Tahun Baru 2011 sudah berada di hadapan kita. Saat paling tepat untuk menyisihkan waktu khusus dalam berkontemplasi, introspeksi diri, menilai diri, serta menjadi momen refleksi paling tepat bagi perbaikan perilaku pada tahun-tahun mendatang. Untuk itu, marilah kita menarik pelajaran dari cerita tentang penggorengan antigores di bawah ini:
Suatu saat saya berkunjung ke rumah kakak saya dan saya mengajaknya ke pasar swalayan untuk mencari penggorengan antigores. Saya memilih salah satu penggorengan yang digantung di salah satu sudut gerai. Kakak saya melarang saya mengambil penggorengan tersebut dan mengatakan bahwa merek yang saya pilih kualitasnya tidak baik. Menurut dia, hanya beberapa kali di pakai, lapisan teflonnya akan terkelupas secara bertahap.
Dia tidak hanya menjelaskan tentang kualitas lapisan teflon, tetapi dengan nada penuh percaya diri dia juga menjelaskan bagaimana lapisan teflon dibuat dan bahaya menggunakan penggorengan yang lapisannya mulai mengelupas bagi kesehatan makanan yang digoreng. Tadinya saya terdiam dan mau menuruti nasihatnya, tetapi tiba-tiba saya kesal dan marah, ”Siapa yang minta nasihat dia?” Mengapa dia selalu merasa dirinya benar? Mengapa dia selalu merasa tahu segalanya dan bersikap seperti seorang ahli?
Duh, kesal rasanya ingin saya memukulkan penggorengan yang saya pegang ke kepalanya, tetapi saya tidak berani. Untuk menunjukkan kekesalan saya, saya bergegas ke kasir dan membayar penggorengan yang saya pilih itu.
Namun, apa yang saya alami kemudian, apa yang dikatakan kakak saya itu benar. Tidak seberapa lama penggorengan tersebut mengelupas lapisan teflonnya. Karena ingat akan penjelasan bahaya lapisan teflon untuk kesehatan bila tercampur dengan makanan yang kita masak, saya buang penggorengan tersebut.
Ketika saya menceritakan pengalaman saya kepada sahabat saya, si K (34) dan ibunya (60), K mengatakan, ”Wah, coba aku punya kakak seperti itu, senang sekali, saya bisa belajar banyak dari kakakmu. Saya pasti belajar banyak tentang alat-alat masak yang dilapisi teflon.” Kemudian dengan jujur K berkata, ”Bahwa kalau saya jadi kamu, saya akan menyimak penjelasan kakak, jadi saya bisa belajar banyak tentang manfaat dan bahaya teflon.” Ternyata reaksi K sama dengan reaksi ibunya.
Saat itu, serta-merta saya benar-benar mendapat pelajaran dari reaksi positif K dan Ibu terhadap sikap dan nasihat kakak tersebut sehingga akhirnya saya bertanya kepada diri sendiri, mengapa saya begitu marah? Mengapa kemarahan saya membuat saya tidak mampu melihat sisi baik dari penjelasan tentang lapisan teflon dari kakak saya?
Ternyata kemarahan saya merupakan salah satu upaya saya untuk menyadarkan kakak bahwa dia tidak selalu harus menunjukkan dirinya lebih pintar, dia jangan terlalu ”sok-tahu”, dan memberi nasihat tanpa diminta. Kemudian saya bicara dengan kakak dan menyatakan kepada kakak untuk mengubah sikapnya, yaitu agar bila tidak diminta, jangan memberi nasihat.
Untuk membuat kakak juga memahami tuntutan saya tersebut, maka saya menjelaskan pengalaman saya dalam peran sebagai seorang adik. Di rumah kami dulu, kakak selalu dinilai paling hebat, semua mengagumi kakak, Bapak-ibu bangga dengan kakak. Kakak dikatakan sebagai kakak yang baik, penolong, dan selanjutnya, sementara sebagai adik, saya selalu berada dalam posisi yang lebih rendah dan harus ditolong.
Terciptalah dinamika relasi, aksi kompetensi-reaksi inkompetensi antara pihak kakak dan pihak saya sebagai adik. Terciptalah aksi-reaksi yang menunjukkan korelasi yang negatif sebagai berikut: aksi kakak semakin tampak kompeten dan reaksi saya semakin tampak tidak kompeten. Walaupun demikian, relasi antara saya dan kakak sebenarnya sangat penting bagi upaya saya untuk justru mendapatkan keseimbangan diri.
Apa yang mungkin dapat membantu saya keluar dari situasi ini? Saya mencoba menganalisis sesuatu yang mungkin tampak aneh, yaitu karena kakak begitu baik dan begitu penolong, ternyata sangat penting dan sangat berarti bagi kehidupan saya. Untuk itu, kecuali saya mengungkap dengan terus terang kepada kakak bahwa saya benci dan iri hati terhadap posisi positifnya dalam keluarga, saya juga iri hati pada kompetensi yang eksesif tersebut.
Kemudian, saya meminta kakak untuk mengubah perilakunya terhadap saya, dengan mengatakan bahwa hal itu tidak berarti bahwa caranya menolong saya saat yang lalu adalah salah atau buruk, tetapi hendaknya kakak juga membantu saya untuk membuat diri saya justru lebih bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Dalam hal ini, saya meminta kakak mau mengubah dinamika aksi-reaksi yang lalu dengan dinamika yang baru.
”Bagaimana caranya?” tanya kakak. Saya mengatakan bahwa saya ingin berperan sebagai penasihat kakak. Ternyata kakak mau juga membagi kesulitannya kepada saya dan ternyata terjadi kenyataan bahwa pendapat dan nasihat saya dihargai kakak.
Dengan berjalannya waktu, saya tidak merasakan lagi perasaan direndahkan dan mulai hari ini saya menghargai nasihatnya tanpa merasa direndahkan dan dilecehkan tidak saja dalam mengatasi berbagai persoalan yang saya hadapi, tetapi juga termasuk nasihatnya dalam memilih penggorengan berlapis teflon.
Ternyata kemarahan saat membeli penggorengan teflon yang lalu bisa menjadi sarana bagi upaya perubahan dinamika interelasi antara kakak dan adik. Korelasi interaksi yang baru tersebut menunjang peningkatan optimasi fungsi mental tiap-tiap pihak yang berrelasi. Mengapa tidak kita lakukan hal yang sama saat menapakkan kaki kita pada Tahun Baru ini?
Selamat Tahun Baru 2011.
[Source : Kompas]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA