Ragu
adalah penyakit yang sering menghantui banyak orang. Karena
keraguannya, tidak sedikit manusia yang celaka lantaran tidak
memiliki pegangan hidup yang jelas. Orang seperti ini bisa
dikata melewati kehidupannya dengan kebingungan.
Membiasakan
membiarkan keraguan datang, hanya menambah kerugian. Sebab
hidup butuh kepastian dan keyakinan. Ragu untuk hal-hal yang
belum pasti boleh saja, tetapi jangan untuk permasalahan yang
sudah jelas. Apalagi yang menyangkut nasib dunia akhirat,
termasuk di dalamnya pemilihan jalan dan sikap hidup.
Orang
yang tak memiliki keyakinan gampang sekali diombang-ambingkan
keadaan. Ketika orang lain ramai-ramai ke utara, ia dengan mudah
ikut ke utara. Demikian juga ketika angin bertiup ke selatan,
ia menurutinya tanpa banyak pertimbangan. Halal atau haram, baik
atau buruk, tidak menjadi dasar keputusannya, karena ia sendiri
tidak yakin bahwa yang halal akan membawa berkah dan kebaikan.
Orang
yang ragu begitu gampang tersesat, ibarat orang berjalan tanpa
petunjuk. Mana dan apa yang dituju tidak jelas, atau tidak tegas
dijadikan acuan arah melangkah. Akhirnya di perjalanan
terombang-ambing oleh arah telunjuk orang. Bila tak sampai, maka
tidak bisa menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.
Karena
tingkat bahayanya itu, Islam menuntun ummatnya supaya
menghilangkan segala macam keraguan, utamanya dalam menentukan
jalan hidup. Al-Qur'an menuliskan, di antaranya:
"Kebenaran itu dari Rabb-mu, maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu-ragu." (Ali 'Imran: 60)
Islam
menghendaki sikap totalitas dari ummatnya. Kalau muslim ya
muslim, jangan kadang-kadang Islam kadang-kadang tidak. Yang
'kadang-kadang' ini dikatagorikan tetap sebagai bukan muslim.
Penyerahan diri kepada Allah sebagai wujud pengakuan kehambaan,
wajib dilakukan sepenuh hati. Tanpa itu tidak akan diterima
sebab masih tersirat di sana penyerahan diri kepada selain
Allah.
Manusia
hidup memikul konsekuensi, apapun jalan yang dipilihnya. Dan
akibat dari yang dilakukan seseorang, mutlak menjadi tanggung
jawabnya sendiri di hadapan Allah. Karena itu sangat fatal bila
semasa di dunia, seseorang tidak kunjung memiliki keyakinan
hidup. Apa nanti yang akan dijadikannya pembela di pengadilan
akhirat? Amalnya, tidak dilandasi niat yang pasti, karenanya
dinyatakan batal. Ia sendiri juga tidak siap menghadapi
kenyataan bahwa alam akhirat benar-benar ada, karena semasa di dunia ia
kadang-kadang masih mengira bahwa hidup ini hanya sekali saja.
Yakinlah
akan kebenaran Islam, karena hanya itu yang akan menyelamatkan
manusia. Sama-sama belum pernah mati, alangkah baiknya bila kita
mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Kepada yang
masih ragu-ragu akan adanya hari akhirat, bukankah lebih baik
meyakini keberadaannya sejak sekarang, ketimbang dikira tidak
ada tetapi ternyata nanti setelah mati, benar-benar ada? Allah
swt berfirman, "Sesungguhnya hari kiamat pasti akan
datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan
manusia tiada percaya." (QS. Al-Mu'min: 59)
Islam
mensyaratkan 6 hal untuk diyakini sebagai pondasi keimanan
seseorang. Setelah percaya kepada Allah sebagai Rabb, percaya
adanya malaikat Allah, percaya adanya kitabullah yang
benar-benar diturunkan untuk manusia, percaya adanya hari
akhirat, dan percaya kepada utusan-utusan Allah, manusia juga
dituntut untuk percaya kepada ketentuan (taqdir) Allah.
Kepercayaan ini wajib melekat dan benar-benar diyakini sepenuh
hati. Sebab bila belum yakin bahwa Allah mengutus rasul di muka bumi,
seseorang tidak akan bersedia mengikuti tuntunan Nabi. Bila belum
percaya bahwa isi kitab Allah seluruhnya benar, tidak mungkin
pula seseorang akan mengikuti petunjuk di dalamnya secara penuh.
Paling-paling
hanya akan memilih yang enak-enak dan menghindari yang
memberatkan. Orang demikian sama halnya dengan orang yang kafir,
yang tegas-tegas seratus persen tidak percaya.
Sebagai
penyakit, keraguan tergolong penyakit menular yang sangat
mengganggu kesehatan ruhani. Banyak orang yang ragu akan
kebenaran ini mewarnai kehidupan, kemudian menularkan
keraguannya kepada yang lain. Akibatnya jumlah orang-orang yang
ragu ini semakin banyak saja.
Ungkapan
orang yang ragu dengan kehidupan akhirat sering indah dan
memiliki daya tarik sangat kuat. Yang lebih berbahaya lagi kalau
dilengkapi sejumlah bukti dan ayat untuk mengokohkan
argumentasinya. Dengan kecenderungan manusia untuk mengejar
kenikmatan dunia, menyebarkan keraguan akan akhirat menjadi
lebih gampang. Manusia dibuat lupa, lewat berbagai kesibukan
yang menghabiskan waktu dan tenaganya.
Kadang
ungkapan itu terasa halus, namun tetap mengisyaratkan bahwa
keraguan telah menjiwainya. Misalnya tentang perlunya
keseimbangan dunia dengan akhirat. Penafsiran yang disodorkan
tentang masalah ini, kadang cenderung tendensius dengan hanya
mensyaratkan kaum muslimin hidup kaya di dunia agar bisa kaya di
akhirat. Bahasa-bahasa yang sudah lazim terdengar, kita tidak
boleh menjadi kelompok yang lemah sehingga akan dengan mudah
dikalahkan musuh. Dengan kekayaan kita menjadi kuat.
Tentu
saja pernyataan itu tidak keliru. Sebagai wujud tanggung jawab
keummatan hal itu betul saja, apalagi Rasulullah melalui
haditsnya juga lebih mencintai ummat yang kuat daripada yang
lemah. Yang menjadi masalah adalah karena terlalu sedikitnya
porsi hidangan yang mengantarkan kita kepada keyakinan tentang
kehidupan yang abadi. Bahkan terkesan uraian-uraian yang ada
menyangkut ke-akhiratan itu dibahas secara sambil lalu saja,
seolah-olah masalah akhirat adalah masalah yang ringan dan bisa
dilakukan secara sambilan.
Bukankah
kita layak bersedih bila ancaman siksa kubur maupun kabar-kabar
tentang hari akhirat ketika diceramahkan, malah diperlakukan
seperti lelucon? Mengapa berita tantang adzab yang pedih ketika
disampaikan kok jadi lucu? Mengapa tidak timbul rasa
kekhawatiran dan kecemasan, justru yang muncul adalah tawa
terbahak-bahak?
Bukankah
di kalangan para sahabat, yang telah melakonkan agama ini pada
periode awal, sekali mendengar kabar ini mereka menangis
tersedu-sedu dan beristighfar, agar dijauhkan dari apa yang
diancamkan? Pergeseran apa yang sedang terjadi dalam diri
manusia? Tidak mungkin wahyunya yang keliru. Kebenaran wahyu
sifatnya abadi sepanjang masa.
Ayat-ayat-Nya tetaplah suci dan
mulia sampai akhir zaman. Yang perlu dilakukan peninjauan,
adalah pada hati kita. Mungkin di sana telah bersarang berbagai
jenis penyakit. Kita mulai tidak yakin akan ancaman siksa
akhirat maupun pahala. Seakan-akan, karena selama di dunia kita
senantiasa bisa hidup enak, di akhirat tidak akan ada lagi kesusahan.
Keseimbangan
unsur dunia dengan akhirat tidak hanya diukur dari
'kesejahteraan'. Manusia dituntut untuk berupaya memenuhi
tuntutan hidupnya semasa di dunia, tetapi jangan sampai
melanggar aturan yang akan menyebabkannya celaka di akhirat.
Manusia juga tidak boleh menelantarkan hidupnya hanya dengan
alasan ingin mendapatkan akhirat, karena hal ini justru
bertentangan dengan ketentuan Allah swt.
Bahaya munafik.
Pada
awalnya, kelompok orang-orang yang ragu ini diketuai oleh
Abdullah bin Ubay pada zaman Rasulullah. Kelompok mereka
kemudian dikenal sebagai kaum munafik. Karena tidak punya
pendirian, mereka juga disebut sebagai kelompok plin-plan.
Menyatakan sebagai kafir tidak, tetapi membela kaum muslimin
juga tidak, karena tidak yakin akan kemenangan maupun janji
akhirat. Akhirnya, kelompok Abdullah bin Ubay menjadi pangkal
perselisihan antar ummat Islam karena hembusan fitnah dan analisisnya
atas hal-hal yang tidak diketahuinya secara pasti.
Tidak
mustahil penyakit seperti itu juga menimpa diri kita.
Sifat-sifat manusia yang serba pelupa, sombong, gemar pamrih
sekalipun dhaif, memang sangat rentan terhadap penyakit keraguan
dan (akhirnya) kekhawatiran. Karena informasi yang tendensius,
seseorang bisa berubah fikiran dan menjadi ragu-ragu.
Jangan-jangan... jangan-jangan.., begitu
pertimbangan-pertimbangan yang muncul.
"(Ingatlah)
ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di
dalam hatinya berkata, 'Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh
agamanya.'"(QS Al-Anfaal: 49)
Mungkin
secara terus-terang kita tidak pernah mengungkapkan 'pelecehan'
seperti ini. Akan tetapi ungkapan yang bernada 'tidak akan
beruntung kalau menekuni agama selalu' ini mengandung makna
tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh orang-orang
munafik dan orang-orang berpenyakit hati dalam ayat di atas. Ini
suatu kekeliruan yang hendaknya diluruskan.
"Dan
tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai
main-main dan sendau-gurau dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia." (QS Al-An'aam: 70)
Mari
tinggalkan keraguan. Kita geluti dan seriusi agama Allah
sebagai jalan satu-satunya menuju keselamatan dunia akhirat.
Ingatlah di majelis pengadilan oleh para malaikat nanti, tidak
akan ditanyakan warna apakah pakaian kita, pada pemilu memilih
gambar apa, apakah kita sudah pernah mencicipi nasi kebuli atau
belum, dan sebagainya. Yang harus kita pertaruhkan nantinya
adalah nurani kita sendiri, yang didukung oleh sikap hidup dan
konsistensi kita.
[Source : http://amier4exs.blogspot.com]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA