Alkisah, di sebuah rumah gubuk terpencil di sebuah pegunungan yang indah, tinggallah seorang kakek tua yang terkenal karena kebijaksanaannya. Banyak orang dari berbagai tempat datang kepadanya untuk meminta nasihat si kakek tua itu. Suatu hari, datanglah seorang pria yang telah tiga hari lamanya menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Sesampai di hadapan si kakek tua, pria itu memohon nasihat tentang bagaimana cara mengendalikan emosi atau amarah yang cepat terbakar dan tidak terkendali.
Setelah sejenak memandang pria tersebut, sang kakek tua nan bijak itu pun berkata, "Anak muda, setiap kali engkau tersinggung, marah atau terpancing emosi, ingatlah tujuh langkah kesabaran. Yaitu melangkah mundur tujuh langkah, lalu maju lagi tujuh langkah, dan lakukan hal tersebut tujuh kali kali berturut-turut. Lakukan dengan langkah mantap sambil berhitung. Setelah itu, barulah engkau ambil keputusan untuk bertindak."
Merasa mendapatkan nasihat bijak, dengan gembira pria itu pulang kembali ke desanya. Ia yakin sekali masalah emosi sulit terkendali yang dideritanya pasti bisa terpecahkan. Tiga hari perjalanan kembali pulang harus dia tempuh. Hari telah larut ketika ia sampai di rumah. Dengan pakaian yang lusuh, badan letih dan pegal-pegal, serta perut sangat lapar, ia masuk ke dalam kamar istrinya. Didalam benaknya terbayang makan malam dan air hangat untuk mandi yang biasa disediakan oleh istrinya. Tetapi seperti disambar geledek, pria itu mendapati istrinya sedang tertidur lelap di balik selimut dengan orang lain.
Demi melihat pemandangan seperti itu, penyakit lamanya langsung kambuh; emosi membutakan akal sehatnya, "Kurang ajar! Baru ditinggal sebentar saja sudah berani memasukkan orang lain ke kamar...!" Dengan kemarahan yang meluap, pria itu mencabut belati bermaksud menghabisi mereka berdua. Tetapi, spontan dia teringat dengan nasihat si kakek tua yang bijak dan langsung mempraktekkannya; sambil mengangkat tangan menghunus belati dan hembusan napas kemarahan, hentakan kaki dan suara hitungan pun segera terdengar. Kegaduhan itu akhirnya membangunkan sang istri.
Ketika istrinya bangun dan menyingkap selimut, betapa kaget sekaligus leganya pria itu karena ternyata yang menemani istrinya tidur adalah ibunya sendiri. Detik itu juga rasa syukur terucap dari mulutnya yang bergetar. Ia telah berhasil mencegah satu tindakan emosional dan bodoh. Entah apa yang akan terjadi seandainya dia menuruti emosinya belaka, tidak menuruti nasihat si kakek bijak, mungkin dia telah membunuh orang-orang yang paling dicintainya, dan hidupnya akan dirundung penyesalan seumur hidup.
Kesabaran adalah mutiara kehidupan yang pantas dan harus kita miliki! Saat kita berjuang tetapi belum berhasil, kita membutuhkan kesabaran. Kesabaran dalam perjuangan bisa pula diartikan sebagai suatu keuletan, ketekunan, atau mental tahan banting.
Ketika menghadapi orang lain yang sedang emosi, kita butuh kesabaran. Lebih-lebih saat kita sendiri tersinggung, marah, dan emosi, kita pun perlu rem berupa kesabaran. Kesabaran dalam konteks tersebut berarti suatu kematangan mental untuk mampu menahan diri dan mengendalikan sikap-sikap kita supaya tidak terjerumus pada tindakan-tindakan irasional yang merugikan.
Kesabaran merupakan ilmu hidup yang harus kita miliki jika kita ingin meraih sukses sejati. Tanpa kesabaran, kita akan mudah terjebak dalam komunikasi negatif dan sulit menjalin hubungan sosial yang konstruktif. Tanpa kesabaran kita cenderung mudah melakukan tindakan-tindakan tak terkendali yang mengundang penyesalan di kemudian hari. Sebaliknya, melatih kesabaran berarti memperkecil kemungkinan penyesalan.
[Source : andriewongso.com]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA