Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas dan di aduk perlahan.
“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya?” ujar pak tua
“Pahit sekali” jawab pemuda
Pak tua itu tersenyum, mengajak pemuda itu utuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. Mereka berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu.
Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.
“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah”
Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua bertanya lagi, “Bagaimana rasanya?”
“Segar” sahut si Pemuda
“Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu?” tanya pak tua
“Tidak” sahut Pemuda
Pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata “Anak muda…Dengarkan baik-baik,
Pahitnya kehidupan sama seperti segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama.
Tapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yg kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya.
Jadi saat Anda merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, Hanya ada satu yg Anda dapat lakukan, Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, Luaskanlah hatimu utuk menampung setiap kepahitan itu”
Hatimu adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu.
Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.
“Jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, d merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA