Share Info

17 January 2011

Sebuah Pelajaran Yang Penting

Saat itu aku masih duduk di bangku kuliah dan aku baru saja mengalami peristiwa sedih dimana aku harus berpisah dengan kekasihku yang telah bersamaku selama 5 tahun. Kami berpisah karena orangtuaku tidak setuju.

Mengapa orangtuaku tidak setuju? Karena kekasihku beda agama dan maaf, beda culture (aku tidak ingin menjelaskan secara rinci takut menyinggung salah satu etnis di Indonesia). Padahal kekasihku sudah bersedia untuk pindah ke agamaku namun tetap saja ditentang oleh kedua orang tuaku karena dia tidak dapat berganti etnisnya. Begitulah kalau orangtua masih sukuisme, meski demikian mereka orangtuaku dan aku harus mematuhinya. Bukankah ridho Tuhan, ridho-nya orangtua?

Kami tidak hanya dipisahkan oleh kota tapi juga oleh benua, walaupun pada akhirnya kekasihku menyusulku diam-diam ke benua pelarianku namun tetap saja kami tidak dapat berhubungan karena begitu banyak mata-mata disekelilingku yang menjagaku agar tidak dapat berhubungan lagi dengannya. (Mata-mata = teman-teman keluargaku/relasi bisnis orangtuaku/sepupu-sepupu jauhku yang kebetulan sedang kuliah di kota yang sama dengan diriku). Aku di Amerika, Kota S. Sementara kekasihku dulunya di Indonesia, namun sudah menyusulku dan menetap di kota W.

Ditengah kegalauan dan pelarianku, aku bertemu dengan seorang pemuda yang satu etnis dan satu agama denganku. Ia sedang mengambil kuliah strata 2. Penampilannya cukup meyakinkan dengan sikap yang gentlenya dan terutama ilmu bela diri tingkat tinggi yang dikuasainya. Saat itu aku sempat kagum dan cukup nyaman berteman dengannya. Sampai akhirnya aku pun menerima "Lamarannya" untuk berpacaran..

Kami sepertinya menjadi pasangan yang romantis di kampus saat itu. Banyak teman-teman wanitaku yang iri akan sikap gentle dan gagahnya itu, bahkan sempat beberapa teman wanita ku dari negara lain yang terang-terangan menunjukkan sikap iri dan berusaha merebut perhatiannya di depanku.

Namun ia seakan tidak bergeming dan itu membuatku percaya bahwa ia benar-benar mencintaiku. Hari demi hari tampaknya aku mulai terbius dengan sikap gentle dan gagahnya. Aku mulai menuruti semua kehendaknya dan ia mulai bersikap seperti layaknya kultur Jepang dimana pria mendominasi wanita (Ia sangat tergila-gila dengan bela diri dan budaya Jepang). Kalau berjalan ia tidak mau dibelakangku. Aku selalu tertinggal di belakangnya dan bila kami makan berdua di restoran ia selalu meminta aku melayaninya layaknya seorang suami. Aku heran, karena kami kan masih pacaran, untuk apa aku sibuk-sibuk melayaninya seperti itu? Kami masih muda dan masih kuliah pula.

Namun, ia pintar merayu dan membujukku dengan kata-kata manisnya bahwa itu tandanya cinta. Lagi-lagi aku seakan terbius dengan sikap anehnya. Teman-temanku mulai mempertanyakan sikapnya kepadaku yang mulai otoriter dan sok kuasa. Di depan semua teman-teman kuliah ia tidak segan menyuruhku mengambil makanannya, mengambil minumannya, seluruh permintaan sepelenya aku penuhi, walaupun sedikit bersungut-sungut dan mulai jengkel.

Seorang teman wanitaku bernama Juliette, orang perancis, jengkel melihat sikapnya kepadaku. Juliette melarangku sambil memegang tanganku sewaktu ia melihat aku mulai mengambil makanan untuk kekasihku. Dengan nada tinggi Juliette berkata, "No! Stop it. You are not La Bonne (The maid)", aku tersenyum kecut. Aku tau aku bukan pembantunya, namun apabila aku tidak menuruti permintaannya sepanjang jalan ia akan mengomel dan bersungut-sungut.

Memang ia belum pernah sekalipun memukulku tapi ia sering membentak, mengomel, bersungut-sungut, ngambek dan lain sebagainya yang membuat diriku jengkel dan sedih. Aku sering dibuat malu oleh tingkah otoriternya. Anehnya aku tidak melawan. Bahkan nasihat teman-teman wanitaku, terutama Juliette pun tak aku gubris. Aku seakan lemah tak berdaya takut kehilangan dirinya.

Selama berpacaran dengannya aku tidak dapat merasakan nikmatnya berbelanja berdua sekedar window shopping dengannya. Ia pasti tidak sabar menunggu aku melihat-lihat barang. Ia akan menggerutu dan sampai puncaknya ia sering meninggalkanku pulang sendiri dari Mal. Suatu hari, aku yang tidak begitu mahir menyetir mobil manual ditinggal sendirian di tengah lampu merah di jalan raya. Ia begitu saja keluar dari mobil dan berjalan kaki ditengah jalan raya. Aku kebingungan namun dengan sigap aku pindah tempat duduk ke bagian supir dan dengan membaca bismillah aku mulai menjalankan mobil di saat lampu hijau. Itu terjadi karena aku salah bicara tentang hal sepele saja.

Belum lagi ia ternyata hobi berjudi. Ya, di kota tempat aku kuliah memang ada sebuah casino dan hampir tiap malam ia habiskan waktu dan uangnya di sana untuk berjudi. Aku sering menemaninya dan sering pula aku dimarahi habis-habisan karena ia kalah dan menimpakan kesalahannya padaku. Dibilangnya aku pembawa sial. Aku berisik terus meminta pulang sehingga membuatnya tidak dapat berkonsentrasi saat berjudi dan alasan-alasan konyol lainnya.

Hobinya yang lain adalah minuman keras, ganja dan majalah porno. Di kamar kosnya aku menemukan 2 bong (alat peniup ganja), minuman keras (bir dan alkohol) dan bertumpuk-tumpuk majalah porno. Sewaktu ia tidak ada aku buang semua barang-barang haram itu. Berharap ia akan sadar. Namun begitu ia tau koleksinya tidak ada, aku kembali dimaki-maki sepanjang hari. Biasanya apabila ia sedang ngambek, maka ia akan keluar membanting pintu apartemenku dan pergi ke casino.

Aku tidak menyangka mengapa aku bisa begitu terpedaya olehnya? Aku pernah melihatnya sholat namun, Astagfirullah, ternyata ia sholat dengan tujuan supaya malamnya ia menang di casino. Ia benar-benar pemuda berperilaku paling buruk yang pernah aku kenal. Aku teringat dengan mantan pacarku yang kebetulan tinggal di kota lain tapi sudah 1 benua dengan diriku (ia menyusulku diam-diam dan aku tau namun aku tidak berani untuk berhubungan kembali).

Aku sibuk mencari informasi mengenai dirinya. Aku nekat untuk menelpon ke rumahnya di Indonesia berpura-pura menjadi salah satu teman lamanya untuk menanyakan nomor telpon yang dapat dihubungi. Akhirnya aku dapat nomor telponnya di kota itu. Sewaktu pacarku tidak ada aku menelponnya. Singkat kata aku berhubungan kembali dengannya secara diam-diam. Aku ceritakan semua keluh kesahku tentang pacarku ini kepadanya. Dengan sabar ia berusaha menarikku kembali. Ia membujukku untuk pergi ke kotanya dan aku memang sudah tidak tahan lagi bersama pacarku ini yang berkelakuan buruk. Akhirnya aku nekat untuk menemui mantanku di kota itu.

Aku berbohong kepada pacarku bahwa aku mau pergi ke kota itu untuk menemui saudaraku. Ia bahkan mengantarku ke airport. Namun sialnya aku ketinggalan pesawat. Ia melonjak kegirangan seolah-olah senang tidak jadi berpisah denganku. Aku tersenyum kecut. Dengan lemas aku kembali ke apartemenku diantar olehnya. Sampai di apartemen tiba-tiba telponku berdering. Aku tidak berani angkat dan tersambunglah ke mesin penjawab (Answering machine). Mantan pacarku menanyakan keberadaanku dan apakah aku jadi menemuinya di kota itu.

Pacarku sontak marah besar begitu mengetahui aku berhubungan dengan mantanku dan berniat pergi menemuinya dengan membohongi dirinya. Ia seperti biasa marah-marah, menggerutu dan pergi sambil membanting pintu. Aku hanya bisa menangis dan berserah diri.

Sejak itu kelakuannya semakin buruk saja. Bahkan ia berani untuk mengomeliku sengaja mempermalukanku di depan orang banyak. Ia terang-terangan tidak menganggapku sebagai kekasihnya, bahkan mungkin ia sengaja memperlakukanku sebagai budaknya..

Sampai akhirnya aku pulang ke Indonesia untuk liburan, sebetulnya aku dan dia pulang bersama-sama satu pesawat, duduk pun bersebelahan. Di pesawat kami baik-baik saja, ia kembali romantis seperti biasa. Sambil menggenggam tanganku ia berkata bahwa mungkin ia tidak dapat berkunjung ke rumahku karena ia akan keluar kota dan ia berpesan kepadaku untuk tidak menghubunginya di rumah karena ia belum memberitahu kedua orang tuanya tentang diriku. Ia mengatakan orang tuanya masih kolot dan harus pelan-pelan untuk dikenalkan kepada pacarnya. Aku percaya saja.

Di Indonesia aku bahagia bertemu dengan kedua orangtuaku. Aku ceritakan kepada mereka bahwa aku telah bertemu dengan seorang pemuda satu agama satu etnis dan satu kampus. Ia sedang mengambil program master sehingga cukup dapat dibanggakan kepada kedua orangtuaku. Mereka nampaknya menyetujui hubungan kami. Sebelumnya di airport aku sudah mengenalkan dirinya kepada kedua orangtuaku sewaktu mereka menjemputku.

Sudah seminggu aku di Indonesia namun ia tidak kunjung datang ke rumahku. Aku mulai curiga apalagi ibuku mulai bertanya tentang sikapnya mengapa tidak datang berkunjung untuk berkenalan lebih akrab? Sampai akhirnya salah seorang temanku bercerita sewaktu aku menelpon dirinya menumpahkan kekesalanku tentang kelakuan pacarku itu. Teman wanitaku yang baik hati itu bercerita dengan suara tertahan.

Ia tadinya tidak tega untuk menceritakan semua ini kepadaku namun ia tidak ingin melihatku menjadi korban kekerasan pemuda itu. Teman wanitaku bercerita bahwa ternyata pacarku itu masih menjalin cinta dengan pacar lamanya di Indonesia sebelum ia berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah.

Dan pada saat ia berpacaran dengan diriku sebenarnya semua teman-teman di kampus pun tau bahwa ia belum putus dari pacar lamanya di Indonesia namun anehnya mereka semua tidak ada satu pun yang berani melaporkannya kepadaku. Yang paling menyedihkan di saat pesta pernikahan salah satu teman kampus kami, kebetulan aku sakit tidak dapat datang, ternyata pacarku itu datang bersama pacar lamanya. Dan ia perkenalkan juga kepada semua teman-teman kampus yang datang. Aku seperti orang bodoh. Dan tentu saja sekarang sadar, sangat-sangat sadar, bahwa selama ini aku hanyalah wanita bodoh yang di pergunakan oleh laki-laki untuk kesenangan dan keuntungan dirinya.

Ia selama ini mempergunakan diriku untuk banyak hal, dari mulai mentraktir makan, memakai mobilku, bahkan untuk berjudi pun ia tidak segan untuk meminjam uang kepadaku. Aku teringat ia pernah membelikan diriku jam tangan merk cukup mahal namun sekarang aku tidak sudi lagi memakainya karena itu pastilah dibelinya dari uang hasil judi. Jam tangan Haram!

Setelah mengakhiri pembicaraanku kepada teman wanitaku, aku menangis sejadi-jadinya, aku menangis di pelukan ibuku. Aku menangis bukan karena sedih tapi karena kesal selama ini aku dibodohi, dibohongi, disiksa secara batin. Aku hanyalah wanita bodoh yang menjadi korban kekerasan pria.

Akhirnya dengan keberanian diri di saat aku kembali ke kota tempat aku menuntut ilmu, aku menghardiknya dan meminta pertanggung jawabannya selama ini telah mengelabui diriku. Ia cukup gentle untuk meminta maaf dan kami pun berpisah. Namun setelah perpisahan itu jangan ditanya apakah aku sudah bebas dari korban kekerasan batin? Tidak, aku belum bebas.

Ia dengan santainya menyebar gosip tidak sedap mengenai hubungannya dulu denganku. Ia memfitnah diriku semena-mena sehingga semua teman-teman kampus sempat mengucilkan diriku. Sewaktu aku berjalan melintas di depan kafetaria dimana banyak teman-teman kampus berkumpul, aku mendengar desas desus orang bicara perlahan dilanjutkan dengan tawa berderai rata-rata dari kaum pria teman-teman di kampus. Ya, aku tau mereka sedang membicarakan diriku. Ya, aku tau siapa yang tertawa paling keras di sana. Ya, aku tau aku sudah siap menjadi bual-bualan satu kampus. Menjadi topik pembicaraan paling heboh di kampus. Menjadi bahan lelucon paling seru di satu kampus. Bahkan herannya teman priaku yang dulu baik kepadaku apabila ada mantan pacar burukku mereka tidak berani menyapaku. Mereka malah seolah-olah ikut mengejek diriku. Ah, sedih hatiku melihat itu. Tapi tak apa, aku sudah sangat bersyukur dapat lepas dari siksaan batin pria itu.

Segala gosip murahan dapat aku tangkis. Tuhan mendengar doaku selama ini. Tuhan mendengar jeritan pilu sedih hatiku selama ini. Akhirnya suatu hari aku mendengar kabar bahwa mantan pacarku yang buruk itu terpaksa DO dari kuliahnya. Ya, ia memang tidak pernah masuk kuliah selalu bolos dan nilainya aku tau ZERO semua. F semua (F=Fail). Selain itu pula ia terpaksa menelpon orangtuanya untuk mengirimkannya uang karena ia kalah besar dalam judi, total kekalahannya 14.000 dolar! Bayangkan, pemuda kuliahan macam apa itu. Dan aku mendengar dari temanku ia mengaku kepada kedua orang tuanya bahwa ia telah menabrak mobil temannya sehingga ia harus mengganti kerusakannya. Astagfirullah, ia pun tega membohongi kedua orang tuanya yang selama ini selalu mensupportnya dalam finansial maupun kasih sayang.

Seorang teman pria yang baik menghampiriku menyalamiku sambil berkata, "Selamat ya kamu yang menang" aku tersenyum bukan karena kemenangan itu, tapi aku tersenyum karena aku tau ternyata masih ada orang yang berpihak kepadaku. Dialah mantan pacarku yang berbeda kota denganku.

Kini, aku bahagia, bahagia sekali, aku telah menikah dengan seorang pria baik hati, muslim yang taat, penuh kasih sayang dan kelembutan, sangat jujur, pintar (Ya, ia mendapat beasiswa untuk program Doktor dari pemerintah dan ia mengambil jurusan Satelite), seorang ayah yang bertanggung jawab, seorang pembimbing hidupku, seorang guru, seorang suami muslimin sejati. Akhirnya kedua orangtuaku mau menerima etnis-nya.

Terima Kasih Ya Allah, Engkau telah mendengar doa dan jeritan hatiku selama ini.

Seperti diceritakan oleh S, dikirim ke Perempuan.com

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month