Tatsumi lebih percaya diri menjelajahi kemungkinan komik sebagai wahana untuk mengisahkan cerita dewasa. Dalam istilah Tatsumi, “Manga yang bukan manga.
Yang menarik dari novel grafis Gekiga Hyoryu karya Yoshihiro Tatsumi (di Indonesia diterbitkan dengan judul Hanyut) adalah sudut pandangnya yang sangat pribadi. Meski fiksi, novel itu semacam sejarah mikro atas manga (komik khas Jepang).
Dalam novel itu kita membaca sejarah manga dari sisi Osaka, kota kedua terbesar penghasil manga modern pada awalnya. Osamu Tezuka, sang Dewa Manga, mengawali kariernya di kota Takarazuka — antara Osaka dan Kobe — dan sempat membimbing beberapa komikus belia sebelum ia pindah ke Tokyo. Tasumi termasuk salah satunya.
Perjumpaan dengan Tezuka sangat berpengaruh bagi Tatsumi, yang makin mantap menjadi komikus. Tezuka menganjurkan Tatsumi agar membuat cerita panjang dan tak membatasi diri pada manga empat panil (komik setrip).
Anjuran ini membuat Tatsumi lebih percaya diri menjelajahi kemungkinan komik sebagai wahana untuk mengisahkan cerita dewasa. Dalam istilah Tatsumi, “Manga yang bukan manga.”
*
Osaka tahun 1950-an dipenuhi industri manga yang sedang tumbuh dan mengejar keberhasilan Tokyo. Banyak penerbit manga berkantor di pojok-pojok kota, tersempil di gedung-gedung tua — dalam ruangan kecil dan kotor.
Bekerja di sebuah penerbitan komik untuk jaringan penyewaan buku di seantero Jepang, Tatsumi adalah salah seorang komikus yang terserap ke dalam ruangan kecil itu.
Pada tahun 1957, Tatsumi membentuk Studio Gekiga bersama kawan-kawannya di Osaka, didorong obsesinya untuk membuat “manga yang bukan manga”. Obsesi yang sama juga membawanya pada banyak patah hati.
Kita bisa menangkap rasa pahit Tatsumi melihat sukses Saito mengibarkan gekiga yang maknanya direduksi itu; hanya jadi merek bagi cerita-cerita yang mengeksploitasi seks dan kekerasan.”
Kita bisa melihat satu lagi sudut pandang pribadi Tatsumi sebagai sejarah alternatif manga: hubungannya dengan Takao Saito, yang dalam sejarah arus utama diidentikkan dengan kelahiran gekiga.
“Gekiga” adalah istilah ciptaan Tatsumi yang menggambarkan konsep komik yang berisi cerita dan gaya yang lebih dewasa ketimbang manga. Seperti terjadi di AS dan Eropa, makna dewasa kemudian lebih banyak diartikan sebagai kebolehan menggambarkan seks dan kekerasan secara eksplisit.
Taiko Saito yang lebih pragmatis dan produktif dari Tatsumi, pada 1969 melahirkan seri Golgo13 yang sampai kini masih diproduksi dan merentang hingga lebih dari 300 volume. Bagi banyak orang, Golgo13 adalah contoh utama gekiga: kisah pembunuh bayaran yang efektif, brutal, tanpa welas asih, dan banyak seks di dalamnya.
Tapi, seri seperti ini bukanlah yang dibayangkan Tatsumi saat merancang kata gekiga.
Saito sendiri, mungkin saking pragmatisnya, sangat berbakat membuat dirinya jadi ikon yang terkenal. Agak mirip dengan Stan Lee di Amerika, dia pandai membesar-besarkan diri lewat klaim bombastis. Di situsnya, Saito ditulis sebagai pelopor yang “efek revolusinya terasa hingga kini dalam komik Jepang”.
Ketidaknyamanan Tatsumi terhadap gaya Saito direkam dengan baik oleh Hanyut. Tatsumi sendiri agaknya tipe orang yang menghindari konflik langsung. Dia, misalnya, meminjam ketidaksukaan Kuroda (editornya di Osaka) pada Saito sejak perkenalan pertama mereka.
Kita bisa menangkap rasa pahit Tatsumi melihat sukses Saito mengibarkan gekiga yang maknanya direduksi itu; hanya jadi merek bagi cerita-cerita yang mengeksploitasi seks dan kekerasan.
Tatsumi dan Saito pindah ke Tokyo karena kelesuan penerbitan di Osaka. Meski Tatsumi tak pernah kehilangan obsesinya untuk membuat “manga yang bukan manga”, keadaan pasar pada akhir 1950-an hingga 1960-an itu memang keras.
Sementara itu, Saito lebih mudah beradaptasi dengan tuntutan pasar. Dia tak terlampau risau dengan aspek filosofis gekiga. Baginya, sederhana saja: komik-komik bermuatan seks dan kekerasan memiliki pasar, dan dia bisa membanjiri pasar itu dengan karya-karyanya.
*
Pada tahun 1957, Yoshihiro Tatsumi menciptakan istilah “gekiga” untuk mewakili obsesinya terhadap sebuah “manga yang bukan manga”.
Perbedaan gekiga dan manga, selain teknik menggambarnya, terletak pada sasaran pembacanya. Gekiga mengkhususkan diri menjadi bacaan hiburan khusus bagi mereka yang sedang dalam masa transisi dari kanak-kanak ke dewasa. Sebab meski diperlukan, waktu itu bacaan seperti itu belum muncul.
Perkembangan gekiga juga sangat didukung oleh sistem taman bacaan.
Untuk gampangnya, gekiga dalam gagasan Tatsumi mirip dengan konsep Will Eisner tentang “novel grafis” pada 1980-an (periode A Contract With God dan sesudahnya), yakni cerita-cerita dengan semangat realisme sosial.
Cerita-cerita pendek Tatsumi mencuatkan sisi gelap modernisasi Jepang. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang pinggiran, yang menyempal dari gambaran era Showa setelah Perang Dunia II, dengan situasi kota yang keras.
Anehnya, dalam manifesto gekiga yang disusun Tatsumi, tampak masih ada pertimbangan pasar. Masih ada keinginan untuk menjadi “bacaan hiburan” dengan pasar khusus. Padahal hiburan macam apa yang diberikan oleh cerita-cerita muram itu?
Di sini tampak bahwa Saito, yang pragmatis, lebih “setia” pada manifesto gekiga: dia memang ingin menghibur lewat komiknya.
*
Sudut pandang pribadi Tatsumi dalam Hanyut membuat beberapa nama lain yang penting dalam sejarah gekiga tak terungkap secara memadai.
Sebuah adegan pada Hanyut volume 3 edisi Indonesia menggambarkan dua orang komikus Tokyo: Yoshiharu Tsuge dan Fujio Akatsuka. Dalam adegan itu, Akatsuka digambarkan meremehkan Tsuge (dan mungkin saja memang demikian). Tapi Hanyut pun tak mengangkat Tsuge, karena agaknya hidup Tatsumi memang tak bersinggungan dengannya.
Dalam sejarah manga Jepang, Tsuge dianggap salah satu komikus paling berpengaruh di samping Osamu Tezuka. Ia dianggap memberi corak dewasa pada manga, dan karenanya dapat dianggap sebagai seorang pelopor gekiga juga — walau ia tak bekerja dengan istilah itu.
Dalam Hanyut, Tatsumi juga sama sekali tidak menyebut nama Sanpei Shirato, yang kisah-kisah samurainya sangat terkenal. Pada akhir 1960-an, saat kaum muda Jepang juga terimbas gerakan kebudayaan tandingan (counter culture) di Amerika Serikat, karya-karya Shirato seolah jadi suara satu generasi, dan bahkan jadi suara gerakan anti kemapanan di Jepang.
Kisah-kisah Shirato selalu tentang samurai yang membela rakyat jelata di hadapan penindasan para bangsawan. Dan ia pun menjadi salah satu tonggak penting pendewasaan manga. Gaya gambar Shirato pun berkembang menjadi lebih realistis, dan memengaruhi antara lain seri Lone Wolf and Cub (sebuah manga/gekiga yang terkenal sampai Amerika Serikat).
*
Sebagai buku sejarah, kisah sejarah pribadi macam Hanyut jelas tak bakal lengkap. Tatsumi pun agaknya punya kesadaran itu, hingga ia menjadikan komik ini sebagai fiksi. Tapi, sudut pandang pribadi terhadap sebuah sejarah sangat berharga dalam memberi gambaran emosional.
Kisah kelahiran gekiga dari sudut pandang Tatsumi, yang nyaris terbenam dalam sejarah utama manga, memberi dimensi lain terhadap perjalanan manga Jepang — yang ternyata dipenuhi kisah patah hati dan cinta yang keras kepala.
Selalu menarik untuk mempelajari kisah-kisah itu, supaya kita tidak sekadar terpukau oleh kisah-kisah sukses semata. Dari sudut pandang tertentu, gerakan gekiga yang digagas Tatsumi memiliki suksesnya sendiri. Setidaknya Tatsumi dan karya-karyanya telah memperkaya sejarah manga Jepang.
by : Hikmat Darmawan
[Source : id.omg.yahoo.com]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA