Sama halnya dengan kecanduan obat terlarang, kecanduan seks juga susah disembuhkan. Seorang perempuan di Miami, Amerika Serikat berharap pernikahan bisa menyembuhkannya, namun ternyata gagal. Berikut ini sekilas tentang kisah hidupnya.
Jenifer, bukan nama sebenarnya, telah bertahun-tahun mengalami kecanduan seks. Secara fisik gaya hidup perempuan 36 tahun asal Miami tersebut sebenarnya cukup sehat, bebas dari kecanduan alkohol maupun obat terlarang.
Kecanduan seks yang dialami Jenifer tidak membuatnya ingin bercinta asal-asalan, misalnya dengan orang asing yang ditemuinya di jalan atau di internet. Ia tetap menjalin hubungan personal yang intens, hanya saja ia melakukannya dengan berganti-ganti pasangan.
Jenifer sempat berpikir jika menikah, maka dirinya akan sembuh dan tidak berpikir untuk berhubungan seks dengan pria lain lagi. Akhirnya ia berusaha untuk setia pada satu pasangan, lalu menikah dengan pria beruntung tersebut pada Januari 2000.
Namun harapan Jenifer untuk sembuh tidak terwujud, karena pada 3 bulan kemudian ia kembali berselingkuh dengan pria lain. Meski Jeniffer mengakui suaminya adalah pria yang sangat baik, namun ia merasa tidak terpuaskan dalam berhubungan seks.
Sambil tetap menjalani pernikahannya, Jenifer telah menjalin hubungan terlarang dengan 2 pria lain. Hubungan gelap itu berlangsung dalam jangka yang relatif panjang, masing-masing 2 tahun dengan jeda dari selingkuhan pertama ke selingkuhan kedua hanya 4 bulan.
Jenifer menyadari bahwa perilaku seksual seseorang bisa dipengaruhi oleh kehidupan masa lalunya. Demikian juga dirinya, yang ketika kecil pernah mengalami pelecehan seks di rumahnya yang luas, di salah satu kamar yang jaraknya 6 kamar dari ruangan ayahnya.
Diakui oleh Jenifer, pengalaman traumatis itu turut membentuk fantasi dan cara dia mendapatkan kepuasan seksual. Dengan selingkuhan-selingkuhannya, Jenifer akan sangat terpuaskan jika bercinta di lokasi yang posisinya tidak terlalu jauh dari tempat suaminya berada.
Perempuan yang sangat tersiksa dengan kecanduan seksnya itu sebenarnya sudah pernah menjalani terapi setidaknya 2 kali pada periode tahun 1990-an, yakni sebelum ia menikah. Namun para terapis dianggapnya tidak berusaha memahami masalah dan hanya memberi saran sederhana seolah ia hanya kecanduan alkohol.
"Mereka menyarankan agar saya masturbasi saja dan jangan berhubungan seks dengan para pria. Mereka benar-benar tidak memahami masalahnya, dan sekarang saya tahu bahwa seorang terapis tidak seharusnya berkata demikian," ungkap Jenifer seperti dikutip dari Health, Selasa (23/8/2011).
Penderitaan Jenifer memuncak ketika suaminya memergoki email-email perselingkuhannya, lalu mengumpulkannya jadi satu dan mengirimkannya ke orangtua dan kakek neneknya. Suaminya marah dan berniat menceraikannya, dengan bukti berupa email-email yang telah ia kumpulkan tersebut.
Jenifer berusaha membela diri dan untuk pertama kalinya ia mengucapkan kata-kata yang menyiratkan sebuah pengakuan yakni, "Saya kecanduan seks." Sebuah kalimat yang selama ini sulit ia ucapkan karena selalu dibayangi oleh pengingkaran atas kondisi yang sebenarnya ia alami.
Sebuah pengakuan yang berat, namun sangat bermakna dalam perjalanan hidup Jenifer berikutnya. Pendek kata ia jadi lebih berani mengakui kondisinya, lalu bergabung dalam sebuah perkumpulan para pecandu seks yang didampingi oleh seorang psikolog.
Dalam perkumpulan tersebut, Jenifer dan rekan-rekan sesama pecandu seks yang sebagian atau hampir seluruhnya adalah pria itu sama-sama menjalani 12 sesi terapi. Sesi yang lebih banyak diisi dengan sharing dan perenungan ini lambat laun dapat mengurangi ketergantungan Jenifer terhadap seks.
Jika semula Jenifer menganggap seks adalah kebutuhan hidup yang lebih penting dari makan dan minum, kini ia mulai bisa menerima bahwa tidak setiap waktu para pria suka diajak bercinta. Ia mulai memahami bahwa ada kalanya para pria juga bisa kelelahan untuk melakukan aktivitas tersebut.
Meski sulit bagi Jenifer untuk selalu berpikir seperti itu, ia tetap berusaha karena bagaimanapun ia ingin sembuh total. Meski harus berdamai dengan kenangan pahit di masa lalu, Jenifer akhirnya rujuk kembali dengan suaminya yang dulu pernah menceraikannya.
Tanda-tanda Kecanduan Seks
Kecanduan seks adalah sebuah penyakit yang sama dengan penyakit candu lainnya seperti kecanduan alkohol atau obat-obatan. Tidak sedikit waktu yang dibutuhkan untuk mengobati seorang pecandu seks.
Menurut Maureen Canning, seorang konsultan klinik dari Meadows Addiction Treatment Center, Arizona, untuk benar-benar menyembuhkan seorang pecandu seks dibutuhkan waktu 2 hingga 5 tahun terapi.
"Terapi kecanduan seks bukan ditujukan untuk menghilangkan hasrat seks seumur hidup, tapi untuk bisa belajar bagaimana melakukan seks dengan benar dan senang," kata Canning.
Kecanduan seks bukan sekedar penyakit akibat tak bisa menahan godaan atau rangsangan seksual saja, tapi juga karena ketidakberdayaan untuk mengontrol perilaku. Bahkan menurut ahli psikologi, kecanduan seks kini dikategorikan sebagai penyakit saraf.
Berikut ini beberapa peringatan awal yang harus diwaspadai sebagai tanda-tanda kecanduan seks, seperti dikutip dari Lifemojo;
1. Menggunakan seks untuk menghilangkan perasaan negatif hingga bisa mendapatkan kesenangan sementara
2. Menyembunyikan perilaku seksual dari pasangan
3. Semua efek sakit dari pekerjaan, hubungan dengan orang lain atau kehidupan sehari-hari akibat obsesi terhadap seks
4. Menyadari bahwa hubungan seks yang dilakukan bisa menjadi masalah jika diketahui oleh publik
5. Ketidakmampuan untuk berhenti dari kehidupan seksual rahasia yang berbahaya secara permanen
6. Melakukan masturbasi secara kompulsif (berulang-ulang) dan melakukan seks yang tidak aman
Ada pula beberapa perilaku khas yang dimiliki oleh seorang pecandu seks seperti:
1. Memiliki keasyikan tersendiri dengan seks sepanjang waktu
2. Menjadikan aktivitasnya sebagai salah satu ritual
3. Meskipun menyadari bahwa tindakannya salah, para pecandu akan mampu mengubah perilakunya tapi tetap melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA