Emansipasi
seringkali dikaitkan dengan urusan cinta. Perempuan sekarang banyak
yang mulai berpandangan "terbuka" dalam sebuah hubungan, termasuk
mengekspresikan cinta. Tapi, benar nggak sih, perempuan menyatakan cinta
lebih dulu termasuk emansipasi? Atau, emansipasi hanya digunakan
sebagai kedok agresivitas?
"Aku sendiri nggak akan pernah mau nyatain perasaanku ke calon pasangan. Udah resmi jadi pasangan aja aku masih gengsi bilang sayang. Aku lebih nyaman menunjukkannya lewat tindakan." (Kornet, 27 tahun)
"Memang rasanya aneh, tapi aku akhirnya lebih dulu bilang sayang ke pacarku sekarang. Pertama, aku merasa sudah dekat sekali dengannya. Kedua, keburu pindah kerja ke luar kota, jadi butuh kepastian. Nggak enak kan, ya, kalau digantung." (Yussie, 23 tahun)
Ilustrasi |
Masing-masing
permpuan memang punya alasan dan pandangan. Sah saja bila kamu
menyatakan terlebih dulu. Ada juga kan, tipe laki-laki yang terlalu
takut mengungkapkan isi hatinya. Mereka bisa jadi menunggu respon
positif, memastikan perasaanmu dulu, sementara kebanyakan perempuan
ingin sebuah kepastian.
Menurut
Fuad Nashori, Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, ada
dua tipe perempuan, terbuka (ekstrovert) dan tertutup ( introvert)>
Perempuan ekstrovert cenderung bisa mengungkapkan perasaannya, terutama
lewat tindakan. Tapi, tak jarang juga yang menyatakan dengan gamblang.
Berkebalikan dengan perempuan introvert yang cenderung menyimoan sendiri
apa yang ia rasakan pada seseorang. Jadi, pilihan menyatakan perasaan
atau tidak juga bisa dikaitkan dengan sifat dasar perempuan.
Nah, bagaimana dengan perempuan yang berjuang mati-matian mendapatkan laki-laki? Semasa kuliah, teman saya mencintai laki-laki yang pada waktu itu sedah punya pacar. Karena laki-laki dan pacarnya saat itu termasuk populer di kampus, dia menahan perasaan karena merasa nggak mungkin bisa mendapatkan laki-laki itu.
Tapi usahanya nggak berhenti. Dia masih terus mencari informasi, sampai suatu saat dia mendapat kabar laki-laki itu putus dari kekasihnya. Dia pun bergerak cepat. Awalnya dengan kedok menghibur, lalu dalam 18 hari kedekatan mereka, teman saya memberanikan diri menyatakan perasaannya. Gayung bersambut, laki-laki itu menerima. Celakanya, dia cuman menjadikan teman saya sebagai pelarian sambil terus berusaha kembali ke mantan pacarnya. kalau kamu kira teman saya akan sakit hati dan memilih pergi, kamu salah. Teman saya masih dengan setia mendampingi laki-laki itu, walaupun dia tahu semua usaha yang dilakukan laki-laki itu untuk bisa mendekati mantannya lagi. Dia korbankan semua. Semuanya termasuk nggak diakui sebagai pacar di kampus karena takut hubungan itu diketahui mantannya.
Akhirnya, ketika laki-laki itu nggak mendapat respon positif dari sang mantan, apa yang dilakukannya? Kembali ke teman saya. Sebagian dari kita pasti akan menolaknya mentah-mentah. Dia menyia-nyiakan teman saya lalu kembali lagi ketika butuh tempat bersandar dan karena memang nggak punya kesempatan kembali ke mantannya lagi. Tapi nggak dengan teman saya yang mau menerima laki-laki itu. Dengan segala perjuangannya bersabar hingga meminta dukungan keluarga besar si laki-laki, teman saya berhasil mempertahankan laki-laki yang dia cintai, tapi dengan perasaan laki-laki itu pada teman saya.
Nah, bagaimana dengan perempuan yang berjuang mati-matian mendapatkan laki-laki? Semasa kuliah, teman saya mencintai laki-laki yang pada waktu itu sedah punya pacar. Karena laki-laki dan pacarnya saat itu termasuk populer di kampus, dia menahan perasaan karena merasa nggak mungkin bisa mendapatkan laki-laki itu.
Tapi usahanya nggak berhenti. Dia masih terus mencari informasi, sampai suatu saat dia mendapat kabar laki-laki itu putus dari kekasihnya. Dia pun bergerak cepat. Awalnya dengan kedok menghibur, lalu dalam 18 hari kedekatan mereka, teman saya memberanikan diri menyatakan perasaannya. Gayung bersambut, laki-laki itu menerima. Celakanya, dia cuman menjadikan teman saya sebagai pelarian sambil terus berusaha kembali ke mantan pacarnya. kalau kamu kira teman saya akan sakit hati dan memilih pergi, kamu salah. Teman saya masih dengan setia mendampingi laki-laki itu, walaupun dia tahu semua usaha yang dilakukan laki-laki itu untuk bisa mendekati mantannya lagi. Dia korbankan semua. Semuanya termasuk nggak diakui sebagai pacar di kampus karena takut hubungan itu diketahui mantannya.
Akhirnya, ketika laki-laki itu nggak mendapat respon positif dari sang mantan, apa yang dilakukannya? Kembali ke teman saya. Sebagian dari kita pasti akan menolaknya mentah-mentah. Dia menyia-nyiakan teman saya lalu kembali lagi ketika butuh tempat bersandar dan karena memang nggak punya kesempatan kembali ke mantannya lagi. Tapi nggak dengan teman saya yang mau menerima laki-laki itu. Dengan segala perjuangannya bersabar hingga meminta dukungan keluarga besar si laki-laki, teman saya berhasil mempertahankan laki-laki yang dia cintai, tapi dengan perasaan laki-laki itu pada teman saya.
[Source: http://www.fimela.com]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA