Satu milenium kemudian, sekelompok raja dan pemimpin agama di Eropa melakukan kebodohan yang mirip dengan mengobarkan Perang Salib yang memakan jutaan korban karena takut kemuliaan Tuhan dihinakan. Mereka merasa telah berjasa besar di hadapan Tuhan itu, tetapi kita tahu, merekalah yang berutang di mata sejarah.
Menjelang akhir milenium kedua, Amerika memerangi Vietnam karena takut pada hantu komunisme. Mereka menyangka bakal jadi pahlawan dunia, tapi kita tahu, Amerika lah yang jadi pecundang di mata semua, termasuk di mata rakyatnya sendiri.
***
Anda dan saya juga, dalam skala yang lebih kecil, pasti pernah berbuat kebodohan, yang belakangan kita sesali.
Mengapa kita begitu bodoh? Apa esensi kebodohan itu sehingga banyak sarjana, master, dan doktor sering tampil bodoh di mata rakyat biasa?
Hikmah sejarah sebenarnya sudah mengajarkan: kebodohan selalu muncul dari ketakutan. Takut malu, malinglah kita. Takut pada realita, bohonglah kita. Takut kalah, ganaslah kita. Takut miskin, rampoklah kita.
Sesungguhnya benarlah pendapat ini: induk segala kebodohan ialah rasa takut dan akar segala dosa ialah ketakutan. Begitulah, semua kebodohan sosio-ekonomi-politik di negeri ini sesungguhnya bermula dari ketakutan, khususnya ketakutan kaum elit penguasa.
Kini, ketika milenium ketiga baru saja menggelar tikar, dapatkah kita bebas dari ketakutan yang memperanakkan kebodohan dan mempercucukan kesalahan itu? Mungkin tak banyak yang punya waktu memikirkannya karena terbelenggu oleh tujuh rasa takut utama: takut miskin, takut disalahkan, takut sakit, takut dibenci, takut kalah, takut tua, dan takut mati. Padahal benarlah ungkapan-ungkapan paradoksal ini: Barangsiapa takut miskin akan kehilangan kekayaannya. Barangsiapa takut dikritik akan kehilangan rasa damainya. Barangsiapa takut sakit akan kehilangan kesehatannya. Barangsiapa takut dibenci akan kehilangan para pecintanya. Barangsiapa takut kalah akan kehilangan kemenangannya. Barangsiapa takut tua akan kehilangan kemudaannya. Barangsiapa takut mati akan kehilangan kehidupannya.
Tujuh rasa takut ini sesungguhnya adalah setan belang yang telah mencuri kehidupan, kesejahteraan, kekayaan, damai sejahtera, dan kegembiraan kita. Tegasnya, ketakutan adalah musuh terbesar kita.
Sebagai guru saya dapat bersaksi bahwa hambatan utama bagi perkembangan, pertumbuhan, dan kemajuan manusia di tingkat individu, organisasi dan sosial, tanpa kecuali, semuanya adalah ketakutan dalam berbagai bentuk.
Kaum agama takut kepada kaum nasionalis maka agama pun menjadi momok. Kaum nasionalis takut kepada kaum agama maka nasionalisme pun menjadi monster. Kaum sekuler takut kepada kaum fundamentalis maka sekularisme pun menjadi hantu. Kaum fundamentalis takut kepada kaum sekuler maka fundamentalisme pun menjadi setan gundul.
Juga, tentara takut kepada rakyatnya maka tentara pun menjadi tukang tembak. Rakyat takut kepada tentara maka rakyat pun menjadi demonstran perusuh. Presiden takut kepada DPR maka Presiden pun menjadi despot. DPR takut kepada Presiden maka DPR pun menjadi tukang bantai.
Demikian pula, buruh takut kepada majikan maka serikat buruh menjadi musuh. Majikan takut kepada buruh maka manajemen menjadi penghisap. Pemimpin takut kepada anakbuah maka atasan menjadi diktator. Anakbuah takut kepada atasan maka bawahan menjadi kaum mbalelo.
Padahal, cita-cita sosial kita ialah demokrasi berkemajemukan dan berkemakmuran. Visi organisasional kita ialah sukses tertinggi. Dan dambaan personal kita ialah kesentosaan. Tetapi saya berpendapat sekarang: selama ketakutan masih berkuasa di hati kita, demokrasi sejati tak akan tercipta, visi organisasi tak akan tercapai, dan aspirasi pribadi kita tak akan tergapai. Dan dalam kaitan ini, saya katakan pula: musuh terbesar demokrasi bukanlah fasisme/militerisme melainkan jiwa penakut; musuh utama organisasi/perusahaan bukanlah persaingan melainkan roh penakut; dan musuh nomor satu kita ialah hati penakut.
Jadi siapakah yang menciptakan momok, monster, atau setan gundul? Jawabnya: kita sendiri dalam ketakutan kita. Artinya, sang penakutlah yang menciptakan setan bagi dirinya. Sayangnya, “the devil within me” dapat memicu bangkitnya “the devil within you”, kemudian “the devil everywhere”.
Supaya terbebas dari rasa takut maka kita memerlukan tiga hal: imajinasi positif, daya cipta kreatif, dan kesadaran bahwa kita lebih besar dari ketakutan itu sendiri. Pada saat itulah kita memulai karir sebagai manusia Rahmatan.
[Source : tonigempar.wordpress]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA