Ilustrasi |
Dia mengajakmu bertemu di tempat biasa, di malam yang tidak biasa. Sudah sebulan kalian tidak bertatapan langsung, hanya berbalas pesan. Dia memang sangat sibuk belakangan ini. Kamu tak curiga, kamu hanya berpikir ini adalah kencan dadakan yang akhirnya bisa ia selipkan di sela kesibukan. Mungkin dia merindukanmu, pikirmu.
“Kamu terlalu baik kepadaku,” ucapnya tiba-tiba, dengan nada gusar. Kalau saja ia mengucapkannya sambil tersenyum, kamu pasti hanya mampu tersipu. Tetapi, kali ini wajahnya tegang.
Rasa dingin mendadak menyelimuti tubuhmu yang tadinya kebal dari angin malam.
“Maksudmu...?”
“Aku ingin kamu mendapatkan pasangan yang lebih baik, yang lebih bisa membahagiakanmu daripada diriku. Aku merasa lebih baik kita berpisah.”
Duaaarr...! Kalimat yang semula sayup-sayup itu terasa menggelegar seperti petir. Ujung yang tak pernah kamu harapkan akhirnya tiba. Ia memutuskanmu, demi kebaikanmu.
Demi kamu...
Tunggu dulu. Apakah itu benar-benar demi kebaikanmu?
Putus adalah pernyataan yang membutuhkan alasan. Tidak seperti membeli es krim di sore hari, hanya karena mendadak kepingin yang dingin-dingin. Putus tanpa alasan bukan saja dapat memunculkan rasa galau berkepanjangan, tapi juga menyisakan pertanyaan yang tak berkesudahan.
Seperti karya ilmiah yang tak punya latar belakang dan tujuan yang jelas, lalu membuatmu tak tahu arah.
Dari seribu satu alasan untuk memutuskan hubungan, alasan bernada heroik termasuk sering digunakan. Prolognya bisa bermacam-macam: “Aku bukan orang yang tepat untukmu”; “Aku ingin kamu menemukan kebahagiaanmu”; “Selama ini, aku merasa hanya menjadi beban untukmu”; dan lain-lainnya yang mengandung kata “untukmu”.
Epilognya sama: “Lebih baik kita putus.”
Alasan seperti itu terdengar tulus. Setiap orang tentu ingin menjadi pahlawan bagi kekasihnya, sekalipun ketika memutuskan hubungan. Saking cintanya, ia ingin mengutamakan kebahagiaanmu ketimbang kebahagiaannya untuk bisa menjadi kekasihmu.
Namun, alasan itu bisa juga sekadar jubah domba yang menyembunyikan serigala.
Ketika ia mengatakan ia bukan orang yang tepat untukmu, barangkali di dalam hatinya ia sedang menyatakan: kamu bukan orang yang tepat untuknya. Atau ia mengatakan bahwa ia ingin kamu menemukan kebahagiaanmu, sebenarnya ia juga ingin menemukan kebahagiaannya.
Ia tidak berbohong — kamu memang akan lebih bahagia tanpanya. Ia sudah bosan denganmu, atau sudah menemukan orang yang lain.
Dengan modus putus yang heroik, deritamu tidak berhenti sampai di situ; sisi paling menyiksa masih menanti. Kamu akan digantung, karena modus putus yang heroik menyisakan cinta yang belum tuntas.
Apalagi ketika kamu masih begitu mencintainya. Kamu akan tak henti-henti menanyakan apakah ia juga masih mencintaimu. Kalau pun nantinya ia jadian dengan orang lain, ia punya alasan heroik lainnya: agar kamu bisa move on.
Memang, tidak semua pasangan adalah Romeo dan Juliet. Saya percaya ada orang yang, ketimbang memperjuangkan hubungan yang penuh rintangan, lebih memilih memutuskan pacarnya demi kebaikan bersama.
Ada cinta yang nyaris tulus, yang dapat membuat seseorang bahagia ketika orang yang ia cintai bahagia, sekalipun itu berarti melihatnya bersama orang lain. Seperti Arwin dalam cerita “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh” karya Dewi Lestari, yang sempat merelakan istrinya, Rana, agar ia bisa bahagia dengan Re, sang Ksatria.
Namun, putus yang terdengar terlalu tulus, patut dicurigai. Memutuskan hubungan dengan berlagak pahlawan? Bisa jadi modus yang paling pecundang.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA