Share Info

26 July 2012

Puasa: Menyelami Pusat Diri


by : Mohd. Sabri AR

Dalam permenungan philosophia perennis, manusia primordial (fitrah) dipandang sebagai pontifex, yang bermakna “jembatan” antara dunia-langit. Karena itu, manusia hidup dalam dunia “asal” dan dunia “pusat” sekaligus. Sepanjang hayatnya, manusia primordial hidup dalam siklis dan berusaha mencapai pusat kesadaran dan pusat spiritual dirinya. Di sini, manusia pontifex hidup dalam kesadaran tentang realitas spiritual yang menjadikan dirinya sebagai titik berangkat pendakian.
Salah satu krisis paling serius dihadapi manusia modern adalah: mereka telah kehilangan meaning and purpose of life yang sejati. “Manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya,” tulis seorang arif, “Karena ia telah lupa siapa dirinya sesungguhnya.” Meski demikian, tidak dengan sendirinya berarti jika manusia modern telah kehilangan horizon spiritual, tetapi lebih karena manusia modern dalam kategori perennial, “telah memilih hidup di pinggir lingkaran eksistensi.”

Dalam perspektif modernitas, manusia cenderung diposisikan sebagai “ciptaan dunia-bumi ini”. Karena itu, ia betah tinggal di bumi dengan pandangan artifisial yang dibangunnya sendiri, yang memesona, dan berujung pada ini: tertampiknya Tuhan dan realitas spiritual dalam kehidupan mereka. Agaknya positivisme, sebagai tonggak peradaban modern, telah berhasil meneguhkan manusia sebagai sekadar manusia-bumi, dan merobek langit suci: Awal dan akhir sebuah peradaban adalah materi.

Sejatinya, keterpanggilan manusia untuk selalu menyucikan ruhaninya pada urutannya melahirkan naluri kuat untuk “kembali ke asal”. Dalam kajian Seyyed Hossein Nasr (1992), keterpanggilan untuk selalu “kembali ke asal” tidak semata terjadi pada manusia tetapi seluruh kosmik. Naluri kosmik untuk “kembali ke asal” menuju Tuhannya menyebabkan adanya gerak siklis laksana tawaf dalam tradisi haji.

Seluruh kosmik bergerak tawaf: atom bertawaf pada sumbunya, bulan mengelilingi bumi, bumi mengitari matahari, matahari beredar mengitari galaksi, galaksi mengitari sehimpunan galaksi yang lebih besar, dan seterusnya. Gerak siklis “memusat-melingkar” yang berbenturan “arah jarum jam” itu pada urutannya berakhir pada titik pusat “Kesadaran Eksistensi” , “alfa-omega” segala yang ada, yang dalam teologi disebut sebagai Tuhan. Ini pula makna esensial firman Tuhan: Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un: “sungguh kita semua dari Allah, dan hanya kepada Allah kita “kembali”.

E.F. Schumacher (1990), menyebut ilustrasi di atas sebagai “the hierarchy of existence”: mulai dari Tuhan pada tingkat tertinggi dan tak terhingga hingga manusia dan makhluk/benda-benda “di bawah” manusia. Atau sebaliknya: dari benda-benda mati di tingkat paling “rendah” hingga Tuhan pada tingkat tertinggi. Dari perspektif ini kemudian lahir kesadaran tentang doktrin “persaudaraan kosmik” antara alam dan manusia yang demikian kuat.

Dengan kata lain, ada “kesenyawaan” erat antara hirarki-kosmik dan hirarki-manusia: alam benda “bersenyawa” dengan tubuh; alam-cakrawala dengan pikiran; alam-langit dengan jiwa, dan “alam-tak-terhingga” bersenyawa dengan ruh manusia.

Setiap persenyawaan hirarki tersebut memperlihatkan kualitas sejati manusia. Manusia “bumi” misalnya, adalah kualitas manusia “body” yang orientasi dan tujuan hidupnya berujung pada pemenuhan sifat-sifat bumi: materil dan sesaat seperti; makan, minum, hubungan seks, haus kuasa, dan seterusnya. Manusia “cakrawala” adalah manusia yang mampu menggunakan potensi pikirnya merespons dan merumuskan makna hidup secara proporsional.

Manusia “langit” adalah manusia yang jiwanya telah diselimuti cahaya. Mereka inilah yang dalam tradisi filsafat disebut manusia “tercerahkan”.

Manusia kualitas ini diberi potensi oleh Allah untuk menembus “masa depan” melalui mata-langitnya yang cerah. Sementara manusia “ruh” adalah manusia yang telah didominasi dan diliputi oleh cahaya ruhani, spirit yang bersifat Ilahi: faidza sawwaituhu wa nafakhtu fi hi min ruhi. Manusia-roh karena itu, adalah manusia “tak terhingga”, tidak meruang-tidak mewaktu. Manusia yang telah “lebur secara ontologis” dalam KemahaabadianNya.
Ramadan dan Diri-Cahaya
Ramadan adalah bulan penuh cahaya: suci dan menyucikan sebagai simbol Kasih Sayang Allah yang tak tepermanai kepada manusia. Itu sebab di bulan ini, manusia diberi kesempatan oleh Allah untuk membersihkan diri. Dalam keadaan zulmani itu manusia terhempas keluar dari kebahagiaan kesucian primordial  dan tercampakdalam kegetiran kepekat-kelaman dosa. Itu sebab manusia primordial seperti dilukiskan Alqur’an adalah manusia yang bergegas dan melepaskan diri dari keterjebakan “kegelapan” menuju ke tercerahan “cahaya”: min al-zulumati ila al-nur.

Di sini alam purgatorio Ramadan terkait erat dengan ide latihan, yaitu latihan pendakian ke puncak keruhanian diri yang-cahaya, dimana manusia-puasa diberi kesempatan berlatih menahan diri dari kejatuhan ke lembah nafsu dan melanggar larangan Tuhan.

Dalam tradisi agama-agama Ibrahim: Yahudi, Kristen, dan Islam, simbol kejatuhan manusia primordial dan terusir dari alam Paradiso, diwakili oleh Adam dan Hawa. Meski kedua insan pertama itu pada urutannya mendapat ampunan Tuhan karena teguh menjalankan “kalimat-kalimatNya” (Qs. 2: 37), namun mereka menurunkan anak cucu yang kesucian primordialnya selalu terancam jatuh oleh keserakahan mahasyahwatnya.

Latihan menahan diri di alam Purgatorio Ramdhan bersumbu pada latihan untuk sepenuhnya menghayati “Kemahahadiran Tuhan” dalam hidup yang paling sublim. Dari kesadaran ini pada urutannya manusia-puasa akan menemukan kesucian asalnya yang sirna dan kembali ke fitrah. Di sana dia akan menemukan kembali kebahagiaan sejati Paradiso.

Jelaslah bahwa puasa adalah manifestasi konkret dari firman Allah: “Dia (Allah) itu bersama kamu dimanapun kamu berada, dan Allah itu Maha Awas akan segala sesuatu yang kamu perbuat” (Qs. 57:4). Seorang manusia-puasa selalu merasa terdeteksi oleh Allah karena “Kemanapun kamu menghadap di sanalah Wajah Allah” . “Kami (Allah) lebih dekat dari urat lehernya sendiri (Qs. 50:16); “Allah menyekat antara seseorang dengan hatinya sendiri” (Qs. 8:24).

Kesadaran akan Kemahahadiran Tuhan yang selalu “mendeteksi” segenap aktivitas hamba-hambaNya inilah yang jadi pondasi jika bukannya inti ketakwaan yang akan membimbing seseorang melakukan kerja-kerja pencerahan, kreatif, memelihara kemuliaan dan martabat diri. Di sini pula letak kaitan erat antara “puasa” dan “takwa”. Seorang manusia-puasa karena itu, adalah orang yang tercerahkan rohaninya: Satu kesadaran fundamental yang sejauh ini terabaikan dalam gemuruh kehidupan modern.
[Source : fajar.co.id]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month