Cerpen
Mulya Abdul Syukur
"Ketika bahuku merosot, tiba-tiba Ramia menghentikan langkahnya, lalu kembali menghampiriku. "Aku lebih suka kau menjadi dirimu sendiri." Ia mengibaskan rambutku."
Mama tidak ingin aku berakhir menjadi pecundang. Seperti orang-orang di pangkalan ojek, bergelut dengan keringat, kelelahan, banting tulang, hidup dalam asap rokok dan obrolan porno. Mama memalingkan wajahku ke arah lain, ketika aku tertarik memperhatikan mereka. Melihat kartu-kartu gapleh berdebam di atas punggung meja yang licin, poster boomsex yang dipuja seperti nabi, dan botol-botol Topi Miring yang disembunyikan di sudut.
Mama pernah memergokiku nongkrong di warung itu. Dengan lengan baju tersingsing, ia berjalan tergesa-gesa, seakan siap menghadapi malaikat maut yang hobi mencabut nyawa ayam-ayamnya.
“Apa yang kau lakukan disini, Adam?!!” teriak Mama lantang.
Aku terlonjak, mundur hingga menabrak papan geplak. Mama lebih mengerikan dari malaikat Zabaniah. Matanya merah. Nafasnya naik turun. Seakan-akan baru saja memergokiku melakukan maksiat di tempat umum.
“Aku hanya ikut-ikutan, Mama!” ringisku. Ketika Mama menjiwirku pulang. ‘Menelanjangi’ku dengan cara yang berbeda sepanjang lingkungan. Bahkan di depan Ramia, gadis menawan yang sudah kutaksir bahkan sebelum aku mendengar frasa ‘Cinta Monyet’.
Kalau aku sudah diguyur dikamar mandi, disiram air seperti ikan-ikan dari pasar, Papa hanya akan mendelik dari ruang tamu, memperlhatkan tatapan ‘Apaku-bilang’ yang sudah kukenal sejak lama. Dia bakal mengambil alih tugas Mama, lebih tenang, tanpa omelan yang membuat kepalaku nyaris pecah, mengabarkan kisah dari jauh, tentang Malin Kundang dan Sangkuriang, yang menurut ayahku sendiri, telah melakukan kejahatan yang lebih bejad ketimbang mengencingi sumur Zam-zam.
“Aku tak akan mengumpat kalau itu yang Papa maksud.” Papa tersenyum dan mengeringkan rambutku dengan lembut. “Aku sayang Mama, walaupun …. Yahh, Papa tahu sendiri tanpa harus kubilang.”
Papa bukan orang penting di tempat kerjanya. Tapi bagiku ia selalu berarti besar. Dia hanya karyawan rendahan, yang berusaha selalu jujur dan rendah hati, untuk menghidupi kami, menyekolahkanku dan kakak perempuanku, untuk kebaikannya sendiri dihadapan Tuhan yang selalu lebih Nyata baginya ketimbang setetes embun yang jatuh di telapak tangannya.
Setiap malam dia bakal mengantarku ke tempat tidur, membaringkanku, menarik selimut hingga ke dadaku, dan membacakan dongeng. Papa telah mengisahkan ribuan cerita untukku, tapi yang paling kusukai adalah dongeng tentang Naga Tanpa Sayap yang bergelung di dalam gua dan menyesali hidupnya. Suatu hari Sang Naga berjalan ke pintu gua, duduk di sana dan memandang Dunia dengan kelam. Ia bertemu dengan seekor capung bijaksana yang bertengger di atas bahunya. Mereka mengobrol. Lambat laun menjadi sepasang teman akrab. Tapi sebelum Papa mengakhiri kisahnya, aku selalu jatuh terlelap. Seperti dongeng itu, aku adalah naga tak bersayap. Naga tanpa nafas api. Naga yang tak memiliki keberanian apapun.
Sejak SD aku selalu menjadi bulan-bulanan Bonie. Dia pria besar dalam arti sebenarnya. Buku-buku jari raksasa. Seriangaian Rahwana. Dan derap kaki yang mampu membangkitkan orang mati dari dalam kubur. Hingga aku duduk di kelas 2 SMP, Bonie telah melakukan banyak hal. Tindakan-tindakan konyol yang membuatku menyesal terlahir di Dunia, kehilangan kepercayaan diri, nafsu makan, dan semangat hidup.
Sederet tindakannya tidak pantas aku tuliskan di sini. Tapi kalau boleh aku sebutkan, dia pernah mendorongku dari jembatan gantung, menjegal kakiku hingga aku terjatuh dan mimisan selama lima menit, menjebakku saat upacara hingga semua murid tahu celana dalam warna apa yang kukenakan hari itu—semua orang memalingkan wajahnya dari bendera merah putih, menyaksikan tingkah konyolku ketika tergesa-gesa melepaskan celana karena Bonie baru saja memasukan cacing dan siput berlendir kedalamnya.
Yang terakhir, bahkan lukanya masih tertinggal saat aku duduk di bangku kelas dan memikirkan hal ini, Bonie menantangku berduel. Mengobarkan kenekatanku, yang dengan bodoh menerima tantangannya dengan dalih bahwa, sebagai laki-laki terhormat yang tidak pernah menonton video porno, aku terluka dikatai ‘pengecut’—padahal hampir setiap hari aku mendengar kata-kata itu dari mulut yang sama.
Dari pergumulan itu, hanya sedikit yang kuingat dengan rasa syok mendalam: lingkaran anak-anak yang mengelilingi kami, pukulan sekeras batu di tulang pipiku, darah yang asin, debu, dan pandanganku yang kabur sebelum aku berdebam di lapangan tandus.
Saat Mama mengetahu hal ini, kurasa aku bakal di gantung di menara air. Tapi kurasa campur tangan Papa menyelamatkanku dari berbagai kemungkinan mengerikan.
Hari itu Mama membawaku ke kamar mandi, menimba air, dan mengguyur tubuhku lagi dan lagi hingga aku benar-benar kelelahan. Ketika ia bersiap-siap menanggalkan pakaianku, aku mundur dan menegaskan sikap protes.
“Kau harus membersihkan dirimu sebelum aku mengobati luka-lukamu, nak!” Mama berkacak pinggang.
Ya Ampun, apa sebenarnya yang Mama pikirkan. Aku sudah berhenti mengenakan celana pendek. Aku tergila-gila Miley Cyrus, aku suka Prison Break, Avanged Sevenfold, Shia Labouf, aku menonton Heroes untuk menegaskan bahwa aku sudah berhenti nonton Looney Tunes. Bahkan aku sudah merasa benar-benar akrab dengan Justin Bieber dan Taylor Swift. Intinya, aku sudah tiga belas tahun dan aku tak mau telanjang di depan Mama.
Itu bakal membuatku malu seumur hidup.
“Mama, aku bisa melakukannya sendiri.” Kataku.
Ibuku mungkin bakal terus menekanku di kamar mandi. Menatapku dengan garang dan amarah berapi-api, kalau saja Papa tidak muncul di ambang pintu dan menatapnya dengan cara yang belum pernah ia lakukan di depanku. Akhirnya Mama menyerah. Meninggalkanku. Meninggalkankan Papa yang setengah tersenyum, menutup pintu untukku sebelum aku bisa membalasnya dengan tatapan terima kasih. Dulu Ramia hanya sekuncup Bougenville yang menarik perhatianku. Namun kini ia mekar menjadi bunga Tulip. Bunga yang indah, berwarna surga, menjadi urat nadi hidupku, menjadi alasan mengapa aku menghirup nafas setiap detik. Aku berlari setiap hari, melewati gurun dan belantara kehidupan, melangkah semakin cepat dari detik-kedetik, hanya untuk menemukan satu hal: bahwa aku benar-benar mencintainya. Setiap udara yang kureguk adalah Ramia, setiap awan yang terlukis adalah Ramia, setiap musik yang mengalun adalah Ramia.
Ia ada dalam tetesan embun, dalam riak air di sungai, dalam caraku memandang Dunia dan menyikapinya. Bahkan ia ada saat aku sembayang, bersujud ke arah kiblat. Hingga Papa harus mencubit pahaku keras-keras karena aku belum bangun juga ketika orang-orang sudah setengah jalan merapal tahiyat akhir.
Selama ini dia belum pernah meresepon semua perlakuanku kepadanya dengan cara yang diperlihatkan dalam film-film romantis. Padahal aku sudah susah payah melumasi rambutku dengan jeli lengket, menyetrika seragamku dengan teliti hingga Mamaku mulai mengomel tentang rekening listrik, meniru gaya Shah Rukh Khan dalam salah satu film hits-nya, dan mengenakan parfum Kakakku—walaupun ujung-ujungnya seisi kelas menertawakanku karena aku berbau seperti cewek. Ramia hanya tersenyum. Bersikap santai. Seolah-olah dia pura-pura tak tahu kalau aku jatuh cinta padanya.
Suatu hari hujan turun deras. Aku berteduh di ruko kosong di samping sekolahku. Menunggu hujan reda hingga aku bisa berlari pulang. Saat aku duduk dan memeluk lututku yang telanjang, dari balik tirai hujan aku melihat seseorang berlari menghampiriku. Seorang gadis yang kurasa amat kukenal.
“Ramia.” Aku tak bisa menahan diri. “Adam,” katanya girang. “bolehkah aku bergabung disini?!"
Untung saja saat itu langit temaram. Aku tak tahu harus kemana kusembunyikan wajahku yang memerah. “Kau boleh duduk di sampingku kalu kau mau.” Kataku canggung.
Sore itu aku dilanda siksaan terberat yang bisa dialami remaja manapun di Dunia ini. Berdua bersama gadis yang paling kau cintai. Di bawah hujan. Terisolasi petir dan tirai kelabu. Dan terhalangi pandangan setiap orang. Tubuhku bergetar, mengalami gejala aneh yang gugup kuterjemahkan. Jantungku berdebur, berjuang keras aku melakukan dua hal: menahan tanganku agar tetap di tempatnya, menahan pikiranku agar masih berada dalam batas normal. Namun aroma gadis itu lebih mengerikan ketimbang hidangan yang diturunkan untuk Isa dan pengikutnya. Keharuman yang lebih kuat ketimbang Apel yang dipetik Hawa di surga.
Ketika menyadari gerakan di sampingku, aku merasa tahu apa yang harus kulakukan. Mendekatkan diri, harap-harap cemas, persetujuan tanpa kata-kata. Namun alih-alih menciumku, Ramia malah tersenyum dan bergerak menjauh dariku.
“Kurasa aku harus pergi.” Katanya. Bangkit berdiri dan berjalan meninggalkanku.
Ketika bahuku merosot, tiba-tiba Ramia menghentikan langkahnya, lalu kembali menghampiriku. “Aku lebih suka kau menjadi dirimu sendiri.” Ia mengibaskan rambutku. “Jangan menjadi orang lain untuk membuat seseorang menyukaimu.” Ia berjalan mundur, berbalik, dan berlari ke arah hujan.
Meninggalkanku seorang diri, dengan jantung berdebar lebih keras dari sebelumnya. Ketika aku tiba, Mama berdiri di pintu depan. Berkacak pinggang. Menatapku seperti elang kelaparan. Aku mengigil, basah kuyup, ketakutan. Aku belum pernah kembali selarut ini. Mama pasti marah. Harusnya aku menyadari hal itu. Bukannya menuruti hormon testosteron yang membawaku ke awang-awang dengan beribu kemungkinan liar. “Apa yang kau lakukan diluar sana?!!” Mama bersabda.
Aku berdiri di batas talang dan halaman rumahku. Membiarkan tetes hujan menjamahku, mendinginkanku, walau itu tak berarti apa-apa. Saat Mama terus menerus menyerangku dengan kalimat sarkastik, aku mengepalkan tanganku erat-erat, menunggu kapan saatnya aku harus melawan.
Ketika ia bilang kalau aku anak tak tahu diuntung, aku memekik keras-keras …
“Mama tak pernah memahamiku. Aku tak bisa terus hidup di bawah ketiak Mama untuk menjadi diriku sendiri. Aku telah banyak berkorban demi Mama, demi ego Mama, tapi Mama tak pernah menaruh sedikitpun kepercayaan padaku. Mama tak pernah melakukannya walau aku terus-menerus menunggu kapan saat itu tiba.” Nafasku naik turun. Wajahku merah padam, meledak. “Aku selalu menjaga sikapku, tak pernah macam-macam, tak pernah mencium anak gadis orang, mengharamkan diri dari tembakau, tak tahu apa itu barang porno, semua kulakukan demi Mama. Tapi Mama membalasku dengan kecurigaan tak berujung. Itu tidak adil untukku, Mama. Itu tidak adil.” Aku berbalik dan menendang pot Begonia di depanku, berlari lagi ke gerbang, namun saat aku berlari di bawah hujan, menangis, aku tak tahu bahwa aku tak akan pernah lagi melihat Mama berdiri di depanku.
Sehari setelah itu, penyakit Mama melumpuhkannya. Ia tak bisa bicara lagi padaku. Ia tak pernah bisa lagi memarahiku.
Pada akhir minggu, bendera kuning di pasang, orang-orang mengubur Ibuku di lubang sempit yang gelap. Tapi hingga orang-orang berduyun meninggalkan pusaranya, aku masih membenci Mama.
Aku duduk di taman bermain hingga sore hari. Berayun di atas papan ayunan, memandang ke barat, pada burung-burung yang melebarkan sayapnya dalam keheningan, mentari semerah darah yang menurun dari waktu-kewaktu.
Papa menghampiriku, melingkarkan tangannya di bahuku, mendekapku. “Papa, ceritakan padaku apa yang terjadi pada Naga dalam dongeng itu. Aku tak pernah selesai mendengarnya.”
Papa menghela nafas, membelai rambutku yang berantakan. “Dia menemukan sayapnya, sayang. Dia menemukannya. “Ketika kekurangan membuatmu terkucil dari Duniamu, maka sikap tabah, penerimaan, dan rasa syukur yang tulus akan membuatmu merasa lebih istimewa dari mereka, dari orang-orang yang lebih beruntung darimu. Kau memerlukan usaha keras untuk menumbuhkan perasaan tersebut, dan itulah yang membuatmu istimewa dari orang lain. Kau akan lebih berani dari siapapun yang pernah meremehkanmu.” Papa mengeratkan pelukannya, membuatku merasa benar-benar terlindungi. “Kau tahu sayang, hidup hanyalah sebutir apel yang menggodamu sepanjang waktu. Semakin kau terobsesi mendapatkannya, maka semakin berkurang kesempatanmu mendapatkan apel yang lebih banyak. Apel-apel yang dijanjikan Tuhan.” “Papa, dari siapa Papa dengar dongeng Naga itu?”
Ayahku tersenyum, “Mama menyuruhku menceritakannya untukmu. Itu adalah kisah yang diceritakan Nenek ketika Mama kanak-kanak. Ia tak bisa melakukannya sendiri sayang, karena ia mencintaimu dengan cara lain. Ia selalu ingin kau hidup bahagia. Ia ingin kau menemukan keberanian untuk menumbuhkan sayapmu yang tertidur.”
Kebungkaman melandaku beberapa saat. Sesuatu menjalar, pemahaman, yang selalu datang terlambat. “Benarkah?”
“Mama selalu ingin kau terbang tinggi, menemukan dirimu sendiri di luar sana.” Kata Papa.
“Yang perlu ia lakukan hanyalah memastikanmu menjadi anak baik-baik. Mengaji. Berdoa. Dan duduk di bangku kelasmu dengan patuh. Memikirkan untuk apa hidupmu diciptakan.”