Sebagian
besar kita telah menjalankan ibadah puasa berulah-berulang dalam
hidupnya. Sebagian bahkan telah melaksanakan ibadah tersebut sejak
kecil. Dalam tradisi keislaman di Indonesia, para orang tua mendidik dan
melatih anaknya berpuasa secara bertahap, yaitu disesuaikan dengan
waktu sholat di siang hari, mulai dari puasa Dhuhur, Ashar lalu maghrib.
Biasanya Puasa Dhuhur atau puasa sampai waktu adzan sholat Dhuhur untuk
melatih berpuasa anak-anak yang masih kecil berumur 6 atau 7 tahun,
lalu puasa Ashar untuk anak-anak yang lebih besar dan seterusnya
sehingga seorang anak mampu melaksanakan puasa sampai sehari penuh.
Menjalankan
kewajiban rukun Islam dan demi mendapatkan pahala dari Allah s.w.t.
adalah tujuan berpuasa yang selalu kita tanamkan dalam benak dan
kesadaran kita. Tujuan lain yang senantiasa kita ulang-ulang dalam
pelajaran fiqh puasa setiap tahun adalah bahwa puasa untuk membangun
rasa solidaritas terhadap kaum fakir miskin dengan ikut merasakan
pedihnya lapar dan dahaga. Itu semua adalah hasil dan manfaat ibadah
puasa yang sifatnya spiritual.
Namun
lebih dari itu sudahkah puasa yang kita lakukan menghasilkan sesuatu
yang riel dalam kehidupan sehari-hari kita? Pertanyaan tersebut sangat
penting untuk menggugah kesadaran kita, akan sejauh mana dampak ibadah
puasa yang kita laksanakan terhadap kehidupan kita sehari-hari. Banyak
dari puasa kita yang sejatinya hanyalah rasa lapar dan dahaga, sedangkan
manfaatnya belum kita rasakan. Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadist
yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah mengingatkan “Banyak dari orang
yang berpuasa, tetapi ia mendapatkan dari puasanya hanyalah rasa lapar
dan dahaga, dan banyak orang yang bangun malam mendirikan sholat tetapi
ia mendapatkan dari sholatnya tersebut hanyalah begadang dan bangun
malam” [h.r. Ahmad]
Dalam
kesempatan lain Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa tidak bisa
meninggalkan perkataan kotor dan tidak bisa menjauhi pekerjaan tercela,
maka tidak adsa gunanya baginya meninggalkan makan dan minum demi
Allah”. [h.r. Bukhari]
Kedua
pesan Rasulullah s.a.w. tersebut menegaskan bahwa dalam ibadah puasa
haruslah dihasilkan sesuatu yang riel dan positif bagi kehidupan ini.
Puasa haruslah mendatangkan pengaruh positif terhadap pelakunya, baik
pada dirinya pribadi, lingkungannya dan kehidupannya secara umum. Puasa
yang tidak menghasilkan apa-apa adalah puasa yang pasif.
Bahkan
sering kita dapati, selain pasif puasa kita juga konsumtif. Puasa yang
konsumtif adalah manakala pelaksanaan ibadah puasa justru mendongkrak
perilaku konsumerisme kita, sementara produktifitas kita menurun atau
stagnan. Nilai dan volume belanja kita melonjak tajam ketika bulan
Ramadhan, entah itu untuk kebutuhan makanan dan minuman maupun kebutuhan
lainnya, sedangkan kita cenderung malas-malasan bekerja, memperbanyak
tidur di siang hari dan kurang semangat melakukan aktifitas yang
bermanfaat. Perilaku konsumerisme yang berlebihan ini yang secara tidak
langsung menaikkan inflasi sehingga memberatkan masyarakat kecil yang
kurang mampu serta di lain pihak mengikis rasa empati yang selayaknya
tumbuh subur dengan beribadah puasa.
Maka
selayaknya kita melakukan transformasi dari puasa kita yang masih
konsumtif menuju puasa yang produktif. Puasa yang produktif menakala
ibadah puasa kita menghasilan hal-hal positif yang riel dan dirasakan
oleh sekeliling kita. Puasa kita menghasilkan perilaku-perilaku yang
lebih baik dalam pola hidup masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan
mereka. Puasa yang produktif manakala mampu menghembuskan semangat dan
etos kerja yang tinggi di kalangan usahawan dan pekerja muslim. Dan
puasa yang produktif manakala individu-individu muslim mampu memberikan
kontribusi positif untuk lingkungan dan kehidupannya.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA