Share Info

29 August 2012

Kekecualian Linguistik

Keteraturan matematis dan paradigmatis dalam bahasa adalah sesuatu yang mustahil dan karena itu belajar bahasa harus bersiap menghadapi beragam kekecualian.

Ilustrasi

Para pengguna bahasa tak menyadari bahwa sejumlah kekecualian itu sebenarnya sebuah anomali, melawan logika kebahasaan. Pengguna bahasa tak mempertanyakan lagi hukum janggal dalam beberapa aspek kebahasaan itu.

Mari  simak aturan dalam pembentukan frasa berlandaskan dalil "diterangkan menerangkan" (DM) yang berlaku dalam bahasa Indonesia.  Dalil itu menghasilkan frasa "anak cerdas", "pacar pertama", "kereta terakhir" . Dalam deretan contoh ini, nomina "anak", "pacar" dan "kereta" adalah elemen yang "diterangkan" sedangkan unsur yang "menerangkan" adalah ajektif "cerdas", "pertama" dan "terakhir".

Apakah dalil itu berlaku mutlak? Ya nggak lah. Anda pasti acap mendengar atau membaca frasa populer ini: "perdana menteri".  Jelas ini bukan rumusan berdasar dalil DM, tapi MD yang sepantar dengan aturan dalam bahasa Inggris, "prime minister". Di masa Orde Lama, ketika Indonesia mengikuti demokrasi parlementer, istilah "perdana menteri" itu sudah merakyat. Di saat itu pula,   publik tentu memiliki seorang pejabat yang bergelar "waperdam" atau wakil perdana menteri.

Meski Orde Baru berambisi mengikis habis semua yang berbau Orde Lama, istilah "perdana menteri", yang tersohor dengan singkatan PM,  tak terkena imbas ambisi itu. Indonesia memang tak lagi mempunyai  PM, tapi media massa, cetak maupun elektronik,  di rubrik politik internasional mengabadikan "perdana menteri" saat menerjemahkan berita luar negeri ketika  merujuk "prime minister".
resmi tak menyediakan nomina "perlatihan".

Untuk merujuk ke nomina yang diturunkan "berlatih", pengguna bahasa dipersilakan memakai "latihan". Begitulah kekecualian. Tapi kekecualian ini bisa dilawan dengan sikap memberontak dari para menulis dan jurnalis. Mereka bisa menggunakan nomina "perlatihan" karena bentuk ini sangat potensial. Ini untuk membedakan dari  nomina "pelatihan" yang diturunkan oleh "melatih".

Kekecualian linguistik juga berlangsung pada mandala relasi bentuk dan makna bahasa. Di segi relasi bentuk dan makna inilah para penutur bahasa asing yang hendak belajar bahasa Indonesia juga dituntut kehati-hatian ekstrakeras. Masalah utamanya terletak pada belum tersediannya kamus eka bahasa Indonesia yang secara komprehensif memberikan kategorisasi kelas kata di setiap entri dan penjelasannya. "me-kan" pada kata dasar yang melahirkan verba, untuk beberapa kasus justru melahirkan ajektif dan adverbial.

Apakah kekecualian kebahasaan itu bisa dijelaskan secara ilmiah? Kalangan linguis pasti  menjawab bisa. Penjelasan itu bisa berlandaskan perspektif historis, bisa juga berdasarkan teori linguistik yang penjelasannya penuh dengan jargon ilmiah, yang bagi orang kebanyakan hanya bikin pening kepala.  Mau contoh?  Inilah kasus menarik: sampai saat ini, para pengguna bahasa Indonesia yang tidak belajar tentang ilmu bahasa acap menyamakan makna "permukiman" dan "pemukiman".  Rupanya mereka tidak salah karena Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang disusun Hasan Alwi dan kawan-kawan edisi 1998 menyatakan dua kata itu bermakna sama meskipun yang pertama diturunkan dari "bermukim", dan yang kedua dari "memukimkan".
Bagaimana bentuk yang berbeda tapi dimaknai sama itu dijelaskan oleh ahli bahasa? Inilah uraian singkat Abdul Chaer, dosen bahasa di Universitas Negeri Jakarta tentang pertanyaan di atas. `Konfiks "pe-an" sebagai sebuah morfen tidak ada. Yang ada konfiks "peng-an" dan "per-an". Bentuk "pe-an" hanyalah sebuah alomorf, anggota morfem yang sudah ditentukan posisinya.

Penjelasan njlimet atau rumit, itu bisa dijelaskan secara simpel:  imbuhan  "pe-an"  sebenarnya taka ada. Meskipun tak ada, bolehlah diada-adakan, dan posisinya sudah ditentukan, yakni di  morfem  imbuhan "peng-an" maupun "per-an".  Jadi ajaib juga fenomena ilmu bahasa ini.  Artinya: sesuatu yang tidak ada, masih  bisa diadakan, dan keberadaannya bisa di dua tempat yang  berbeda.

Begitulah sekilas tentang kekecualian linguistik dalam bahasa Indonesia. Mereka yang bergumul dalam linguistik  memastikan bahwa semua bahasa di dunia ini, yang konon  jumlahnya  tak lebih  dari lima ribu, memiliki unsur kekecualian itu.

[Source : kompas.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month