Alkisah ada sebuah peristiwa di negeri Uthopia dahulu kala. Kehidupan di negeri itu sungguh adil, damai dan tenang pula. Setidaknya demikianlah yang dirasakan para penduduk dan rajanya selama sekian lama.
Namun pada suatu ketika ada sebuah ujian penting dari seorang raja yang menuntut sikap dan keputusan penting dari para warganya pula. Singkat ceritanya kira-kira seperti ini:
Raja negeri Uthopia telah memikirkan sekian lama apakah harus membuat keputusan untuk memerintahkan rakyatnya untuk pindah ke daerah baru yang lebih menjanjikan bagi rakyatnya. Daerah lama yang menjadi pusat penduduk tidak lagi bisa diharapkan untuk kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Tanah sudah sedemikian tandus dengan curah hujan yang sangat sedikit serta aliran sungai yang tidak cukup. Selain itu daerah penduduk yang rawan dengan bencana dirasakan semakin tidak aman lagi bagi penduduknya. Selain itu mungkin masih ada pertimbangan lain yang membuat raja merancang keputusan itu dan akan mengeluarkannya segera.
Di tengah desas-desus antar warga setelah sekian lama, saat-saat yang yang dinanti-nantikanpun tiba. Walaupun dengan proses pro kontra dengan penasehat kerajaan, akhirnya raja mengeluarkan keputusan untuk meminta (bukan memerintah) warganya untuk exodus ke sebuah daerah baru di bagian sana. Dalam keputusan raja dibacakan beberapa pertimbangan yang mendasari keputusan itu sekaligus juga dikumandangkan rencana jangka panjang raja di daerah yang ‘menjanjikan’ itu.
Pada hari hijrah yang ditentukan, ternyata apa yang dikuatirkan beberapa penasehat raja benar-benar terjadi. Tidak semua warga mengikuti permintaan raja sehingga tidak sedikit warga yang tinggal di desa lama. Sebagian besar wargapun mengikuti perjalanan yang melelahkan dengan melewati hutan membuka jalan baru menembus dan akhirnya tiba di sebuah daerah yang dijanjikan sang raja. Bukan hanya itu saja, tetapi sekian lama warga harus banting tulang membuka desa dengan mencari bahan-bahan di hutan untuk membangun gubuk-gubuk dan rumah panggung untuk sementara, sambil menyiapkan lahan bercocok tanam dan segala kegiatan yang dibutuhkan untuk membuat sebuah desa tempat mereka bermukim dan memulai kehidupan baru.
Waktu yang mereka butuhkan cukup lama dan sepertinya baru setengah dari warga yang mengetahui bahwa sudah hampir seluruh rencana sudah terlaksana. Tinggal beberapa hal penting yang masih harus dilakukan agar semua kegiatan panjang sebelumnya bisa berwujud dan hasilnya dapat dirasakan warga.
Kegiatanpun tetap dilaksanakan disana sini. Rasanya semangat para warga tidak pernah kendor laksana api yang bersumber dari bumi yang selalu menyala-nyala.
Namun tibalah suatu ketika dimana warga di desa baru kedatangan bala bantuan yang tidak diharapkan sebagian besar warga. Keputusan raja untuk menerima bantuan dalam merampungkan beberapa pekerjaan dirasakan tidak berkenan bagi sebagian warga desa baru.
Bala bantuan yang datang adalah warga dari desa lama dianggap tidak perlu meskipun mereka telah yang lebih dulu menghadap raja dan menyesali tindakannya bahwa dulunya tidak mengikuti permintaan raja agar ikut bersama warga exodus ke daerah baru – tempat saat ini mereka diterima.
Sebagian besar warga desa baru mencibir dan sama sekali tidak menerima bantuan yang datang dengan alasan bahwa pekerjaan sudah berjalan sedemikian jauh serta tidak membutuhkan pahlawan kesiangan sebagaimana kedatangan mereka.
Usaha para pendatang untuk bisa membaur menyelesaikan pekerjaan nampaknya tidak bisa diterima dengan mudah. Walaupun mereka berjanji akan mau dijadikan sebagai pembantu bagi para penghuni desa baru nantinya.
Polemik tetap terjadi di tengah dua komunitas yang mulai terlihat ‘berbeda’. Namun segalanya tetap dalam perhatian raja, sehingga semua warga tetap melakukan pekerjaannya walaupun sebagian ada yang merasa dongkol dan sebagian ada yang merasa harus tetap mengambil hati dan memposisikan diri sebagai hamba bagi para tuannya. Tidak sedikit juga orang-orang yang dongkol dan akhirnya menunjukkan penurunan semangatnya dalam bekerja. Ada juga yang akhirnya tidak mau bekerja di saat harus bersatu dengan bala bantuan dari desa lama. Dan bahkan ada yang berhenti bekerja sama sekali karena keputusan raja menerima bantuan dari para penduduk desa lama tersebut.
Waktupun berlalu sekian lama dan akhirnya terciptalah sebuah desa impian yang dulunya hanya sebuah khayalan bagi warganya. Segala ‘infrastuktur’ yang layak pada saat itupun telah tersedia sedemikian indahnya di mata para warga. Namun ada hari yang ditunggu-tunggu semua warga – untuk mendengar keputusan raja terhadap pembagian gubuk-gubuk, sawah-ladang, area berburu, area pencarian ikan layaknya sebuah keluarga yang diberikan hal mengelola dan menikmati apa yang menjadi haknya.
Saat yang dinanti-nanti itupun akhirnya tiba. Raja memutuskan bahwa seluruh warga desa lama yang ikut bekerja – menyelesaikan pembuatan desa baru mempunyai hak yang sama dengan sebagian besar warga desa baru. Mereka diberikan lahan, gubuk dan area pengambilan ikan serta area berburu yang ukuran dan potensinya sama dengan warga desa baru. Dan yang lebih mengherankan warga adalah raja tidak mengumumkan pembagian apapun terhadap penduduk desa baru yang akhirnya berhenti – tidak menyelesaikan pekerjaan membuka desa dengan alasan kedongkolannya terhadap kedatangan warga desa lama.
Kisah inipun ditutup dengan sebuah pengakuan sejarah bahwa desa baru – yang mereka sebut Huta Uthopia (desa impian - Red) menjadi besar dan makmur. Tidak hanya itu, disebut pula bahwa Huta Uthophia dibuat dalam masa keteladanan seorang raja yang luar biasa.
Pertanyaannya adalah: Adilkah atau bijakkah sang raja telah memberikan pembagian kepada warga desa lama sama besarnya dengan pembagian kepada warga desa baru serta tidak mengumumkan pembagian yang didapat oleh sebagian warga desa barunya?
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA