Dengan ironi yang dahsyat, dengan magnÃfica ironÃa, Tuhan memberi Jorge Luis Borges dua hal: buku-buku dan malam hari. Di tahun 1950-an, pada usia setengah abad, penyair besar Argentina itu jadi buta sepenuhnya.
Tapi menarik bahwa dalam sajak yang ditulisnya tentang kejadian itu ia memakai kata ”malam hari”, la noche, untuk menggambarkan ”buta”. Borges yang lahir di akhir abad ke-19 mungkin lupa: abad ke-20 telah memperkenalkan sisi lain dari malam, yaitu cahaya. Bahkan cahaya itu berpendar mewah, atau bertebar di mana-mana, dan gelap menjadi minoritas. Malah sebuah cacat. Terutama di kota-kota besar.
Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selamanya dirumuskan: bahwa dunia bisa dijinakkan karena manusia bisa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan benar berarti ”melihat”. Bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”, atau ”meraba”. Yang visual memimpin pengenalan kita kepada dunia.
Tentu saja akan berlebihan bila kita pisahkan masa kini dari masa lalu. Dalam kondisi pramodern, orang juga sudah menganggap sejarah bergerak karena penglihatan. Melalui ilmu, misalnya. Orang Jawa menyebut ”ilmu” sebagai kawruh. Kata ini punya akar dalam kata weruh, yang dalam kamus Jawa susunan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 berarti ”bisa menggunakan penglihatan” dan juga berarti ”mengerti”. Dan bila benar wayang adalah sumber kearifan, makin jelas bagaimana cahaya (dan akibatnya: bayangan) adalah teknologi purba untuk pen-cerah-an.
Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan) itu bahkan sudah ada di Yunani Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum Plato. Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium sebelum dia, yang berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan keabadian. Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat mengatur hidup. Nah, Dewi Demeter akan tampil dalam sinar yang terang. Kebenaran akan disampaikan.
Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menantikan informasi. Bukan di Eleusis, tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada.
Bisa kita bayangkan bagaimana terasingnya Borges–apalagi ketika bahkan buku-buku juga sedang meninggalkannya. Sejak ia kecil deretan jilid berbaris di rumahnya. Bertahun-tahun ia sentuh kertas yang membentuk pagina itu dan ia hidu aroma tintanya. Tapi hari ini Kindle dan iPad dan entah apa lagi sedang menghapus sumber informasi (bahkan ”kebenaran”) itu. Di pertengahan abad ke-20 Tuhan memberi Borges buku dan malam hari. Kini sejarah teknologi merenggutkan keduanya. Beruntung ia tak menyaksikan babak baru ini. Ia meninggal pada 1986.
Saya kira saat itu ia bebas. Maksud saya, ia tak akan digedor iklan yang tanpa jeda. Ia tak akan dijepit etalase-etalase mal yang memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana berpotongan memukau. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat bentuknya ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang mengimbau lidah lewat fotografi. Dan di atas semua itu: logo, logo, logo. Dengan desain yang tak ingin terabaikan.
Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan, yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan hadir dalam alam—gejala yang terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt. Tapi sejak awal abad ke-19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsumen yang ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, lewat komoditas, pesona dikembalikan ke dunia.
Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.”
Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pesona alam di zaman kuno bisa menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang ke dalam misteri; kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan.
Itulah yang saya maksud: mungkin yang didapat Borges sebuah magnÃfica ironÃa yang membebaskan.
Ia beroleh buku: tempat tersimpannya apa yang tak ada di dunia etalase, ruang visual yang rata. Buku Borges sendiri contohnya: di dalam cerita-ceritanya, fantasi lebih berperan, bahkan mengecoh fakta. Di sana datang hal yang tak pernah dilihat: Borges menulis The Book of Imaginary Beings. Di situlah ia hidup bersama ”malam”: fantasi & imajinasi meriah justru ketika kita tak tergoda untuk melihat. ”Mata adalah peranti yang rapuh,” kata Borges dalam satu sajaknya.
Artinya, jauh di dalam diri yang tak tampak, ada yang tak tertaklukkan. Kapitalisme mencoba menangkapnya, tapi kata + kisah yang fantastis, yang ”gelap”, menyembunyikannya kembali. Mungkin itu sebabnya kita selalu cemas akan kehilangan puisi.
[Source : Majalah Tempo]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA