Share Info

16 August 2012

Kekerasan = Sindrom Mayoritas?

Ismail Hasani dari Setara Institute menyebut ada 3 hal yang saling berkaitan yang menjadikan intoleransi kian marak. Pertama, karena paham radikal itu memang ada. “Dari dulu sudah eksis, misalnya DI/TII atau Negara Islam Indonesia,” katanya. Paham ini kian menguat karena didukung 2 faktor lain, yaitu konstitusi yang ‘bolong’ dan tidak adanya penegakan hukum atas tindak pidana bagi mereka yang melakukan kekerasan. 

“Kita memang harus katakan bahwa kekerasan yang dilakukan sekelompok orang terhadap kelompok lain itu adalah tindak pidana. Bukan lagi dakwah atau menjaga nama baik agama,” kata Ismail. Celakanya, dalam berbagai kasus kekerasan, hanya beberapa saja negara bertindak tegas dengan menjatuhkan vonis (ringan). Misalnya, kasus kekerasan terhadap Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monas, yang pelakunya dihukum 1,5 tahun. Atau penusukan jemaat HKBP Ciketing, Bekasi, yang pelakunya hanya dihukum 3 bulan.

Sementara, kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah bebas. Demikian juga kasus GKI Yasmin, Bogor, pemerintah seperti tidak punya nyali untuk menyelesaikannya. “Negara seperti tidak punya kebijakan alternatif untuk menyelesaikan hal ini. Bahkan bisa dibilang, negara unwilling dan unable untuk menyelesaikannya,” imbuh Ismail.

Faktor ketiga adalah memang ada sejumlah produk hukum yang nyata-nyata diskriminatif dan dijadikan alat legitimasi. Kelompok-kelompok yang merusak masjid Ahmadiyah, membubarkan kongres Kong Hu Cu atau menyegel gereja, misalnya. Mereka merasa sah-sah saja karena mereka merasa berpartisipasi dalam penegakan hukum. “Mereka memakai Pasal 28J (2) dalam UUD 1945 (yang diamandemen). Pasal ini memang membuka ruang dominasi kelompok mayoritas. Kelompok mayoritas seolah-olah bisa menentukan aspirasi,” kata Ismail.

Alissa Wahid, psikolog keluarga dan anak, menambahkan, dalam kelompok mayoritas, secara otomatis muncul peluang untuk menindas. Apalagi bila kita menggunakan prinsip kuantitas dalam pengambilan keputusan, maka jebakan atas nama mayoritas menjadi besar. “Saya jadi ingat ucapan Gus Dur, ‘Walaupun mayoritas, kalau salah, ya, tetap salah.’  Menurut saya, pijakan kita seharusnya adalah nilai kehidupan yang kita sepakati bersama, bukan sekadar jumlah suara. Dan dalam hal Indonesia, nilai kehidupan itu adalah Pancasila,” imbuhnya.

Kalau bicara mayoritas, dan di sini mengarah pada umat Islam, itu karena kebetulan mayoritas di Indonesia memang umat Islam. Padahal, yang ‘bermasalah’ bukan agamanya. “Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW menyusun Piagam Madinah, kesepakatan hidup bersama berbagai suku dan agama saat itu. Itu justru menjadi teladan bagaimana menjadi pihak yang berkuasa bisa menjadi saluran rahmat untuk yang berbeda,” terang Alissa.

Ismail menyetujui, bahwa ‘kesewenang-wenangan’ mayoritas ini tidak identik dengan agama tertentu. Menurut Ismail, ada satu kawasan di Indonesia Timur yang mayoritasnya nonmuslim, maka mendirikan masjid pun harus ‘tunduk’ pada aturan setempat, yaitu tidak boleh ada suara dari pengeras suara yang terlalu keras.

Namun, Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif Maarif Institute, punya pengalaman menarik soal relasi mayoritas minoritas di Flores dan Kupang. “Masyarakat di sana tidak menganggap perbedaan agama itu sebagai persoalan. Bahkan, sekolah Muhammadiyah mayoritas muridnya beragama Kristen. Sejak tahun ‘70-an, pihak sekolah itu menyediakan guru agama untuk murid-muridnya,” jelas Fajar. Menurut Fajar, apa yang terjadi di sana bisa menjadi cerminan bersama.
[Source : femina]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month