Kita berduka saat mengetahui Menteri Kesehatan, ibu Endang Rahayu Sedyaningsih, tutup usia beberapa waktu lalu. Melalui media, kita mendapat informasi bahwa beliau mengalami kanker paru stadium 4 yang baru diketahui beberapa bulan yang lalu. Di tengah suasana berduka, beredar luas pesan terakhir beliau yang sangat membangkitkan motivasi: “Bagi rekan-rekanku sesama penderita kanker dan para survivor, mari kita berbaik sangka kepada Allah. Kita terima semua anugerahNya dengan bersyukur.”
Tampak jelas tidak sekalipun ada tanda atau keinginan mengeluh atas gangguan kesehatan yang dialaminya, padahal beliau mengalami gangguan kesehatan yang biasa dialami para perokok, meskipun ia sendiri tidak merokok. Sebaliknya, yang nampak justru rasa syukur yang kuat atas semua hal-hal positif yang ada di sekitarnya.
Kemampuan untuk bersyukur dan melihat sisi positif dalam berbagai situasi adalah hal yang penting, namun kita bisa melihat bahwa hal yang marak berkembang di masyarakat malah sebaliknya. Dalam berbagai situasi, kita begitu mudah berkeluh kesah berkepanjangan dengan berbagai situasi yang kita hadapi. Di dunia politik, kita semakin sering menyaksikan para politikus mengeluh atau curhat di media massa, betapa dirinya dizalimi dan diserang lawan politiknya. Apakah memang tindakan tidak etis dalam bisnis dan berpolitik begitu dominan, sehingga kita sering merasa tidak mempunyai kontrol terhadap faktor eksternal? Atau, sadar tidak sadar, kita melakukan tindakan manipulatif, yaitu berkeluh kesah untuk merangsang belas kasihan, mendapatkan perhatian, bahkan mendapatkan “power”?
Namun, bukankah cara seperti itu, bagaimana pun juga kurang menarik dan tidak simpatik? Bila kita, tidak mau terlihat cengeng, kita tentu harus berhenti menggunakan kelemahan kita maupun kelemahan situasi, untuk menarik simpati orang lain. Bila sebagai public figure atau pemimpin, kita tidak mau kehilangan “follower”, kita tentu harus punya strategi lain yang tidak cengeng.
Beraksi, bukan bereaksi
Semua pasti setuju ungkapan: ”If the dog bites you, don't bite the dog back”. Kenyataannya, hal ini lebih mudah dikatakan daripada dipraktekkan, apalagi kalau kita sudah bertubi-tubi mendapatkan cercaan yang belum tentu benar tidaknya. Namun, apakah reaksi bela diri itu akan bermanfaat bagi kita?
Seorang teman yang juga mengalami banyak tekanan, kesulitan dan persaingan, nampak kuat karena ternyata selalu memegang prinsip bahwa semua kritik, tekanan, dan hambatan yang dialaminya adalah kesempatan untuk maju. Ia berkomentar: “Hindari ‘demoralizing’, jangan biarkan diri kita sakit hati dan bermental kecut”.
Ya, kitalah yang menentukan apakah kita melihat situasi dengan masam atau tetap netral, seberat apapun tekanannya. Dari teman ini, saya juga belajar bahwa hal yang pasti harus dilakukan adalah mengenali dan menahan reaksi yang muncul ketika tekanan datang. Kita perlu berusaha mencerna dan menahan, sebelum memberi respons mental yang negatif. Rasa sakit hati, tersinggung, dan kehendak untuk membela diri yang biasa muncul, perlu kita kenali dan kita dekati untuk menjaga mental positif.
Kita pasti sudah membuktikan bahwa reaksi impulsif kita justru akan membawa situasi yang lebih buruk. Banyak orang belum meyakini bahwa dengan menyeleksi tindakan dan reaksi yang kita keluarkan dengan saringan positif, kita mungkin saja melakukan manuver untuk mencapai tujuan kita.
Daripada mengatakan, “Saya sakit, jadi tidak bisa berolah raga”, kita sebetulnya lebih baik mengatakan bahwa kita ingin beristirahat sejenak.
Daripada mengeluhkan “Pekerjaan saya membosankan”, kita lebih baik mengatakan bahwa kita sedang mengevaluasi hal yang penting dalam pekerjaan kita. Dan bila merasa perlu nilai tambah dari tempat lain, kita bisa mengatakan saatnya menemukan pekerjaan lain.
Daripada mengeluhkan: “Lawan politik saya berbuat curang,” bukankah lebih baik mengatakan pada publik sekaligus meyakinkan diri bahwa saya akan "bermain penuh integritas" dalam pertarungan politik ini?
Dalam olahraga beladiri Aikido orang belajar untuk mengikuti gerak lawan dan akhirnya bisa memenangkan situasi. Dari sini, kita pun bisa mempelajari bahwa upaya dan keberhasilan menahan reaksi, mengatur tempo, menemukan hal positif dalam setiap situasi adalah kemenangan individu dalam hidupnya.
Be a better person
Dalam sebuah seminar, di mana pembicaraan panel sudah semakin pesimis dan bahkan menakut-nakuti akan sulitnya menghadapi tantangan kompetisi, seorang panelis yang berasal dari China mengingatkan kembali pentingnya melihat gejala ini secara positif. Seperti dalam tulisan China, kata “krisis” mempunyai dua arti sekaligus, yaitu: “bahaya” dan “kesempatan”. Jadi sesungguhnya, kritik dari atasan, komplain dari pelanggan, atau dijegal oleh kompetitor, adalah kondisi yang memang tidak enak, namun sekaligus bisa kita gunakan untuk menjadikan diri kita lebih baik.
Bila kita “diserang” atau “dicaci” oleh orang lain, namun kita berhasil membawa diri ke sisi positif, setidaknya kita bisa langsung merasakan dua "kemenangan". Pertama, kita akan “feel good about ourselves”. Perasaan lega maupun percaya diri akan timbul, dan ini sangat menyehatkan jiwa. Kemenangan kedua adalah peningkatan citra diri kita di mata publik. Kita akan dilihat sebagai orang yang optimis dan terbuka terhadap kesulitan.
Bagaimana bila kritik yang dilancarkan memang benar dan membuka kelemahan kita? Kita tentu masih bisa positif dengan meyakini bahwa “nobody’s perfect”. Kita pasti sekali waktu berbuat salah. Hal yang terkadang membuat kita berat menerima kritik adalah karena seringkali kita mencampuradukkan serangan tersebut dengan diri pribadi. Tentu akan lebih efektif bila kita melihat bahwa kesalahan dalam tindakan, keputusan, atau solusi yang kita ambil, tidak membuat diri kita menjadi “rendah”.
Selama kita benar-benar berniat untuk menjadi diri yang lebih baik, kita seharusnya melihat apa yang bisa kita pelajari dari kesalahan yang kita lakukan itu. Ini tentu hal yang harus kita buktikan dalam tindakan. Memperbaiki tindakan-tindakan yang keliru ini pun bisa kita lakukan tanpa mengeluh, bahkan bersyukur karena ada orang yang mengingatkan.
[Source : kompas]
0 Comment:
Post a Comment
Silahkan anda meninggalkan komentar yang tidak berbau SARA