Belajar dan Berkembang dalam Persahabatan
Ada kalimat mengatakan bahwa sahabat itu seperti sebuah keluarga. Tetapi buat saya pribadi sahabat itu tidak sama dengan keluarga.
Pada saat kita lahir kita tidak bisa memilih di keluarga mana kita ingin dilahirkan.
Kita tidak bisa memilih bahwa kita ingin dilahirkan oleh Ibu yang cantik, muda, mampu mendengarkan dengan baik atau penyayang dengan penuh ketulusan.
Kita tidak bisa memilih ingin memiliki Bapak yang kaya, tenar dan ternama atau baik hati. Kita tidak bisa memilih ingin kakak atau adik yang seperti apa, serta tidak bisa pula memilih ingin paman atau bibi yang seperti kehendak kita.
Kita nota bene terlahir dalam keluarga yang memang "ditakdirkan" untuk menjadi keluarga kita.
Beda dengan sahabat.
Kita mungkin bertemu sahabat kita di sekolah.
Kita mungkin bertemu sahabat kita di lingkungan rumah.
Kita mungkin bertemu sahabat kita di tempat olahraga.
Kita mungkin bertemu sahabat kita di tempat dugem.
Atau bahkan mungkin secara "kebetulan" bertemu dengan sahabat kita di salah satu acara tak terduga.
Dengan sahabat kita, pertemuan pertama mungkin belum menjadikan kita sebagai sahabat.
Butuh waktu untuk menjalin jalinan ikatan yang ada.
Mungkin membutuhkan beberapa pertemuan untuk kemudian merasa clicked dan cocok satu sama lain.
Membutuhkan waktu yang lebih lama lagi bahkan mungkin untuk pada akhirnya satu sama lain bisa saling menceritakan rahasia masing-masing.
Ketika semua ini tidak berjalan dengan mulus, kita bisa saja "memutuskan" untuk tidak bersahabat dengannya and simply walk away.
Toh kita tidak memiliki ikatan apapun, seperti ikatan keluarga.
Toh kita tidak terlahir dengan sabahat itu, seperti kita terlahir dengan keluarga kita.
Sehingga dengan kata lain, kita pada dasarnya bisa memilih sahabat kita, tidak seperti dengan keluarga.
Lalu kalau begitu apa yang menyatukan seluruh sahabat-sahabat yang ada di dunia ini ya?
Apakah kecocokan diantara mereka?
Apakah rentang waktu panjang yang telah terjalin?
Apakah kondisi yang ada?
Dalam film animasi Madagascar, alkisah ada empat sahabat yang terbentuk akibat kesamaan lokasi.
Mereka berempat sama-sama ditempatkan di Central Park Zoo dengan kandang yang berdekatan satu sama lain.
Seperti layaknya individu dengan beragam keunikan masing-masing, ke empat sahabat binatang ini pun memiliki sifat yang berbeda satu sama lain.
Ada Gloria, si kuda nil betina yang dilahirkan di Central Park Zoo dan diceritakan sebagai kuda nil yang cantik nian, menjadi pujaan banyak kuda nil lain, independen, pandai dan tahu apa yang ia inginkan serta bagaimana memperoleh keinginannya.
Kemudian ada pula Melman. Seekor jerapah yang menderita Hipokondriak (salah satu gangguan psikologis, dimana penderita selalu merasa ada yang salah pada dirinya secara fisik sehingga berulang kali memeriksakan dirinya ke dokter, walaupun kemudian dokter tidak menemukan ada yang salah pada dirinya). Sebelum ditransfer ke Central Park Zoo, Melman dibesarkan di Bronx Zoo yang mengakibatkan ia kemudian merasa lebih tahu "dunia luar" dibandingkan ketiga temannya.
Lalu Marty sang kuda zebra yang penuh mimpi dan berjiwa petualang. Dia terus-menerus berpikir mengenai dunia di luar Central Park Zoo dan tergelitik untuk mengetahui bagaimana rasanya tinggal di hutan lebat. Akibat dirinya pulalah maka keempatnya lalu (dengan segala kekonyolan yang ada) sukses keluar dari Central Park Zoo untuk kemudian memulai petualangan yang tak terpikirkan sebelumnya.
Terakhir adalah Alex. Sejak dilahirkan Alex sudah terlahir untuk menjadi tenar. Ia terlahir dari seorang Ayah dan Ibu yang merupakan pemimpin sebuah suku yang terpandang. Ketika ia kemudian mengalami kesialan tertangkap oleh seorang pemburu yang menjualnya ke Central Park Zoo, ia pun tidak lantas kehilangan pamor. Ia menjadi pusat perhatian di kebun binatang tersebut akibat kelihaiannya berdansa. Ia selalu menjadi Raja di segala tempat.
Hubungan persahabatan di antara mereka tidak berjalan mulus begitu saja.
Mereka kadang mengeluhkan kecenderungan Melman yang terus-menerus meributkan kondisi kesehatannya dan mengganggu saja dengan segala keluhan ceritanya.
Mereka juga kadang pusing dengan Gloria yang bersikap sok pintar dengan segala kemanjaannya.
Mereka pun akhirnya harus "terjun bebas" terpaksa keluar dari zona kenyamanan mereka di Central Park Zoo akibat mengikuti jejak Marty.
Dan tentunya, mereka seringkali mual dan sebal dengan sikap Alex yang terus-menerus merasa dirinya Raja sehingga berhak untuk selalu memperoleh perhatian dari setiap umat yang mereka temui di perjalanan pertualangan mereka.
Pertikaian tidak terelakan.
Gerutuan ada berulang kali.
Pergumulan bahkan sempat terjadi.
Dan pada satu titik mereka siap untuk meninggalkan satu sama lain.
Mereka siap untuk memilih sahabat lain.
Disinilah menurut saya letak ujian sebuah persahabatan.
Dari sebuah film animasi konyol kita justru jadi mampu untuk belajar banyak mengenai persahabatan.
Ketika orang yang ada dalam lingkungan persahabatan kita rasanya tidak layak (lagi) untuk menyandang titel sebagai sahabat kita, apa yang kemudian akan kita lakukan????
Pada titik inilah bagi saya juga kebesaran hati dan kemauan semua sahabat terkait untuk saling jujur, berbagi, introspeksi diri dan belajar untuk berubah menjadi teruji.
Saya selalu percaya bahwa dalam segala krisis TIDAK PERNAH ada HANYA salah satu pihak yang bersalah.
Mau seberapa besar atau kecil porsinya, semua pihak memiliki kontribusi dalam krisis tersebut.
Jika saja, ketika itu Alex, sang Raja tidak mau berbesar hati mengakui betapa congkak dirinya selama ini, mungkin ke empat sahabat tersebut sudah bubar jalan.
Jika saja, ketika itu Marty tidak mau berbesar hati memaafkan Alex, mungkin cerita persahabatan Madagascar sudah berakhir total.
Jika saja ketika itu baik Melman maupun Gloria tidak memiliki niat yang tulus untuk saling membuka mata dan bersikap jujur mengakui porsi masing-masing dalam krisis yang terjadi, mungkin kita tidak akan lagi melihat persahabatan diantara mereka.
Buat saya pribadi, dan ini benar-benar pengalaman dan pernyataan pribadi saya, sahabat bisa terus berjalan bersama tanpa mengenal jarak, waktu dan kondisi karena adanya toleransi serta keterbukaan di antara mereka serta keinginan yang cukup untuk tetap bersama.
Saya tidak menyarankan tentunya untuk terus bersama dengan seseorang bertitel sahabat jika hubungan tersebut sudah saat tidak sehat dan satu sama lain saling menyakiti setelah berjalan sekian lama dan sudah berulang-ulang kali proses rekonsiliasi yang terjadi gagal tanpa membuahkan perubahan positif yang signifikan.
Kalau demikian kondisinya, tentu mungkin akan lebih baik jika para sahabat tersebut mulai berpikir memilih jalurnya masing-masing.
Namun kalau katakanlah kita baru saja bertemu dengan orang tersebut dan baru saja mau memulai merintis hubungan persahabatan, kemudian ada krisis yang terjadi, lalu tanpa tedeng aling-aling asyik saja memutuskan hubungan yang ada, waduh.
Pertanyaannya mungkin hanya dua :
Kita yang tidak mau membuka diri untuk mencoba berusaha dahulu mempertahankan hubungan yang ada atau memang orang tersebut sedemikian tidak bergunanya untuk diperjuangkan?
Tetapi kalau rentang waktu untuk mengenal satu sama lain masih dalam hitungan jari, darimana kita tahu secara pasti bahwa orang tersebut memang tidak layak untuk dipertahankan????!?
Siapa kah kita sebegitu congkaknya dalam jarak waktu super duper pendek tersebut dapat memutuskan bahwa orang tersebut layak atau tidak layak untuk menjadi sahabat kita???
Kita memang memiliki hak untuk memilih siapa sahabat kita.
Masalahnya sesudah kita memilih apakah kemudian kita mau mempertahankannya?
Banyak kumpulan sahabat yang mungkin baru beberapa bulan "terbentuk" atau mungkin juga sudah sekian lama terbentuk, bubar jalan begitu saja karena beragam faktor.
Ketika itu terjadi, pertanyaannya adalah apakah kita mau berjuang untuk mencoba terlebih dahulu memperbaiki kondisi yang ada atau malah dengan gampangnya memisahkan diri dari orang yang dulu sempat masuk daftar sahabat kita?
Toh kita tidak terlahir dengan sahabat itu kan?
So dengan "mudah" pula kita bisa say bye bye dong.
Tetapi yang perlu disadari kalau memang kita selalu dengan mudahnya say bye bye ke setiap orang yang kayaknya tidak cocok dengan kita, lalu kapan kita pernah bisa benar-benar dekat dengan orang lain ya?
Kapan kita benar-benar bisa belajar berkembang menjadi individu yang lebih baik?
Saya jujur tidak ingin berteman dengan individu yang membuat saya nyaman terus-menerus.
Saya jujur memilih untuk bersahabat dengan individu yang mampu untuk membuat saya memperluas zona kenyamanan saya dan mendorong saya untuk belajar lagi, lagi serta lagi terus-menerus tanpa henti.
Saya pernah beradu mulut dengan salah seorang sahabat saya.
Saya pernah meninggalkan sahabat saya yang lain seorang diri dalam sebuah pertikaian di antara kami.
Saya pernah stop mogok bicara selama beberapa bulan dengan sahabat saya pula akibat sebuah krisis.
Saya pernah (dengan jujur mengakui) meng-abuse sahabat saya dengan segala sifat kekanak-kanakan saya ketika masih SMA Dan entah bagaimana ia bertahan melewati itu semua & stand by me until today! Mamma mia!
Hidup ini seperti sebuah lingkaran kebaikan.
Ada orang yang pernah memberikan kita sebuah kebaikan.
Mengapa kita tidak meneruskan kebaikan tersebut kepada orang lain.
Tak terhitung sudah kebaikan yang diberikan oleh sahabat-sahabat saya kepada saya, sehingga rasanya dengan ikhlas dan penuh suka cita saya pun ingin membaginya dengan setiap orang yang saya temui.
Saya berusaha untuk tidak bersikap pemilih.
Memilih mana yang berhak untuk mendapatkan kebaikan saya dan mana yang tidak.
Karena saya tidak mampu membayangkan jadi apa saya hari ini kalau saja ketika itu sahabat saya memutuskan untuk berbuat kebaikan TETAPI TIDAK kepada saya.
Dalam hidup ini pun tidak ada yang permanen.
Satu-satunya yang permanen justru perubahan itu sendiri.
Sahabat yang kita miliki saat ini mungkin sudah berubah jauh dari sahabat yang dulu kita pertama kali kenal.
Sahabat yang kita miliki pun mungkin akan pergi jauh sekali akibat dari perubahan hidupnya.
Dalam perjalanan persahabatan yang kita miliki, segala perubahan mungkin terjadi.
Pertanyaannya hanya seberapa kokoh persahabatan yang telah terbentuk.
Seberapa besar kita mau untuk berjiwa besar sama-sama saling menyesuaikan dengan kondisi yang berubah.
Banyak kemudian yang enggan untuk membuka diri, sadar maupun tidak sadar, karena takut akan perubahan tersebut.
Tetapi prinsip saya tetap sama, tidak peduli lima menit atau lima puluh tahun, saya lebih baik membuka diri mengenal orang tersebut, belajar selama saya masih diijinkan untuk belajar bersamanya, daripada saya menutup diri dan tidak mengenal orang tersebut sama sekali.
Ketika mungkin perubahan mungkin tak terelakkan serta harus terjadi, saya malah merasa perubahan tersebut adalah wadah bagi saya untuk belajar hal yang baru.
Membentuk sebuah kelompok sahabat memang adalah hal yang sangat mudah.
Mempertahankannya adalah hal yang lain lagi.
Saya bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang ada tidak hanya ketika saya bersikap manis, namun juga ketika saya sedang menunjukkan sisi setan saya.
Saya bersyukur memiliki sahabat tidak hanya ketika saya sedang tertawa namun juga ketika saya harus menangis meraung-raung.
Saya bersyukur memiliki sahabat yang mampu dengan pedasnya menunjuk-nunjuk saya ketika saya dengan bodohnya bersikap.
Saya bersyukur saya masih mampu untuk saling terbuka dengan sahabat dan belajar bersama-sama untuk terus menjadi individu yang lebih baik.
Saya bersyukur memiliki sahabat yang menjadi pasangan saya untuk belajar dan berkembang.
Seperti saat ini, karena sahabat-sahabat saya lah maka saya terinspirasi untuk menulis kembali.
Kegiatan yang saya cintai dan sayangnya mungkin sudah dua bulan ini vakum saya lakukan.
Karena mereka lah jari-jari saya kembali tergerak untuk mengasah kemampuan merangkai kata. By : Liza Marielly Djaprie
Tentang penulis : Liza Marielly Djaprie adalah seorang psikolog klinis dan juga terapis. Selain aktif sebagai penulis, trainer dan konsultan psikologi, Liza saat ini juga berpraktek di salah satu klinik kesehatan jiwa di Dharmawangsa.