Share Info

26 January 2011

Aku Dan Anakku

Jika ditanyakan kepadaku, moment apa yang paling mengesankan bersama anakku? Aku tentu akan berpikir sangat keras. Sebab semua moment begitu mengesankan. Tidak ada yang paling. Semuanya hebat, semuanya dahsyat dan, ini yang penting, semua moment bersamanya menyisakan suatu pelajaran berharga yang bisa kuambil.
Begitu banyak hal yang dilakukan dan diucapkan olehnya, menjadi suatu ilmu baru bagiku. Sebagai satu contoh, ketika aku berkata, “mama punya sebuah karet, lho, nak,”. Diluar dugaanku dia bertanya, “memang karet itu buah-buahan?,”.

Ups. Bisa dibayangkan wajahku yang terlihat bingung karena celoteh pertanyaannya yang ringan tetapi berbobot. Iya ya, darimanakah karet itu berasal. Lantas aku mencari tahu lewat “Mbah Google”. Wah, memang “Mbah Google” nomor wahid dalam pengetahuan abad ini. Lewat browsing, aku jadi tahu kalau karet berasal dari getah pohon karet yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi berbagai macam benda seperti ban mobil, wadah plastik dan lain sebagainya.

Aha, kini aku ingat. Ada dua buah moment yang, katakanlah tidak begitu indah, mengharukan malah. Tetapi sejak saat itu, anakku dan aku semakin tidak terpisahkan.

Sejak berumur 7 bulan, anakku sudah ditinggal oleh bapak kandungnya. Ya, karena ke-egoisan aku dan mantan suamiku itu, akhirnya kami sepakat bercerai dan hidup terpisah. Meski demikian aku dan mantan suamiku sepakat untuk tetap memberikan si kecil kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya. Aku selalu mengijinkan mantan suamiku bila ia ingin bertemu anaknya.

Saat itu usianya sudah hampir 3 tahun. Dia sudah banyak mengerti segala hal, termasuk apa artinya keluarga.

Kami sering bermain ke rumah tetangga sebelah, sebab tetanggaku mempunyai anak-anak yang sebaya dengan anakku. Saat bermain itulah, tiba-tiba si kecil menghentikan langkahnya ke sebuah lemari buffet berukuran sedang. Setinggi tubuhnya. Matanya tidak henti menatap sebuah foto yang didalamnya terpampang wajah tetanggaku, suaminya dan kedua anaknya. Mereka tersenyum bahagia dengan pelataran kebun teh di daerah Puncak, Jawa Barat.

Ia mengambil foto tersebut dan mengamatinya sangat lama. Aku serasa berhenti bernafas. Kupandangi perubahan wajah anakku, dari tertawa setelah bermain menjadi sedikit sedih. Aku tahu dia sedih karena tak berapa lama ia menghampiri aku dan memelukku lama sekali.

“Ma..,” ia langsung memanggil namaku. Suaranya pelan dan sedikit tergetar. Ingin rasanya tumpah semua air mataku yang telah menggumpal di sudut kelopak. Aku menggendong anakku dan mengajaknya pulang.

Pelan-pelan kuatur nafas dan kualihkan pikirannya ke buku mewarnai bergambar tokoh “Thomas And Friends” yang disukainya. Sedikit demi sedikit senyumnya mulai mengembang lagi. Ketika perhatiannya sudah beralih, aku berjingkat menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara. Aku merasa gagal memberikan sebuah keluarga utuh dan kasih sayang yang lengkap kepada darah dagingku.
Di tengah tangisku, ternyata anakku memanggilku. “Ma…” katanya. Buru-buru kuseka air mata yang masih deras. Pintu kamar kubuka dan aku berusaha tersenyum se-natural mungkin, seolah tidak terjadi apa-apa. Tetapi, diluar dugaanku, putraku tahu bahwa aku habis menangis.

“Mama nangis, ya?” begitu tanyanya.

Aku menggeleng, berusaha menutupi atas apa yang terjadi. “Mama tidak menangis, kok. Mama punya anak yang manis dan berbudi baik. Mama sangat gembira,” kataku sambil tersenyum. Kupeluk tubuh putraku dengan erat dan kami mulai bermain lagi seperti biasa.

Begitu kejadian pertama.

Kejadian kedua lebih menohok dan membuatku tak kuasa untuk berlinang air mata.

Sore itu, aku dan anakku hendak bermain sepeda. Kedua teman sebayanya tadi ikut bergabung mengayuh sepeda dengan gembira. Tiba-tiba si bungsu dari keluarga tersebut berlari kearah seseorang sembari berteriak, “Ayahhhh…”.

Ternyata bapak kedua anak tadi baru saja pulang bekerja dan mereka pun menyambutnya. Si bungsu tadi langsung dipeluk sang ayah dan bermain dengan melemparkannya ke udara. Anakku yang sedang bermain sepeda langsung saja berhenti. Dia melihat kejadian tersebut dengan mata yang nanar. Aku tahu persis dia menahan sedih. Sontak ia kayuh sepeda roda empatnya dan menghampiriku, lalu memelukku sangat erat sembari menitikkan air mata.
Batinku sakit sekali melihat putraku menangis. Aku segera membawanya masuk kedalam rumah. Kupeluk erat anakku dan tangisannya semakin keras. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menenangkannya.
Setelah reda tangisnya, aku menatap mata putraku dalam-dalam.

“Apa kamu mencintai mama?” tanyaku

“iya, ma. Aku sayang sama mama,” tuturnya.

“Kalau kamu sayang sama mama, berhenti menangis, ya.” Ucapku sembari mengelus kepalanya.

Ia mengangguk dan nangisnya benar terhenti. Senyumnya mengembang saat ia melihat senyumku.
“Anakku sayang, kamu tidak perlu sedih, ya. Mama dan Papa sangat menyayangimu. Papa memang tidak tinggal bersama kita lagi, tetapi Papa bisa kesini setiap saat dan memeluk kamu. Kalau hari ini tidak datang, mungkin Papa sedang sibuk bekerja. Tetapi percayalah bahwa papa akan datang untukmu,” jelasku perlahan. Si kecil pun mengangguk tanda mengerti meski belum sepenuhnya.

Sejak saat itu, aku dan anakku seolah menjadi dua orang yang tak mau terpisahkan. Ia tahu bahwa untuk saat ini, hanya mamanya-lah yang ia miliki sehingga dia menjadi lebih dekat kepadaku. Aku pun berusaha memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk menemani tumbuh kembangnya sehingga dia tidak kekurangan apapun, terutama kasih sayang. Kini usianya sudah lebih dari 4 tahun dan dia sudah bisa menyikapi dengan baik bila peristiwa serupa terjadi. Biasanya dia akan langsung memelukku dan berkata, “aku sayang sama mama,”. Kali ini tanpa mata yang nanar dan tanpa air mata yang menitik.

[Source : Kisah by Perempuan.com]

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month