Ismail Hasani dari Setara
Institute menyebut ada 3 hal yang saling berkaitan yang menjadikan
intoleransi kian marak. Pertama, karena paham radikal itu memang ada.
“Dari dulu sudah eksis, misalnya DI/TII atau Negara Islam Indonesia,”
katanya. Paham ini kian menguat karena didukung 2 faktor lain, yaitu
konstitusi yang ‘bolong’ dan tidak adanya penegakan hukum atas tindak
pidana bagi mereka yang melakukan kekerasan.
“Kita
memang harus katakan bahwa kekerasan yang dilakukan sekelompok orang
terhadap kelompok lain itu adalah tindak pidana. Bukan lagi dakwah atau
menjaga nama baik agama,” kata Ismail. Celakanya, dalam berbagai kasus
kekerasan, hanya beberapa saja negara bertindak tegas dengan menjatuhkan
vonis (ringan). Misalnya, kasus kekerasan terhadap Aliansi Kebangsaan
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monas, yang pelakunya dihukum 1,5
tahun. Atau penusukan jemaat HKBP Ciketing, Bekasi, yang pelakunya
hanya dihukum 3 bulan.
Sementara, kekerasan
terhadap jemaah Ahmadiyah bebas. Demikian juga kasus GKI Yasmin, Bogor,
pemerintah seperti tidak punya nyali untuk menyelesaikannya. “Negara
seperti tidak punya kebijakan alternatif untuk menyelesaikan hal ini.
Bahkan bisa dibilang, negara unwilling dan unable untuk
menyelesaikannya,” imbuh Ismail.
Faktor ketiga
adalah memang ada sejumlah produk hukum yang nyata-nyata diskriminatif
dan dijadikan alat legitimasi. Kelompok-kelompok yang merusak masjid
Ahmadiyah, membubarkan kongres Kong Hu Cu atau menyegel gereja,
misalnya. Mereka merasa sah-sah saja karena mereka merasa berpartisipasi
dalam penegakan hukum. “Mereka memakai Pasal 28J (2) dalam UUD 1945
(yang diamandemen). Pasal ini memang membuka ruang dominasi kelompok
mayoritas. Kelompok mayoritas seolah-olah bisa menentukan aspirasi,”
kata Ismail.
Alissa Wahid, psikolog keluarga
dan anak, menambahkan, dalam kelompok mayoritas, secara otomatis muncul
peluang untuk menindas. Apalagi bila kita menggunakan prinsip kuantitas
dalam pengambilan keputusan, maka jebakan atas nama mayoritas menjadi
besar. “Saya jadi ingat ucapan Gus Dur, ‘Walaupun mayoritas, kalau
salah, ya, tetap salah.’ Menurut saya, pijakan kita seharusnya adalah
nilai kehidupan yang kita sepakati bersama, bukan sekadar jumlah suara.
Dan dalam hal Indonesia, nilai kehidupan itu adalah Pancasila,”
imbuhnya.
Kalau bicara mayoritas, dan di sini
mengarah pada umat Islam, itu karena kebetulan mayoritas di Indonesia
memang umat Islam. Padahal, yang ‘bermasalah’ bukan agamanya. “Dalam
Islam, Nabi Muhammad SAW menyusun Piagam Madinah, kesepakatan hidup
bersama berbagai suku dan agama saat itu. Itu justru menjadi teladan
bagaimana menjadi pihak yang berkuasa bisa menjadi saluran rahmat untuk
yang berbeda,” terang Alissa.
Ismail
menyetujui, bahwa ‘kesewenang-wenangan’ mayoritas ini tidak identik
dengan agama tertentu. Menurut Ismail, ada satu kawasan di Indonesia
Timur yang mayoritasnya nonmuslim, maka mendirikan masjid pun harus
‘tunduk’ pada aturan setempat, yaitu tidak boleh ada suara dari pengeras
suara yang terlalu keras.
Namun, Fajar Riza Ul
Haq, Direktur Eksekutif Maarif Institute, punya pengalaman menarik soal
relasi mayoritas minoritas di Flores dan Kupang. “Masyarakat di sana
tidak menganggap perbedaan agama itu sebagai persoalan. Bahkan, sekolah
Muhammadiyah mayoritas muridnya beragama Kristen. Sejak tahun ‘70-an,
pihak sekolah itu menyediakan guru agama untuk murid-muridnya,” jelas
Fajar. Menurut Fajar, apa yang terjadi di sana bisa menjadi cerminan
bersama.
[Source : femina]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA