Maka, anak-anak itu pun dengan gembira mulai mengeluarkan alat-alat gambarnya sambil berceloteh, saling melontarkan pertanyaan dan jawaban tentang benda apa yang akan digambarnya.
Tidak lama kemudian, kelas pun berangsur tenang. Masing-masing anak segera sibuk dengan idenya, yang berusaha dituangkannya ke atas kertas gambar. Saat waktu yang diberikan untuk tugas selesai, sang guru meminta setiap anak, satu persatu, maju ke depan kelas untuk memperlihatkan gambarnya dan menceritakan secara singkat alasan mengapa dia menggambar itu.
Ada berbagai gambar dan alasan yang dikemukakan anak-anak itu. Ada yang menjelaskan tentang gambar mobil, mainan, buah-buahan, pemandangan, dan lain sebagainya. Tiba saat giliran terakhir, seorang anak yang agak pemalu karena kakinya yang timpang ketika berjalan, maju ke depan kelas. Meski kurang sempurna cara berjalannya, dari hasil gambarnya nampak bahwa ia sangat pandai dalam melukis.
Semua perhatian pun mendadak terarah kepada teman tersebut, karena mereka ingin tahu apa yang digambar seorang anak cacat dari keluarga miskin itu. Tak lama, si anak itu memperlihatkan gambarnya. Rupanya, ia menggambar sepasang tangan. Kelas pun akhirnya kembali ramai karena mereka bertanya-tanya mengapa si anak itu menggambar sepasang tangan. Apa maksudnya? Tangan siapa yang digambarnya? Tangannya sendiri atau tangan orang lain? Kenapa tangan yang digambar? Semua anak berusaha menebak gambar tangan siapa yang dilukis oleh temannya itu.
Setelah memperhatikan gambar dengan saksama, ibu guru bertanya lembut, "Nak, tangan siapa yang kamu gambar ini?"
Anak itu menjawab dengan suara pelan tetapi jelas, "Yang satu adalah gambar tangan ibuku, dan satu lagi gambar tangan ibu guru."
"Kenapa kamu tidak menggambar tangan milikmu sendiri?" tanya sang guru lebih lanjut.
"Gambar tangan itu memang bukan tanganku sendiri, Bu. Aku menyayangi dan mensyukuri tangan-tangan itu. Karena, sepasang tangan milik ibukulah yang menuntun, mengajari, dan melayani aku secara tulus sehingga aku bisa tumbuh menjadi seperti saat ini. Dan satu lagi, aku menggambar tangan ibu guru karena ibu gurulah yang mengajariku menulis dan melukis. Walaupun kaki saya timpang, tetapi tangan saya bisa menulis dan membuat lukisan yang indah. Terima kasih, Bu," ucap si anak tulus.
Dengan mata berkaca-kaca, ibu guru menganggukkan kepala, "Terima kasih kembali, kamu memang anak yang mengerti dan pandai bersyukur".
Sungguh luar biasa sikap mental anak yang kakinya timpang, tetapi mampu mengungkapkan rasa terima kasih dan rasa syukur atas jasa orangtua dan gurunya, melalui lukisannya yang sederhana.
Punya kaki timpang bukan berarti harus rendah diri. Cerminan nyata dalam kehidupan seperti itu bisa kita lihat dari fisikawan Steven Hawking. Ia adalah seorang yang cacat, lumpuh, bahkan kalau mau bicara harus menggunakan bantuan alat elektronik. Tetapi, dengan kemauannya yang keras dan semangatnya yang pantang menyerah, dia kini diakui sebagai ilmuwan besar abad ini. Meski cacat, ia mampu menjadi orang yang dihormati karena hasil penelitian dan pemikirannya.
Apa yang dilakukan oleh Steven Hawking adalah gambaran sebuah keberanian sejati. Ia mensyukuri apapun keadaannya dengan tetap berkarya. Hal seperti itulah yang patut kita jadikan teladan. Kita perlu menanamkan sikap mental berani berubah untuk jadi lebih baik, apapun kondisi yang kita hadapi hari ini.
Ayo, bangkit dari segala keterpurukan, ketimpangan, dan kekurangan! Bagi saya, merupakan suatu keberanian sejati jika kita mampu terus mengembangkan diri dan segera memulai dari apa adanya kita hari ini. Jadi, make it happen! Buat itu terjadi! Selalu miliki tekad kuat untuk berubah menjadi lebih baik, dari hari ke hari. Syukuri apapun yang kita miliki, dengan terus memaksimalkan potensi diri. Tingkatkan pula daya juang kehidupan dengan memelihara semangat pantang menyerah! Dengan begitu, hidup kita akan lebih bermanfaat.
[Source : andriewongso.com]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA