Share Info

14 May 2010

Supaya Perempuan Tidak (Terus) Terbisukan

Linda Amalia Sari, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Perempuan adalah pihak paling rentan dalam berbagai situasi karena relasi kuasa antara lelaki dan perempuan yang timpang (ketidaksetaraan jender) di berbagai ranah kehidupan. Tidak mengejutkan kalau berbagai laporan memperlihatkan, kemiskinan dan seluruh dampaknya berwajah perempuan.

Meski berperan besar dalam seluruh proses bernegara, sebagian besar perempuan masih berada pada posisi tidak bersuara dan mengalami ketidakadilan.

"Kita masih melihat diskriminasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk terhadap perempuan, kesenjangan partisipasi politik, rendahnya kualitas hidup perempuan dan anak, dan kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki," ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari di sela kesibukannya, Selasa (11/5).

Ketimpangan relasi kuasa sangat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan, mulai di tingkat keluarga sampai ke kebijakan nasional. Akibatnya, kebijakan publik tidak mempertimbangkan kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki (buta jender).

Indonesia tak mungkin mencapai kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan dalam demokrasi sebenarnya bila tidak mempertimbangkan akar seluruh persoalan tersebut, yaitu ketidaksetaraan jender.

Akar masalah yang ada di semua negara itu disadari banyak ahli di seluruh dunia. Maka, pada tahun 1985, dalam Konferensi Dunia III tentang Perempuan di Nairobi, untuk pertama kalinya diusulkan konsep pengarusutamaan jender (PUG) untuk mempromosikan kesetaraan jender.

Gagasan itu resmi dilontarkan dalam Konferensi Dunia IV tetang Perempuan dan Pembangunan di Beijing, China, 1995. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 1997 menunjuk Penasihat Khusus mengenai PUG.

Berikut wawancara dengan Menteri PPPA Linda Amalia Sari.
Tanggapan pemerintah?
Kami terus berupaya mencapai kesetaraan jender di berbagai bidang pembangunan. Ada landasan kesepakatan di tingkat global maupun nasional. Kesepakatan itu adalah Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.

Untuk mengimplementasikan PUG, kita juga punya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119 Tahun 2009 tentang Anggaran Responsif Gender (ARG). Makanya, secara pribadi, saya sangat kehilangan Bu Sri Mulyani. Beliau Mengamankan strategi PUG dengan ARG.

Saat ini ada pilot project ARG di tujuh kementerian, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum, Pendidikan Nasional, Pertanian, Bappenas, Keuangan, Kesehatan, dan PPPA. Dalam rangka ARG, deputi kami berbicara dengan tim di kementerian tersebut. Tahun 2011, di semua sektor, politik, ekonomi, hukum, sosial, diharapkan sudah menggunakan ARG.

Pada tahun 2014, diharapkan seluruh provinsi, kabupaten, dan kota sudah mengadopsi. Sistem ini baru ada di Maroko dan Nepal, Indonesia yang ketiga. Tetapi, Maroko dan Nepal populasinya kecil. Penduduk kita besar, negaranya luas, dan populasi perempuannya 49,05 persen. Ini boleh kita banggakan, tetapi perjuangannya juga tidak main-main.

Persisnya, bagaimana ARG itu? Di banyak tempat, ARG dimaknai pemda dengan memberi perempuan mesin jahit, peralatan bikin kue. Ini kan masalah....
Tentu bukan itu. Saya melihat, masih banyak yang menganggap jender itu perempuan. Mestinya nama kementerian ini diubah jadi Kementerian Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak, ya. Tetapi sulit, sudah 30 tahun seperti ini. Jadi, penolakannya tinggi. Apalagi pejabat di daerah. Kalau ke daerah, kami hanya ditemani ibu-ibu PKK.

Memang PKK itu penting sekali, tetapi PUG harusnya menjadi perhatian eksekutif dan legislatif. Sekarang perempuan di eselon satu hanya 7 persen, turun dari 9 persen. Malah ada departemen yang tidak ada perempuannya di eselon satu.

(Prof Melly G Tan, peneliti asal LIPI, mengamati, dalam berbagai acara formal di Indonesia, tempat duduk perempuan pejabat eselon satu ada di kelompok istri para pejabat, bukan di kelompok pejabat).

Secara umum, semua program yang direncanakan dan diimplementasikan kementerian harus bisa memenuhi kebutuhan perempuan dan laki-laki. Ada sistem dan teknisnya. Kami punya ahli-ahli yang memberi pelatihan soal ini di berbagai kementerian.

Bukan Tujuan
Secara implisit, Linda memaparkan, PUG bukanlah tujuan, melainkan strategi, pendekatan, cara mencapai tujuan kesetaraan jender. Mengarusutamakan jender adalah proses mengukur dan menilai dampak tiap tindakan perencanaan, termasuk legislasi, kebijakan dan program di seluruh ranah dan tingkat.

PUG dimaksudkan untuk membuat kebutuhan dan pengalaman laki-laki dan perempuan sebagai dimensi integral di ranah politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain sehingga perempuan dan laki-laki mendapat manfaat setara dari berbagai program dan kebijakan pembangunan.

"Anggaran kami naik menjadi Rp 50 miliar dalam APBN Perubahan," ujar Menteri PPPA.

Menurut Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kementerian PPPA, alokasi bidang perlindungan dan anak Rp 28,06 miliar, peningkatan kapasitas SDM Rp 15 miliar, perundangan, PUG, serta pemenuhan hak anak Rp 3,94 miliar, dan bidang pemenuhan komitmen internasional Rp 3 miliar.

Bagaimana Anda mempromosikan PUG?
Tugas KPPPA masih banyak, tantangannya besar, tetapi kewenangannya hanya untuk kebijakan. Kami harus masuk ke semua kementerian dan lembaga, provinsi, kabupaten, kota untuk koordinasi, informasi, advokasi, pemantauan, dan evaluasi. Kami juga membuat data terpilah. Saya tertarik pada Presiden Obama yang selalu menyebut tamunya secara spesifik, laki-laki dan perempuan. Ini penting disebarkan untuk mengubah pola pikir.

Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tentang PUG sebagai salah satu strategi, saya datangi semua menteri, melobi mereka. Untuk mengikat komitmen kami membuat nota kesepakatan (MOU) agar semua program kerja dan kebijakan kementerian itu mengimplementasikan PUG.

Kami sudah buat MOU dengan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Menteri Usaha Kecil Menengah, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri Kesehatan. Sebelum MOU, kami datangkan pakar jender, Dr Yulfita Rahardjo. Pola pikir eksekutif, legislatif, dan yudikatif pelan-pelan harus berubah, dan saya optimis bisa.

Di daerah, biro pemberdayaan perempuan sudah berubah menjadi badan. Di lapangan, karena tidak ada "tangan" kami bekerja sama dengan penyuluh KB yang sudah mendapat pelatihan.

Sekarang, kementerian kami malah jadi ketua harian gugus tugas antiperdagangan orang, ketuanya Menko Kesra. Satgas itu implementasi Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008, untuk pencegahan dan koordinasi dalam penanganan kasus. Kami juga mendorong pembentukan satgas di daerah dan membuat MOU antardaerah untuk mencegah dan memulangkan korban. Di Jawa Tengah ada di 10 kabupaten, di Jawa Barat ada, tetapi di Sulawesi Utara belum sementara terjadi perdagangan perempuan ke Papua. Saya beri saran kepada Gubernur Sulawesi Utara agar membuat MOU dengan Papua.

Belum lama, melalui Facebook, kami membongkar jaringan perdagangan anak dari Jawa Barat ke Bangka Belitung, bekerja sama dengan Bareskrim. Saya nekat saja karena Polda Jawa Barat tampaknya kurang tanggap. Ada 20 korban, anak di bawah 18 tahun. Yang bisa terselamatkan 14 orang, 2 terinfeksi HIV. (kompas.com)

0 Comment:

Post a Comment

Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA

Link Exchange

Copy kode di bawah ke blog sobat, saya akan linkback secepatnya

Berbagi Informasi

Sport

Translate

Blog Archive

Pageviews last month