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai, ia memberi lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh, yang kini tersimpan di museum Banda Aceh.

Tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, dan menetap di sana. Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.

Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.

Konsep Toleransi Sesama Manusia


Kata 'toleransi' mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Semenjak SD hingga kuliah, kita sudah terbiasa mendengar atau bahkan memahami apa itu Toleransi.

Toleransi sebagai sebuah konsep ideal dalam berkehidupan bermasyarakat, bangsa, dan negara, sayangnya lebih terkesan sebagai sebuah konsep formalitas belaka, yang selalu dihadirkan dalam setiap kurikulum studi kewarganegaraan maupun studi Pancasila.

Sehingga, kita hanya mengetahui belaka tanpa bisa memahami lebih dalam dan menginternalisasi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan nyata. Mungkin ini terlihat pesimistis, tapi kenyataan membuktikan, sudah terlalu banyak kasus-kasus baik kekerasan fisik maupun non fisik yang terjadi karena sikap intoleransi kelompok-kelompok yang berbeda etnis, agama, ideologi dan berbagai macam perbedaan lainnya. Tak jarang pula ratusan bahkan ribuan nyawa melayang, yang sebagian besar disebabkan oleh sikap tidak tolerannya berbagai kelompok yang berbeda.

Terminologi toleransi secara umum diartikan sebagai sebuah term atau istilah dalam konteks sosial, budaya, dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Toleransi juga biasanya diartikan sebagai sikap, perilaku, atau perbuatan yang menerima, mengakui, dan/atau mengenal segala perbedaan yang eksis dalam berbagai kelompok yang majemuk/plural.

Dalam buku “On Toleration”, karangan Michael Walzer, dipaparkan mengenai konsep toleransi secara filosofis, bahwa Toleransi akan selalu dan penting dipergunakan ketika kita dihadapi dalam situasi atau kondisi dimana kita berhadapan dengan orang lain atau kelompok yang berbeda dari kita (Other/Stranger).

Mengapa? Sudah menjadi hal yang natural bagi sebagian besar manusia bahwa setiap berhadapan atau bertemu dengan orang asing atau kelompok lain yang belum pernah dikenal sebelumnya, maka ada kecendrungan kita akan menilai mereka dengan segala pengetahuan yang sebelumnya ada di alam pikiran kita, yang didapat dari pengalaman mengenai obyek tersebut (orang asing atau kelompok lain tersebut).

Pengetahuan dan informasi itu terkadang tidak selalu benar dan obyektif, sehingga kita akan selalu cenderung memberi penilaian negatif atau stereotyping kepada other/stranger tersebut. Hal inilah yang perlu dihindari, karena itu akan mempengaruhi kita dalam bersikap dan berprilaku yang bisa menggiring kearah sikap diskriminatif dan pada akhirnya bisa memicu pada aktualisasi tindak kekerasan dan munculnya konflik hingga pada skala yang besar.

Secara implisit, Walzer menjelaskan bahwa Toleransi memiliki lima level, yaitu dari level bawah – sangat tradisional- hingga yang sangat modern. Pada tahap awal, toleransi bisa dianalogikan ibarat dua kelompok mafia yang saling bertengkar dan terus berperang. Ketika mereka kelelahan karena terus menerus dalam kondisi yang tidak aman dan damai disebabkan oleh peperangan yang mereka lakukan, maka mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti berperang.

Namun, disini tidak terjadi suatu dialog dan kesepakatan diantara dua belah pihak yang bertikai, mereka tetap eksis satu sama lain. Hal ini tetap dapat disebut sebagai suatu sikap yang Toleran, dalam bentuknya yang sangat tradisional. Mereka (atau kita) memandang Other tetap eksis, tapi mereka (kita) tidak mau perduli dan juga tidak mau mengakui (sebenarnya) dengan segala sikap dan ekspresi Others/stranger tersebut. Toleransi dalam bentuk seperti ini sebenarnya sangat lemah dan sewaktu-waktu dapat hilang sehingga memicu kembali terjadinya konflik.

Toleransi pada level kedua, dapat dianalogikan sebagai sikap “cuek” kita terhadap orang lain (other/stranger) ketika bertemu disuatu tempat, yang mana kita mengakui adanya orang lain tersebut tapi kita tidak memiliki hasrat untuk mau mengenalnya, atau berkomunikasi (sekedar menyapa). Kita hanya bersikap “cuek” atau tak acuh, dan ini sebenarnya pula sudah termasuk dalam sikap yang toleran dalam bentuknya yang sangat tradisional pula, yang tak jauh beda dengan toleransi pada level sebelumnya.

Pada tahap atau level yang ketiga, Toleransi berwujud dalam bentuk 'respect' kita terhadap yang lain/other. Respect disini merupakan suatu sikap atau perilaku yang mendorong kita untuk mengenal dan menghargai yang lain. Dalam hal ini, kita dituntut untuk bisa menekan rasa emosi, ketidaksenangan, atau ketidaknyamanan kita terhadap orang lain/other tersebut, yang timbul dari perbedaan antara yang lain dengan diri atau kelompok kita.

Sikap respect disini bukanlah berarti kita menerima orang lain hanya karena kita “senang” dengan orang lain itu dalam bersikap dan berperilaku atau cocok seperti yang kita inginkan (atau sesuai dengan persepsi kita), tetapi respect lebih merupakan sikap penerimaan kita terhadap orang lain dengan apa adanya kekurangan dan perbedaan yang dimiliki oleh yang lain/other tersebut.

Toleransi pada tahap berikutnya juga lebih maju, atau modern, yaitu toleransi yang altruistik. Toleransi dalam level ini merupakan suatu sikap penerimaan kita terhadap other atau stranger bukan karena perbedaan yang dimiliki oleh other atau stanger tersebut, tetapi kita lebih melihat eksistensi orang lain (other) sebagai sebuah refleksi nilai-nilai luhur dan ideal dari negara, agama, kebudayaan, dan ideologi. Sehingga dari sikap ini akan lahir sebuah bentuk sikap yang saling mendukung, kerjasama, saling menghormati, dan bertenggang rasa, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat majemuk dan plural.

Selanjutnya, toleransi pada level yang terakhir ini merupakan toleransi yang lebih bersifat “multikulturalisme”, yaitu suatu sikap toleran yang bukan hanya didasari oleh sikap pengakuan kita, sikap penghormatan, dan sikap penerimaan terhadap segala perbedaan yang ada pada 'yang lain', tetapi juga adanya suatu sikap dari kita untuk mau berbaur dan menyatu serta belajar dari segala hal-hal baru yang ada pada 'yang lain, other, stranger', sehingga dari hal itu bisa menciptakan suatu 'self development' pada diri kita/kelompok kita khususnya, dan dalam komunitas yang lebih luas pada umumnya. Dari hal itu, maka akan mampu tercipta suatu kehidupan yang harmonis, tenteram dan damai.

Dalam suatu kehidupan masyarakat yang plural (seperti Indonesia), sikap toleransi sangat dibutuhkan. Sikap toleransi ini juga harus bisa didukung dengan suatu dialog yang membawa pada kesepakatan pada dua atau lebih kelompok/komunitas yang berbeda. Dalam suatu masyarakat yang tingkat kesepakatan (dialog/kesepakatan) tinggi maka toleransi akan semakin tinggi. Namun, jika tingkat kesepakatan rendah maka toleransi lebih rendah juga.

Dalam suatu kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, suatu kebersamaan dalam kehidupan yang plural merupakan hal yang pasti. Tanpa kebersamaan maka toleransi susah untuk bisa diwujudkan dan direalisasikan. Sehingga jikalau kebersamaan bisa dibina maka kehidupan yang damai bisa direngkuh dan dijaga dengan baik pula. Hanya saja kita tidak boleh melupakan bahwa toleransi juga mensyaratkan 'reciprocity' (hubungan timbal balik).

Tidak mungkin hanya satu orang atau satu pihak yang melaksanakan sikap toleran sementara 'yang lain/others' tidak melakukan dan mengaktualisasikannya terhadap kita. Selain itu, sikap yang akomodatif juga dibutuhkan dalam kehidupan yang menjunjung toleransi. Jika sikap yang akomodatif tidak ada, maka yang ada justru dominasi kelompok yang mayoritas terhadap kelompok minoritas.

Kelompok mayoritas dengan segala nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan harus bisa menjamin bahwa hal-hal tersebut tidak membuat kelompok minoritas merasa didiskriminasi atau termajinalkan. Apalagi ketika kelompok minoritas menuntut suatu keadilan dan ingin berdialog, namun kelompok mayoritas tidak mau menerima dan menganggap bahwa kebenaran yang dianut mereka sudah final sehingga nilai dan peraturan itu menjadi sebuah paksaan bagi yang minoritas, maka ini tidak bisa disebut sebagai sikap yang akomodatif dan toleransi dalam bentuk yang modern tidak bisa tercipta.

Sikap toleransi haruslah mampu diciptakan dan diaktualisasikan dalam segala dimensi kehidupan, yaitu dalam kehidupan berpolitik, sosial, budaya, agama, dan ekonomi. Dalam kehidupan politik sebagai contoh, setiap partai politik maupun fraksi-fraksi yang ada di parlemen, seharusnya mampu menghargai perbedaan ideologi yang dianut setiap parpol,dan setiap parpol maupun fraksi bisa bersinergi untuk bisa membangun bangsa dan negara ini, bukan saling menjatuhkan ataupun saling mencemooh.

Ini justru makin memperparah kondisi negara kita dan memperlihatkan belum dewasanya para pemimpin dan elit di negara ini dalam berpolitik. Dalam kehidupan sosial budaya, kita dituntut untuk bisa menghargai, menerima, menghormati, dan bekerjasama dengan berbagai macam etnis, suku, dan kelompok yang tersebar ribuan banyaknya di indonesia ini khususnya.

Konflik antar etnis seperti yang pernah terjadi antara etnis madura dan dayak, sikap diskriminatif pemilik kos di jogja terhadap mahasiswa pendatang dari papua, dan berbagai realitas lainnya, sudah seharusnya dihilangkan dengan meningkatkan toleransi dan dialog diantara kedua belah pihak. Selain itu, isu agama mungkin merupakan yang paling krusial.

Konflik agama di Poso dan Ambon, dan berbagai daerah lainnya, antara islam dan kristen, juga merupakan konflik yang terjadi karena rendahnya pemahaman toleransi dan dialog antar agama. Sehingga perseteruan yang remeh dan sepele pada mulanya, antara pemeluk kedua agama, mampu disulut dengan mudah hingga menelan ribuan nyawa melayang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan memiliki kepentingan didalam konflik ini.

Sebuah kata “toleransi” sangat mudah diucapkan dan dilontarkan dari bibir ini. Bahkan juga sangat mudah untuk dipaparkan dan dijelaskan hingga menjadi sebuah tulisan dan buku seperti yang dilakukan oleh saya dan juga Walzer. Namun, untuk membuat orang lain paham, mengerti, dan mengaktualisasikan sikap toleransi ini sangatlah tidak mudah. Karena itu, Toleransi ibarat sebuah konsep yang sangat ideal dan luhur, tetapi sangat susah untuk membumi atau “down to earth”. Diperlukan suatu cara dan mekanisme yang progresif untuk memahami kepada segenap warga negara mengenai Toleransi dan bagaimana cara mengaktualisasikannya dengan benar dan efektif. by : Achmad Zulfikar

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month