Dari tadi pagi hujan mengguyur kota tanpa
henti, udara yang biasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin.
Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini hari libur membuat
orang kota malas untuk keluar rumah.
Di perempatan jalan, Umar, seorang anak
kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia
membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat
melindungi koran dagangannya dengan lembaran plastik.
Dari balik kaca mobil si ibu menatap
dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus
berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh
ribuan dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk
mengulurkan lembaran uang.
“Mau koran yang mana bu?, tanya Umar dengan riang.
”Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca”, jawab si ibu.
Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu
diulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima, ”Terima kasih bu,
saya menjual koran, kalau ibu mau beli koran silakan, tetapi kalau ibu
memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”,
Umar berkata dengan muka penuh ketulusan.
Dengan geram si ibu menerima kembali
pemberiannya, raut mukanya tampak kesal, dengan cepat dinaikkannya kaca
mobil. Dari dalam mobil dia menggerutu ”Udah miskin sombong!”. Kakinya
menginjak pedal gas karena lampu menunjukkan warna hijau. Meninggalkan
Umar yang termenung penuh tanda tanya.Umar berlari lagi ke pinggir, dia
mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko tempatnya berteduh.
Tangan kecilnya sesekali mengusap muka
untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil
termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan di depannya, ”Ya Tuhan,
hari ini belum satupun koranku yang laku”, gumamnya lemah.
Hari beranjak sore namun hujan belum
juga reda, Umar masih saja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali
tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar.Tiba-tiba
didepannya sebuah mobil berhenti, seorang bapak dengan bersungut-sungut
turun dari mobil menuju tempat sampah,”Tukang gorengan sialan, minyak
kaya gini bisa bikin batuk”, dengan penuh kebencian dicampakkannya satu
plastik gorengan ke dalam tong sampah, dan beranjak kembali masuk ke
mobil.
Umar dengan langkah cepat menghampiri
laki-laki yang ada di mobil. ”Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil
makanan yang baru saja bapak buang untuk saya makan”, pinta Umar dengan
penuh harap. Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya.
Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta
ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya.
“Nak, bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau”.
”Terima kasih pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi saya, boleh khan pak?, tanya Umar sekali lagi.”Bbbbbooolehh”, jawab pria tersebut dengan tertegun. Umar berlari riang menuju tong sampah, dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.
Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Umar yang sedang makan. Dengan perasaan berkecamuk di dekatinya Umar.
”Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa
kamu harus meminta ijinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?,
dengan lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil di
depannya dengan penuh perasaan kasihan.
”Karena saya melihat bapak yang
membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya
bisa meminta ijin kepada pemiliknya, meskipun buat bapak mungkin sudah
tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, dan saya
pantas untuk meminta ijin memakannya ”, jawab si anak sambil
membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.
Pria itu sejenak terdiam, dalam batinnya
berkata, anak ini sangat luar biasa. ”Satu lagi nak, aku kasihan
melihatmu, aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu
makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya”.
Si anak kecil tersenyum dengan manis,
”Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya makan
sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya
mencampakkan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang
menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir,
basah oleh air hujan dan hanya akan jadi makanan tikus.”
”Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang
untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di
restoran di mana aku yang akan mentraktirnya”, ujar sang laki-laki
dengan nada agak tinggi karena merasa anak di depannya berfikir keliru.
Umar menatap wajah laki-laki didepannya
dengan tatapan yang sangat teduh,”Bapak!, saya sudah sangat bersyukur
atas berkah sekantong gorengan hari ini. Saya lapar dan bapak
mengijinkan saya memakannya”, Umar memperbaiki posisi duduknya dan
berkata kembali, ”Dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia adalah
bersyukur dan merasa cukup atas anugerah hari ini, bukan menikmati
sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan
kedahagaan untuk mendapatkannya kembali di kemudian hari.
”Umar berhenti berbicara sebentar, lalu
diciumnya tangan laki-laki di depannya untuk berpamitan. Dengan suara
lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali,”Kalau hari ini saya makan di
restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya saya
menginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya, maka
saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya”.
Pria tersebut masih saja terpana, dia
mengamati anak kecil di depannya yang sedang sibuk merapikan koran dan
kemudian berpamitan pergi.”Ternyata bukan dia yang harus dikasihani,
Harusnya aku yang layak dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai
dengan hari ini”.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA