Barangkali pertemuan pertama orang Belanda dengan perbudakan terjadi dalam konteks kehidupan sehari-hari di Batavia. Siang hari, segala kebutuhan lelaki Belanda dipenuhi oleh para budak yang melayaninya.
Di malam hari, lelaki-lelaki yang kesepian itu minta dipeluk pula oleh budak-budak perempuan. Dalam waktu singkat, lahirlah anak-anak pertama dari para majikan Belanda dan budak-budak perempuan.
Sesuai dengan aturan-aturan dalam hukum Romawi yang diacu VOC untuk menghadapi perbudakan di Nusantara, anak-anak keturunan majikan Belanda dan budak perempuan menjadi budak pula (mengikuti garis keturunan ibu).
Masalah pertama pun segera muncul (lihat F. De Haan. Oud Batavia. Batavia: G Kolff & Co. 1922). Ketika sang ayah kembali ke Negeri Belanda atau meninggal, anak-anak itu dan ibu mereka ditinggal begitu saja. Anak-anak yang berstatus budak itu dapat dijual oleh orang lain atau ibunya sendiri.
Pada abad ke-18, VOC membuat peraturan baru. Anak-anak yang lahir dari ayah Belanda dan ibu budak tidak lagi dianggap berstatus budak. Di kemudian hari, sang ibu pun kemudian dibebaskan dari status sebagai budak dan tidak dapat diperjual-belikan lagi. Anak-anak itu juga berhak belajar di sekolah milik VOC. Siapa sangka, keturunan budak merupakan orang-orang pertama di nusantara yang mengenyam pendidikan Barat?
Perubahan status ibu dan anak itu serta pendidikan yang diberikan kepada keturunan majikan Belanda dengan budak perempuannya bukanlah dilakukan atas dasar kebaikan hati. Pemerintah Batavia memerlukan `rakyat' yang loyal dan tenaga kerja yang dapat dipercaya dan terampil.
Dengan demikian, walau kedudukan para budak seolah bertambah baik, pada hakekatnya mereka tetap dianggap sebagai benda belaka. Budak yang ditinggal mati oleh majikannya terdaftar dalam boedel atau harta waris dan dapat dilelang atau dijualkan lagi, kecuali bila sang majikan memberikan kemerdekaan kepada budak-budaknya melalui sebuah akta waris.
Cara lain untuk mengikat kesetiaan para budak adalah dengan membaptis mereka menjadi Kristen. Budak-budak yang sudah dibaptis (terutama keturunan budak perempuan dengan majikan Belandanya) diterima sebagai anggota gereja Protestan Belanda dan biasanya kemudian diberi kemerdekaan oleh majikannya itu.
Walaupun kehidupan mereka jauh dari nirwana, budak di Batavia mempunyai berbagai hak, yang kadangkala terkesan aneh. Budak yang terampil dalam keahlian tertentu, dengan izin majikannya, diperbolehkan memiliki toko, membuat akta waris dan bahkan, juga diizinkan memiliki budak sendiri! Schoenmakersgilde (persatuan perajin sepatu) mengeluh bahwa anggota-anggotanya harus bersaing dengan budak-budak yang terampil membuat sepatu.
Lucunya, budak-budak itu sendiri berhak menjadi anggota Schoenmakersgilde itu bila telah lulus ujian tertentu!
Para budak di Batavia berhak membeli kemerdekaannya sendiri. Secara teoretis, hal ini dapat dilakukan bila seorang budak mempunyai keterampilan dan dapat menafkahi diri sendiri dengan keterampilannya itu. Akan tetapi, berapa banyak budak yang sungguh dapat membeli kemerdekaannya sendiri? Entahlah. Tak ada datanya.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA